Lorna merasa lega saat melihat pesannya di bawah Majalah Dinding telah terhapus. Meski timbul keraguan, apakah Dewa yang menghapus setelah membacanya, ataukah ada orang lain yang melakukannya?
Namun Lorna masing bingung dimana mereka akan bertemu? Apakah Dewa akan menunggunya di pintu gerbang sepulang sekolah ataukah di perpustakaan?
Maka Jam istirahat Lorna pergi ke ruang perpustakaan meski dia menyadari bukan waktunya jadwal hari buka perpustakaan. Siapa tahu Dewa akan menunggunya di teras depannya. Nyatanya dia tak menemukan kebeadaan Dewa.
Lalu Lona bergegas ke lapangan olahraga. Siapa tahu Dewa berada di tempat itu. Sekali lagi keberadaan Dewa tak dilihatnya. Hanya ada mereka yang terbiasa bermain dengan Dewa di tempat itu.
Lorna melihat Beny datang menghampirinya. Lorna tahu Beny dekat dengan Dewa. Keduanya menjaga jarak, karenanya Lorna enggan minta bantuannya.
“Ini ada titipan dari Dewa buatmu.” kata Beny.
Lorna memandangnya tidak mengerti saat dia menyerahkan sebuah lipatan kertas putih.
“Dia memintamu untuk langsung membuka dan membaca pesan di dalamnya.”
“What?”
“Dia hanya menyampaikan itu saja.”
“Dewa ada di mana?” tanya Lorna masih tak paham, kenapa Beny yang menyampaikan pesannya? Bukannya Dewa sendiri yang harus melakukan. Bukankah hubungan mereka selama ini selalu disembunyikan dari teman-temannya?
“Dia tak masuk...”
“What?” Lorna terkejut.
“Baca saja pesannya. Sudah begitu saja. Yuk!”
Beny lantas meninggalkannya, untuk bergabung meneruskan kembali bermain basket dengan rekan-rekannya. Biasanya Dewa ada di antara mereka. Tapi kali ini memang dia tak melihatnya.
Lorna ingin menahan Beny agar jangan pergi dulu karena masih ada yang ingin ditanyakan. Namun niatnya diurungkan, sebab hal yang akan ditanyakan menyangkut rahasia mereka berdua. Bila Dewa tidak masuk sekolah. Lalu siapakah yang menghapus dan membaca pesan yang ditulisnya di bawah Majalah Dinding sekolah?
Lorna penasaran. Meski ada kelegaan bahwa pulang sekolah nanti bisa bertemu dengannya, namun alasan kenapa Dewa tidak masuk sekolah menjadi pertanyaan besar yang membuatnya bingung, sebab selama ini Dewa dikenalnya rajin masuk.
Lorna tak langsung membuka kertas yang berisi pesan Dewa yang diterimanya dari Beny. Dia akan membukanya nanti di dalam kelas saat jam pelajaran.
“Ke tempat ultah Ronal, kita boncengan yuk?” ajak Rahma.
Lorna tersenyum simpul. Tapi Rahma kecewa saat Lorna menanggapi keinginannya.
“Aku tak bisa ikut datang.”
“Kenapa?”
“Aku ada acara mendadak.”
“Atau sengaja tak mau datang?’
Lorna tak menanggapi.
“Atau mungkin masih sakit hati lantaram semua gara-gara yang pernah ditimbulkan Ronal?”
Lorna tetap tak menanggapi. Bahkan dia berpikir bahwa Rahma seakan tak peduli dengan apa yang sedang menimpa Dewa sebagai akibat konflik yang timbul dengan Timmy teman dekat Ronal.
Lorna membuka pesan Dewa dengan hati-hati. Dia membukanya lembaran pesan Dewa dan menempatkannya di antara halaman bukunya sehingga tak menimbulkan kecurigaan. Namun Rahma yang duduk disebelahnya memperhatikan.
“Diajeng, bila tak keberatan Kakangmas tunggu di tempat kita bertemu kemarin. Kutunggu satu jam setelah waktu pulang sekolah. Bila tidak datang, kuanggap diajeng sedang berhalangan. Maafkan Kakangmas.”
