Dalam empat hari terakhir seisi sekolah semakin dihebohkan oleh kasus yang terjadi dan berkaitan dengan Dewa. Hal itu membuat popularitas Dewa semakin melejit. Mereka jadi tahu kalau Dewa tidak hanya piawai dalam seni musik dan seni rupa tapi kini ditambah dengan satu seni yakni seni beladiri dengan menghajar Timmy hingga masuk rumah sakit.
Meski sebagian besar rekan sekelasnya berusaha menjaga jarak dengannya, namun dia tak peduli. Dewa bisa memaklumi lantaran tak ikut membela tim kelasnya di ajang Pentas Seni yang lalu. Apalagi kini terbersit rumor semua itu lantaran Dewa berusaha merebut hati gadis bermata biru berambut coklat keemasan berkulit putih bersih bernama Lorna, yang berada di kelas berbeda. Apalagi kasus yang terjadi belakangan juga terkait dengan gadis mata biru itu. Di mana Dewa telah menghajar anak yang menggembosi roda mobil gadis itu di tempat parkir.
Seperti saat istirahat mereka melihat keakraban keduanya di ruang perpustakaan. Juga saat pulang sekolah terlihat keduanya bertemu di pintu gerbang dan bersama-sama masuk ke dalam mobil yang menjemput gadis bermata biru itu.
Keduanya sadar tengah diawasi tak terkecuali Ronal dan beberapa anggota kelompoknya. Ronal tak berhasil mendekati Lorna sejak Dewa menghajar Timmy yang sampai saat ini belum masuk sekolah.
“Kita nanti mampir cari makan dulu ya?” kata Lorna saat sudah berada dalam mobil.
“Aku masih kenyang.”
“Kalau begitu minum saja.”
“Terserah kamu.”
Lorna duduk disamping jendela kanan dan Dewa berada di sebelah kiri. Dengan remote control Lorna menyetel player yang ada di dashboard dekat sopir. Tak lama kemudian irama instrumentalia Richard Clayderman mengalun lembut, membawa suasana hati keduanya ke alam pengembaraan pikiran mereka masing-masing.
“Kita kemana, Non?” tanya Pak Karyo supirnya.
“Pizza Hut!”
“Baik, Non!”
Dewa memandang Lorna yang tersenyum seakan bisa membaca pikirannya.
“Jangan kuatir Kangmas. Diajeng yang traktir.” goda Lorna.
Dewa tersenyum.
“Ah...”
Dewa melempar pandangan ke luar jendela. Nyaman juga pulang pergi dijemput dengan mobil mahal seperti ini. Pikir Dewa.
“Aku tak pernah...”
“Lorna paham!” sela Lorna tanpa menunggu lanjutan kalimat penjelasan Dewa yang ingin mengatakan bahwa dirinya belum pernah makan di restoran seperti yang biasa dilakukannya.
Dewa menatapnya datar.
“Seminggu sekali aku harus mel ke kantor polisi.”
Lorna diam tak menjawab. Sebaliknya melemparkan tatapannya ke luar jendela. Wajahnya menunjukkan kerisuan.
“Sebaiknya aku tak membicarakan hal ini.”
Lorna balik memandangnya.
“Tidak Dewa. Bicarakanlah kalau itu akan membuatmu nyaman. Lorna akan mendengarkan.”
“Ah!” Dewa menarik nafas.
“Tapi jangan membuat jantung Lorna berhenti seperti saat di perpustakaan tadi.” kata Lorna dengan senyum.
Dewa ikut tersenyum.
“Hatimu baik, Na.”
“Ah, hati mamu yang baik, Dewa!”
“Kamu!”
“Kamu!”
“Kamu!”
“Kamu!“
Keduanya saling memandang.
“Teman-teman sekelas sedang marah padaku.” kata Dewa setelah keduanya terdiam.
“Kenapa?”
“Karena aku tak ikut pentas seni kemarin.”
“Itu kan hakmu, Dewa.”
“Ya, tapi aku merasa seperti egois. Mengabaikan makna kebersamaan.”
Langit biru tanpa awan saat keduanya turun dari mobil. Matahari terasa membakar. Cuaca memang sulit dipastikan. Berhari-hari turun hujan. Berhari-hari terik membakar.
“Dewa mau minum apa?” tanya Lorna saat dalam restorant.
“Ikut kamu.” jawab Dewa.
“Pilihlah di lembar menu.”
Dewa hanya membolak-balikkan lembaran menu. Nama-nama menu yang tertera membuatnya bingung.
Lorna tersenyum menatapnya karena Dewa tak juga menetapkan pilihannya.
“Okey. Ikut Lorna ya?”
Dewa mengangguk.
Lalu Lorna memanggil pelayan dan memesan apa yang diinginkannya.
“Lorna sekalian pesan Pizza buat Ibu ya?”
“Sudahlah. Jangan repot seperti itu.”
“Lorna tak repot, Dewa. Yang repot kan pelayan.”
Dewa menatap Lorna yang masih suka bercanda.
“Kalau ada yang melihat kita, mereka berpikir kita pacaran.” komentar Dewa terus terang.
Lorna tertawa kecil karena pada saat bersamaan dirinya sedang memperhatikan beberapa cewek satu seragam sekolah dengan dirinya dan Dewa sedang mengantri pesanan seraya sesekali melihat ke arah dirinya dan Dewa.
“Memangnya kenapa? Dilarang?” Lorna menimpali.
