Lorna meminta supirnya untuk tidak menghidupkan mesin mobil.
“Kenapa, Honey?” tanya Mami dalam mobil.
“Lorna menunggu teman dulu, Mom! Sebentar saja...”
“Temenmu ada yang mau menumpang?”
“Nggak, Mom! Lorna ada perlu sebentar!”
“Okey. Mommy tunggu di dalam!”
Langit gelap tanpa bintang kini disergap dingin. Mereka yang ikut orientasi satu persatu meninggalkan gerbang sekolah untuk pulang. Banyak yang dijemput dengan kendaraan sendiri. Dan lelaki yang ditunggu Lorna menggunakan sepeda ontel kuno ketika datang.
Udara dingin yang menyergap tak dihiraukannya. Di Australia jauh lebih dingin. Matanya mencoba menangkap setiap bayangan yang berkelebat keluar dari dalam sekolah.
Di acara bermaaf-maafan Lorna lelah meladeni mereka yang ingin berkenalan. Tetapi sama sekali tak merasa lelaki yang bernama Dewa datang menghampirinya ikut berkenalan. Padahal sebagian besar berlomba mengerumuninya. Barangkali lantaran tertarik pada dirinya yang memiliki warna mata, kulit dan rambut yang berbeda, laiknya gula dikerubuti semut.
Sebuah mobil berhenti di dekatnya.
“Lorna!” Seseorang berteriak memanggil namanya. Sejurus kemudian sebuah kepala tersembul keluar jendela mobil. Ronal. Lelaki yang tadi berusaha merapat saat acara api unggun.
“Belum dijemput? Aku antar ya?” kata Ronal.
“Thank you! Aku sudah dijemput...” balas Lorna.
Bersamaan dengan ini melintas sepeda motor Beni mengiringi sepeda Dewa lelaki yang berniat dijumpai.
“Aku duluan Lorna!” teriak Beni.
Lorna terkesima bermaksud menghentikan laju Beni. Namun kejadiannya berlangsung cepat. Matanya menangkap sorot mata Dewa yang sepintas beradu dengan tatapannya, seakan mengiringi sebuah sapaan. Sepedanya yang tak berhenti. Dewa tetap mengayuh seakan tak mempedulikannya. Atau dipikir dirinya sedang sibuk bicara dengan Ronal di mobil. Sedangkan dirinya ingin menyapanya. Hal itu membuatnya kemudian kecewa benar.
“Yuk Nal! Mommy ku sudah di depan!” kata Lorna sengit.
“Okey, Lorna. Sampai bertemu besok mencari kelas!”
Lorna bergegas menuju mobilnya.
“Temanmu itu?” tanya Mami saat di dalam mobil.
“Yang mana, Mom?” jawab Lorna datar.
“Yang di mobil!”
“Bukan!”
Mami melihat wajah bidadarinya nampak lungkrah dipenuhi perasaan kecewa. Dengan tisu basah segera dibersihkannya wajah ayu itu.
“Ini masih hari Sabtu. Besok ada waktu sehari untuk beristirahat. Masuk sekolahmu kan dimulai hari Senin...”
Lorna lalu merebahkan tubuh dengan kepala di atas pangkuan Mami.
“Kita makan malam dulu ya?”
“Pulang saja, Mom!”
“Lho, bukannya tadi kita sepakat makan malam di luar!”
“Nggak jadi, Mom. Lorna hanya pingin mandi!”
“Okey...okey, kamu tentu letih!”
Mami lalu mencium pipi bidadarinya.
Sementara di luar mobil, mulai turun hujan lebat. Membatasi pandangan lampu kendaraan hingga harus mengurangi kecepatan.
Memikirkan hujan, membuat perasaan Lorna gundah. Betapa tidak. Lelaki yang telah menolongnya tentu dalam perjalanan pulang diguyur hujan. Akankah dia akan berteduh menunggu hujan reda? Berapa lama lagi hujan akan reda? Ah, tentu dia mengalami kedinginan.
Lantas dibenamkannya wajahnya ke pangkuan Mami seraya menghela nafas berat.
“Ada apa, Honey?”
Lorna menggeleng.
“Tadi kena hukum?”
Lorna menggeleng.
“Nah! Mami kan sudah telpon Bu Kris teman Mami yang bakal gurumu. Mami sudah ceritakan alasan anakku tak bisa membawa perlengkapan buat malam inagurasi.”
“Hei, kenapa Mommy lakukan itu!”
“Biar kamu tak dihukum?”