Hati Lorna terasa tertikam. Meski isi pesan itu datar saja, namun semua peristiwa yang melatarbelakangi di balik pertemuan keduanya membuatnya tak kuasa menahan kepedihan. Bola matanya yang jernih dengan kornea yang biru nampak membayang air hingga nampak berkaca-kaca.
Rahma melihatnya dengan sembunyi-sembunyi meski Lorna berusaha menyembunyikan matanya yang berair dengan mengenakan kacamata akromatik yang dikeluarkan dari dalam tasnya, kacamata yang menyembunyikan matanya yang biru agar tak nampak mencolok dengan semua mata temannya yang berwarna hitam.
Rahma ingin tahu apa yang sedang dibaca Lorna yang membuat bola matanya berkaca-kaca, walau tahu kalau Lorna tak mau privasinya diganggu.
Kata-kata yang digunakan Dewa menyebutnya Diajeng membuat dirinya merasa demikian sangat dekat dan terasa istimewa.
Diajeng akan menemuimu Kakangmas. Demikian jawaban pasti Lorna yang bertekad memenuhi keinginan Dewa sepulang sekolah.
Sejak saat Ronal menyampaikan undangan ultahnya, Lorna sudah memastikan untuk mengabaikan. Oleh karenanya ketika Rahma dan Grace ingin mengetahui kepastian hadirtidaknya di acaranya, Lorna memastikan jawaban saat pulang sekolah..
“Kalian saja yang datang.”
“Kamu masih marah?” tanya Grace.
Lorna tak menanggapi dan bergegas menjauhi semua rekan kelasnya yang sibuk membicarakan langkah menuju restoran tempat acara ultah Ronal seperti yang tertera di undangannya.
Rahma dan Grace saling menatap menyusul langkah Lorna yang bergegas pergi.
Saat di pintu gerbang Lorna melihat pak Sumadi tukang becak sedang menjaring penumpang. Timbul pikiran Lorna minta bantuannya untuk membawa dan mengantarkan sepeda Dewa ke rumahnya.
“Pak Sumadi pergi ke Senaputra seperti kemarin, tapi kali ini tanpa saya.”
“Jadi sepeda mas Dewa ada di sana, Non?”
“Ya, pak. Saya akan menunggu pak Sumadi di sana.”
Lorna bersikeras mengajak Dewa mencari tempat makan dan berbicara di tempat itu. Dan keinginan itu akan disampaikan bila bertemu Dewa.
Saat pak Sumadi dalam perjalanan ke tempat pertemuan Dea dengan Lorna. Lorna turun dari mobilnya dan menghampiri Dewa yang sudah menunggunya di dekat pintu gerbang masuk Senaputra.
Lorna melihat Dewa dalam pakaian bebas. Lelaki itu nampak Dewasa dengan pakaiannya. Gagah dengan dada kekar di balik kaos t-shirt hitamnya. Dada dan otot bisep yang terbina akibat olah raga karate dan olahraga yang lain memberi kesan dewasa.
“Hai!” apa Dewa sebelum Lorna menyapa dulu.
“Hai!” balas Lorna hdengan suara halus.
“Kita masuk ke dalam?” tanya Dewa seraya memperlihatkan karcis masuk yang sudah dibelinya terlebih dulu.
“Dewa membawa sepeda?”
“Ya, kenapa?”
Lantas Lorna menyampaikan keinginannya. Karena Dewa tak ingin mengecewakannya maka dia berusha menuruti.
“Kita tunggu pak Sumadi. Sebaiknya Dewa siapkan sepedanya disini.” kata Lorna.
Saat Dewa mengambil sepedanya dari tempat parkir. Pak Sumadi sudah sampai. Lorna segera memberinya uang untuk ongos. Dan pak Sumadi selalu menganggap pembayaran Lorna selalu berlebihan, meski hal itu tak menjadi persoalan bagi Lorna.
