005. Memikirkan Ibu

Meski malam sudah larut, dan hujan mulai reda, tak menghentikan Dewa mewarnai kain batik di atas meja, agar kain itu bisa kering besok pagi, sehingga ibunya bisa melanjutkan ngeblok untuk proses selanjutnya.
    “Wislah, Le. Sesuk isih ono dino. Kamu tadi pulang kehujanan. Kamu tentu juga capai habis nyuci pakaian. Istirahat dulu!”
    “Nggih, Bu! Sambil nunggu merebus malam. Biar besok kalau Ibu mau melanjutkan, malamnya sudah nyampur.”
    “Yo, wis. Aku mau tidur dulu.”
    Dewa bergegas merapikan tempat tidur Ibunya.
    “Obatnya sampun diunjuk?” tanya Dewa penuh perhatian.
    “Wis, Le!”
    Setelah membantu Ibunya merebahkan diri. Lalu dihidupkan radio. Dicarinya siaran berbahasa jawa. Ibunya suka gending-gending langgam jawa. Biasanya mendengarkan sembari membatik. Kini mendengarkan sembari tiduran. Radio hidup sampai pagi meski Ibunya terlelap tidur.
    “Pelan-pelan suaranya...” pinta Ibunya.
    Dewa lalu mencium punggung tangan Ibunya.
    “Sugeng sare, Bu!”
    Ibunya tersenyum. Tangannya membelai rambut di kepalanya. Tatapannya memancarkan sinar cinta kasih yang dalam.
    “Rambutmu bagus. Tak dimarahi di sekolah?”
    Dewa tersenyum.
“Kalau dilarang, Dewa akan memotongnya, Bu!”
“Ora perlu dipotong. Mengko tak seneni gurumu!”
Dewa tertawa.
“Bocah ganteng koyo arjuno. Perilakune koyo Batoro Kresno, kudune gurumu ngerti, yen rambut ora ono hubungane karo tumindak elek...”
“Sudahlah, Bu. Rambut bisa tumbuh.”
“Ora ngono, Nak. Motong rambut kuwi kudu gawe duwit!”
“Ya, nggak apa-apa, Bu. Paling nggak lebih harga telur ayam sejinah!”
“Pitikmu sing angrem wis kowe deleng?”
“Paling seminggu lagi netes, Bu!”
“Ati-ati. Ibu sering lihat garangan di belakang!”
“Kalau dapat duit dari pak Sastro. Saya akan beli kawat ram lagi, biar ayam-ayam aman!”
    Bagi Dewa kesulitan ekonomi sudah terbiasa dihadapi dalam kehidupan mereka selama ini. Memelihara ayam bukan tanpa maksud. Mereka perlu kebutuhan daging dan telur sehingga tak perlu membeli. Kelebihan telur sering dijual untuk ditukar dengan gula, beras atau sebangsanya.
    Dewa sulit memejamkan mata bila memikirkan batuk Ibunya. Barangkali batuknya akibat bertahun-tahun menghirup asap bakaran lilin selama membatik. Lalu sering terbangun untuk melihat keadaannya. Memeriksa suhu badannya sebentar,  apakah demam atau tidak. Lalu kembali ke kamarnya.
    Suara langgam di radio, sedikit meredakan kegelisahan yang tiba-tiba melanda perasaannya. Pikirannya tentang kesehatan Ibunya membuat selalu terjaga.
    Bertahun-tahun mereka hidup berdua. Ayahnya sudah tiada sejak dirinya masih kecil, sehingga tak sempat mengenal ayahnya dari dekat. Wajahnyapun dikenali dari sebuah foto lama yang masih tersisa.
    Wajah itu, yang kemudian dilukisnya, yang kini tergantung di dinding ruang tamu. Dan lukisan itu yang kemudian membuatnya dibanjiri pesanan melukis. Awalnya melukis wajah, menyusul kemudian tema yang lain.
Setidaknya menerima pesanan lukisan, jadi meringankan beban yang dipikul Ibunya.