“Itu tidak benar, Mommy!” kata Lorna lantas tengadah. Bola matanya nampak berkaca-kaca.
“Kamu tadi dihukum tidak?”
Lorna menggeleng.
“Nah. Kenapa sedih?”
“Tapi itu kolokan, Mommy! Lorna bukan anak kecil!”
Mami tersenyum seraya membelai lembut wajahnya.
“Ya, kamu sudah sma kini, beranjak dewasa...”
“Tadi Lorna bermaksud menemui seorang teman. Mau bilang terima kasih padanya karena memberi Lorna lilin dan obor, yang membuat Lorna tak kena sangsi.”
Mami mengangkat alis.
“Jadi...”
“Lorna kecewa tak berhasil menemuinya...”
“Kamu sudah dapat obor dan lilin?”
“Ditolong lelaki itu!”
Mami lalu memeluk dan mengecup matanya yang berlinang.
“Sudahlah, Honey! Hari Senin kan bisa kamu temui untuk menyampaikan ucapanmu. Okey?”
Keduanya berpandangan sejenak. Tangan Mami membelai kembali wajah dan rambutnya penuh kasih sayang.
“Okey, Mom!”
“Lupakanlah kesedihanmu?”
“Nanti kecantikanmu hilang!” kata Lorna menirukan ucapan Mami bersamaan. Mami selalu bilang begitu bila dirinya menangis. Keduanya lantas tertawa bersama sambil berpelukkan.
“I love you, Mom!”
“I love you, sweetheart!”
Tetapi Lorna sulit menepis perasaan itu dari dalam hatinya. Yang ada dalam benaknya kini membayangkan Lelaki yang telah membantunya kini ditimpa kesulitan lagi, yakni hujan lebat yang menghalangi jalannya pulang ke rumah.
Dia bersepeda, Mommy! Dia bersepeda! Sepeda butut, bukan sepeda motor, Mommy! Teriak Lorna di hatinya.
Sementara itu malam kian larut. Hujan baru reda menjelang tengah malam.
Elegi Sebuah Reuni: "Kalau aku tak berat memikirkan akibat yang akan d...:
"Kalau aku tak berat memikirkan akibat yang akan dirasakan mereka. Aku bisa mengambil tindakan nekat..."
"Seperti apa?"
Matanya yang dingin ...
“Kenapa, Honey?” tanya Mami dalam mobil.
“Lorna menunggu teman dulu, Mom! Sebentar saja...”
“Temenmu ada yang mau menumpang?”
“Nggak, Mom! Lorna ada perlu sebentar!”
“Okey. Mommy tunggu di dalam!”
Langit gelap tanpa bintang kini disergap dingin. Mereka yang ikut orientasi satu persatu meninggalkan gerbang sekolah untuk pulang. Banyak yang dijemput dengan kendaraan sendiri. Dan lelaki yang ditunggu Lorna menggunakan sepeda ontel kuno ketika datang.
Udara dingin yang menyergap tak dihiraukannya. Di Australia jauh lebih dingin. Matanya mencoba menangkap setiap bayangan yang berkelebat keluar dari dalam sekolah.
Di acara bermaaf-maafan Lorna lelah meladeni mereka yang ingin berkenalan. Tetapi sama sekali tak merasa lelaki yang bernama Dewa datang menghampirinya ikut berkenalan. Padahal sebagian besar berlomba mengerumuninya. Barangkali lantaran tertarik pada dirinya yang memiliki warna mata, kulit dan rambut yang berbeda, laiknya gula dikerubuti semut.
Sebuah mobil berhenti di dekatnya.
“Lorna!” Seseorang berteriak memanggil namanya. Sejurus kemudian sebuah kepala tersembul keluar jendela mobil. Ronal. Lelaki yang tadi berusaha merapat saat acara api unggun.
“Belum dijemput? Aku antar ya?” kata Ronal.
“Thank you! Aku sudah dijemput...” balas Lorna.
Bersamaan dengan ini melintas sepeda motor Beni mengiringi sepeda Dewa lelaki yang berniat dijumpai.
“Aku duluan Lorna!” teriak Beni.
Lorna terkesima bermaksud menghentikan laju Beni. Namun kejadiannya berlangsung cepat. Matanya menangkap sorot mata Dewa yang sepintas beradu dengan tatapannya, seakan mengiringi sebuah sapaan. Sepedanya yang tak berhenti. Dewa tetap mengayuh seakan tak mempedulikannya. Atau dipikir dirinya sedang sibuk bicara dengan Ronal di mobil. Sedangkan dirinya ingin menyapanya. Hal itu membuatnya kemudian kecewa benar.