“Tolong pak ya?” kata Dewa kepada pak Sumadi saat keduanya membereskan sepeda ke atas becak yang akan mengantarkannya ke rumah Dewa.
“Apa yang akan saya katakan pada Ibu di rumah, Mas Dewa.”
“Tolong sampaikan kalau saya ada acara dengan Diajeng Lorna.” jawab Dewa.
Pak Sumadi mengangguk-angguk. Lorna tersenyum. Wajahnya mencerminkan sukacita bila Dewa selalu menyebut kata itu pada dirinya.
Pak Sumadi segera menolak saat Dewa mengeluarkan dompet berniat membayar onbgkosnya.
“Sudah dibayar Nonik, Mas!”
Dewa menatap Lorna yang mengangguk mengiyakan.
“Aku berhutang padamu...” kata Dewa.
“Ya, kumpulkan jumlahnya tagih nanti.” balas Lorna menggoda. Ucapan itu tak sungguh-sungguh.
Sesaat kemudian keduanya sudah berada dalam mobil yang meluncur di tengah jalan raya menuju restoran di jalan Semeru.
“Kita ke Pizza Hut, pak!” Lorna memerintahkan pak Karyo menuju ke tempat itu.
“Baik, Non!”
Dewa tersenyum menatap ke luar jendela. Lorna memperhatikannya seraya memberitahukan lewat hape bahwa dirinya terlambat pulang untuk makan siang di Pizza Hut.
“Kenapa?” tanya Lorna ingin tahu kenapa Dewa tersenyum seperti itu.
Dewa tak segera menjawab, mencoba memperhatikan dirinya yang tidak berseragam sementara Lorna dengan busana pulang sekolah.
“Aku hanya mencoba mengkalkulasikan hutangku padamu setelah ini.”
“Ah! Tentu bukan itu pikiran Dewa saat ini.”
Dewa mengangkat kening.
“Sebaiknya kuantar kamu makan dulu, setelah itu kita bicara yang lain.” sela Dewa.
Lorna seketika memandangnya sayu.
“Kenapa Dewa tak bersekolah hari ini dan kemarin?” tanyanya memastikanmua tak masuk sekolah hari ini karena melihatnya berpakaian bebas sepeti itu. Tapi apa alasannya yang ingin dia ketahui.
“Aku akan menjelaskan setelah kamu makan dulu.”
“Kita berdua makan, bukan cuma Lorna.” potong Lorna cepat.
“Ya kita berdua.”
Lorna melepaskan kacamata akromatiknya setelah keduanya berada di dalam restoran dan mengambil tempat duduk dekat jendela. Matanya yang biru dan jernih nampak berbinar. Pesanan sudah dia lakukan, kini keduanya tinggal menunggu.
Pandangan Dewa dilemparkan ke luar jendela. Demikian pula Lorna meski dengan hati yang galau. Dia tahu Dewa pandai menyimpan kegalauannya. Tak mungkin Dewa tak galau dengan persoalan yang tengah menghimpitnya. Apalagi dua hari tidak masuk sekolah tanpa alasan yang kuat sudah tentu bisa dibayangkan sanksi yang bisa diberikan sekolah terhadapnya.
“Dewa masih mel ke kantor polisi?”
Dewa mengangguk perlahan.
“Sudah tahu jadwal sidangnya?”
“Belum.”
“Sudah ada pembela?”
“Kita makan dulu...” kata Dewa menegaskan kembali agar pembicaraan tak mempengaruhi selera makan.
Dewa tak tahu kalau saat ini bila tak ada konflik antara Dewa dengan teman sekelasnya, Lorna sudah bergabung di acara ultah Ronal di retoran cepat saji di Sarinah.
Tapi Lorna juga tidak menyadari bahwa saat ini kelompok itu tengah berduyun-duyun menuju tempat dimana Lorna dan Dewa sedang menikmati kebersamaan dengan hangat karena di restoran tempat ultah Ronal diselenggarakan berbenturan dengan acara serombongan keluarga dengan anak-anak yang sudah memesan di tempat itu terlebih dulu. Karena tempat tersebut jadi penuh sesak membuat Rolan mengambil alternatif memindahkan tempat acara ke Pizza Hut.
“Kita pesankan buat Ibu di rumah ya?” tanya Lorna.
Dewa tak menjawab. Namun tatapan yang diberikan memberi arti tak keberatan. Perhatian yang diberikan gadis bermata biru itu membuatnya menganggap bagian dari keluarga dan dirinya. Seperti Ibunya selalu menyebutnya sebagai adiknya.
“What?’ Lorna bertanya lembut saat Dewa tanpa sadar memandangnya dengan seksama.
Dewa tersadar dari lamunannya.
“Aku akan mengerjakan kolammu.”
“Itu maksud Dewa bertemu untuk membicarakan hal itu? Cuaca masih sering hujan. Apa tak sebaiknya menunggu sampai musim panas.”
“Kalau diundur bisa lama lagi waktunya.”
“Tidak apa-apa, asal tak membuat Dewa berhujan-hujan saat mengerjakannya yang bisa membuat Dewa sakit.”
Namun lantaran bukan hujan sebagai keberatan. Namun alasan yang ingin disampaikan membuatnya ragu mengutarakan, karena akan menimbulkan perasaan tak nyaman yang bisa merusak selera makan gadis itu. Sebaiknya menahannya dulu, meski sejak bertemu perasaannya sudah tidak sabar.
Pesanan makanan sedianya buat Ibu Dewa di rumah sudah di letakkan di atas meja.
“Lorna sendiri yang akan memberikan pada Ibu.” kata Lorna sembari menyudahi makannya, setelah minum lalu membersihkan mulutnya dengan tisu basah.
Wajah gadis itu selalu nampak segar yang memelihara kecantikannya, yang mengundang perhatian orang yang melihatnya, wajahnya tak memperlihatkan rasa lelah setelah mengikuti jam-jam pelajaran.
“Sekarang Dewa bisa menjawab pertanyaan Lorna tadi...”
Dewa tersenyum. Lorna tersenyum membalas. Dewa suka senyumnya yang tak hanya manis, tapi seperti candu yang melenakan.
Tapi senyum Lorna mendadak sirna saat pandangannya menangkap bayangan rombongan temannya di pintu masuk restauran. Nampak Rolan bergegas masuk ke dalam dan langsung melakukan pembicaraan dengan petugas restoran.
Menurutnya seharusnya mereka berada di restoran McD yang ada di pertokoan Sarinah, tapi kenapa mereka pergi kemari?
Hal itu juga tak luput dari pandangan Dewa juga. Apalagi dia melihat Kegusaran di wajah Lorna.
“Ada apa?”
“Bagaimana mereka bisa kemari?”
Dewa menangkap kepanikan di wajah Lorna.yang cemas bila semua teman sekelasnya sampai tahu dirinya dengan Dewa berada di tempat itu. Apalagi Lorna sengaja tidak datang dalam acara Ronal. Sulit bagi Lorna menghindari situasi itu.
“Ada acara apa?” tanya Dewa tak mengerti.
“Ulangtahunnya Ronal.”
Kening Dewa mengerenyit.
“Untuk itu kamu mengajakku kemari?”
Lorna tersentak dengan pertanyaan itu.
“Oh, no. Dewa!”
Lorna berpikir Dewa salah paham. Tak mungkin dirinya sengaja membawa ke tempat itu untuk menghadiri acara ultah Ronal di saat keduanya bersiteru.
“Lorna tak tahu kalau tiba-tiba mereka kemari. Yang Lorna tahu acara undangan itu seharusnya di McD yang di Sarinah. Lorna tak tahu kenapa mereka pindah kemari? Kalau Lorna tahu...” Lorna berusaha menjelaskan.
Dewa cepat menangkap.
“Okey, aku paham. Kamu mau kita pergi dari sini?” Dewa bertanya.
“Bagaimana caranya?”
Beberapa temannya tiba-tiba melihat ke arahnya.
“Itu Lorna!” teriak mereka. Teriakan itu membuat perhatian yang lain langsung tertuju kepadanya.