“Yuk Nal! Mommy ku sudah di depan!” kata Lorna sengit.
“Okey, Lorna. Sampai bertemu besok mencari kelas!”
Lorna bergegas menuju mobilnya.
“Temanmu itu?” tanya Mami saat di dalam mobil.
“Yang mana, Mom?” jawab Lorna datar.
“Yang di mobil!”
“Bukan!”
Mami melihat wajah bidadarinya nampak lungkrah dipenuhi perasaan kecewa. Dengan tisu basah segera dibersihkannya wajah ayu itu.
“Ini masih hari Sabtu. Besok ada waktu sehari untuk beristirahat. Masuk sekolahmu kan dimulai hari Senin...”
Lorna lalu merebahkan tubuh dengan kepala di atas pangkuan Mami.
“Kita makan malam dulu ya?”
“Pulang saja, Mom!”
“Lho, bukannya tadi kita sepakat makan malam di luar!”
“Nggak jadi, Mom. Lorna hanya pingin mandi!”
“Okey...okey, kamu tentu letih!”
Mami lalu mencium pipi bidadarinya.
Sementara di luar mobil, mulai turun hujan lebat. Membatasi pandangan lampu kendaraan hingga harus mengurangi kecepatan.
Memikirkan hujan, membuat perasaan Lorna gundah. Betapa tidak. Lelaki yang telah menolongnya tentu dalam perjalanan pulang diguyur hujan. Akankah dia akan berteduh menunggu hujan reda? Berapa lama lagi hujan akan reda? Ah, tentu dia mengalami kedinginan.
Lantas dibenamkannya wajahnya ke pangkuan Mami seraya menghela nafas berat.
“Ada apa, Honey?”
Lorna menggeleng.
“Tadi kena hukum?”
Lorna menggeleng.
“Nah! Mami kan sudah telpon Bu Kris teman Mami yang bakal gurumu. Mami sudah ceritakan alasan anakku tak bisa membawa perlengkapan buat malam inagurasi.”
“Hei, kenapa Mommy lakukan itu!”
“Biar kamu tak dihukum?”
“Itu tidak benar, Mommy!” kata Lorna lantas tengadah. Bola matanya nampak berkaca-kaca.
“Kamu tadi dihukum tidak?”
Lorna menggeleng.
“Nah. Kenapa sedih?”
“Tapi itu kolokan, Mommy! Lorna bukan anak kecil!”
Mami tersenyum seraya membelai lembut wajahnya.
“Ya, kamu sudah sma kini, beranjak dewasa...”
“Tadi Lorna bermaksud menemui seorang teman. Mau bilang terima kasih padanya karena memberi Lorna lilin dan obor, yang membuat Lorna tak kena sangsi.”
Mami mengangkat alis.
“Jadi...”
“Lorna kecewa tak berhasil menemuinya...”
“Kamu sudah dapat obor dan lilin?”
“Ditolong lelaki itu!”
Mami lalu memeluk dan mengecup matanya yang berlinang.
“Sudahlah, Honey! Hari Senin kan bisa kamu temui untuk menyampaikan ucapanmu. Okey?”
Keduanya berpandangan sejenak. Tangan Mami membelai kembali wajah dan rambutnya penuh kasih sayang.
“Okey, Mom!”
“Lupakanlah kesedihanmu?”
“Nanti kecantikanmu hilang!” kata Lorna menirukan ucapan Mami bersamaan. Mami selalu bilang begitu bila dirinya menangis. Keduanya lantas tertawa bersama sambil berpelukkan.
“I love you, Mom!”
“I love you, sweetheart!”
Tetapi Lorna sulit menepis perasaan itu dari dalam hatinya. Yang ada dalam benaknya kini membayangkan Lelaki yang telah membantunya kini ditimpa kesulitan lagi, yakni hujan lebat yang menghalangi jalannya pulang ke rumah.
Dia bersepeda, Mommy! Dia bersepeda! Sepeda butut, bukan sepeda motor, Mommy! Teriak Lorna di hatinya.
Sementara itu malam kian larut. Hujan baru reda menjelang tengah malam.
Elegi Sebuah Reuni: "Kalau aku tak berat memikirkan akibat yang akan d...:
"Kalau aku tak berat memikirkan akibat yang akan dirasakan mereka. Aku bisa mengambil tindakan nekat..."
"Seperti apa?"
Matanya yang dingin ...