“Mati aku, Dewa!”
“Tenanglah.” Dewa berusaha menenangkan.
Yang jelas yang langsung menghampiri mereka adalah Grace dan Rahma teman sebangkunya.
“Nah nah nah ketahuan sekarang.” kata Grace.
“O, ini ya acaramu yang kamu jadikan alasan tak ikut bersama kita.
Lorna menatap Dewa sejenak dan lalu membelalakan mata pada Rahma dan Grace. Setidaknya apa yang dikatakan Grace menjelaskan pada Dewa bahwa dirinya tidak berbohong.
“Aku mau menyelinap pergi. Kalian lindungi aku.”
“Tapi mereka sudah tahu. Cuma kamu yang tak datang. Kecuali Timmy. Lalu alasan apa yang harus kuberitahukan mereka?” kata Rahma.
“Pokoknya tolong carilah alasan. Aku ada perlu dengan Dewa.”
Rahma dan Grace memandang Dewa. Dalam hatinya berkata, hebat Lorna dan Dewa begitu akrab.
Lorna tetap memaksa meninggalkan tempat itu, meski temannya yang lain sudah mengetahui keberadaannya di tempat itu.
“Bye!” kata Lorna pada Rahma dan Grace.
“Bye!” balas Grace dan Rahma serentak.
“Hanya begitu?” tanya Grace.
“Yap!”
Lorna lantas bergegas menyusul Dewa yang terlebih dulu menuju pintu keluar.
“Maafkanlah Lorna, Dewa!” Kata Lorna saat mereka melangkah menuju tempat parkir mobil Lorna.
“Kalau Lorna tahu mereka,,,”
“Sudahlah, itu bukan salahmu.” sela Dewa.
“Seharusnya Lorna mengikuti keinginan Dewa bertemu di Senaputra.”
“Sudahlah. Semua sudah terjadi.”
“Lorna!” tiba-tiba terdengar teriakan memanggil.
Lorna menghentikan langkahnya tanpa membalikkan badan. Suara itu dikenalinya. Dia merasakan langkah Ronal yang berlari kecil dari belakangnya.
“Kamu mau kemana? Acara belum dimulai.”
“Sorry, Nal! Aku harus cepat pergi. Happy birthday, ya!” Lorna menimpali seraya mengulurkan tangan untuk menjabat tanga Ronal.
Saat Ronal menjabat tangan Lorna dan berusaha menahannya lama Dewa melihat sejenak lalu bergegas menjauh.
Lorna menyadari ketidaknyamanan di wajah Dewa.
“Dewa! Tunggu!” Lorna berusaha menahan Dewa.
“Abaikan saja, Na! Dia sudah dikeluarkan dari sekolah!” kata Ronal.
Ucapan Ronal seperti sambaran petir sedemikian hebat yang membuatnya terpekik antara rasa terkejut dan ketakutan.
Belum lepas dari keterpanaan. Dilihatnya Dewa berbalik arah. Lalu menghampiri Ronal dan langsung meninju hidungnya tepat di depan mata Lorna. Tinju Dewa langsung membuat hidung Ronal mengeluarkan darah. Ronal terhuyung ke belakang.
“Oh!” Lorna terpekik. Dewa apa yang kau lakukan?”
“Kamu menantang?” kata Ronal dengan berapi-api.
“Kuterima tantanganmu. Kutunggu!” jawab Dewa kemudian pergi berlaku dari tempat kejadian.
Untuk beberapa saat Lorna berusaha menenangkan emosi Ronal. Memberikan tisu untuk menyeka lubang hidungnya yang mengeluarkan darah.
Namun saat itu pula dia kehilangan Dewa. Setelah selesai dengan urusan Ronal. Lorna pikir Dewa menunggu di mobilnya ternyata Dewa sudah pergi, hanya berpesan pada pak Karyo.
“Tadi mas Dewa menunggu, Non. Tapi karena nampaknya Nonik masih lama, mas Dewa hanya berpesan sebaiknya dia pulang sendiri saja karena Nonik katanya masih ada acara ultah temannya di dalam.”