Dewa menjulurkan lidah. Lorna membalas menjukurkan lidah. Dewa mencibir dan dibalas Lorna melakukan hal yang sama. Dewa memadukan bulatan hitam matanya ke arah pusat batang hidungnya yang membuat Lorna tertawa renyah. Lalu Lorna membalas dengan hal serupa.
Kedua lantas tertawa bersama. Tak lama kemudian keduanya menikmati pesanan mereka sembari terus berbincang. Seakan berusaha melupakan masalah yang sedang menghinggapi Dewa. Lorna senang bisa membawa Dewa ke tempat itu. Lorna senang bisa membawa Dewa ke suasana kebersamaan.
“Lorna pingin Dewa sekali-kali ke rumah.”
“Nantilah!” jawab Dewa.
“Kalau tidak hujan, hari minggu ini Lorna dengan Mommy mau ke Selekta di Batu. Dewa ikut ya?”
Dewa tak menjawab.
“Kalau Lorna minta tolong, bersediakah Dewa?”
Dewa menatapnya.
“Silahkan!”
“Tapi ini bisnis. Meski keinginan pribadi tapi ini suatu pekerjaan. Lorna tak mau kalau ini akan menjadi urusan pribadi karena menyangkut uang.”
Dewa memadukan kening berusaha memahami.
“Masalah lukisan?” tanya Dewa.
Lorna menggeleng.
“Masalah batik?”
Lorna menggeleng.
“Lorna ingin Dewa membantu Lorna membuatkan kolam di taman belakang rumah.” jawab Lorna menatapnya dengan senyum berharap.
Dewa masih diam belum menjawab. Berpikir.
“Ingat! Ini memang pribadi tapi Lorna ingin Dewa menilainya menurut profesi. Lorna tahu Dewa bisa mengerjakannya. Biayanya berapa pun Lorna tak akan menawar.”
Dewa masih diam seraya menikmati pizzanya.
“Kalau keberatan. Lorna tak akan memaksa.”
Dewa lantas menyela.
“Siapa yang keberatan?”
Keduanya saling pandang. Lorna memaknai tatapan Dewa sebagai ungkapan bersedia.
“Thank you!” Lorna mengucap tanpa bersuara. Hanya gerakan bibirnya. Yang dibalas Dewa dengan kedipan mata.
Lorna tersenyum. Hari ini terasa menyenangkan. Hari ini Dewa seakan membuat hidupnya terasa lengkap.
“Kolam bagaimana yang kamu inginkan?” tanya Dewa saat mereka sudah berada di rumah Dewa.
Lorna tak menjawab pertanyaan Dewa. Perhatiannya masih tertarik pada situasi sekeliling rumah Dewa. Melihat ke sisi rumah. Ibu sedang meniup ujung canting setelah dicelupkan dari wajan tempat lilin dibakar. Aroma lilin tercium hingga tempatnya berdiri.
Sementara Dewa sibuk membenahi kain batik yang telah kering dari jemuran. Beberapa diantaranya kain batik pesanan Lorna.
“Setelah ini diapakan lagi?” tanya Lorna.
“Dilorot”
“Apa itu dilorot?”
“Direbus untuk menghilangkan lilinnya.”
Lorna membantu Dewa melipat lembaran kain batik yang masih akan proses lagi, menempatkannya ke dalam ke ranjang.
“Setelah dilorot?”
“Ditutup lagi sebagian dengan lilin. Bagian yang tidak ditutup lilin diberi warna berbeda. Proses ini bisa melalui tahapan berulang, tergantung motif dan thema batiknya.”
Lorna mengangguk mengerti.
“Aku buatkan wedang jahe ya?”
Lorna tersenyum mengangguk.
“Jahenya hasil budidaya sendiri.”
“Oh ya?”
“Untuk itu kamu perlu mencoba.”
Lorna tersenyum. Ponselnya berbunyi. Dewa segera berlalu membawa keranjang berisi kain jemuran ke dalam rumah. Memberi keleluasaan Lorna menerima telepon yang berasal dari Mami yang menanyakan kenapa terlambat pulang.
Lorna lalu memberitahu keberadaannya. Mami tidak lagi cemas karena kepergiannya ada pengawalan supir keluarga yang dipercaya.
Dewa merebus air. Lalu mengupas umbi jahe dan menumbuk sebelum direndam dalam air panas.
Dari ruang dapur yang terbuka dia bisa melihat Lorna selesai menerima telepon. Gadis itu nampak berkeliling kebun yang ada di belakang.
Menurut Lorna tanah di sekitar rumah Dewa cukup luas. Selesai membuat minuman jahe. Dewa menghampirinya. Mengajak Lorna berkeliling untuk menunjukkan tanaman dan hewan yang dia pelihara.
Lorna melihat tata ruang yang terkelola dengan baik. Asri bersih dan artistik.
“Apakah Dewa tak sibuk mengurusi semua ini, belum lagi yang lainnya?” Lorna bertanya.
“Sesuatu kalau dilakukan dengan rutin dan dibiasakan maka keteraturan itu bisa dijaga.”
Lalu keduanya duduk berdampingan di sisi kolam. Di atas kursi bercorak potongan batang pohon tumbang yang terbuat dari campuran semen.
“Sebenarnya aku ingin kolam yang ada mata air. Tidak seperti ini yang mengambil dari aliran kali kecil.”
“Ikan apa di dalamnya?”
“Mujair dan Lele. Ikan kosumsi.”
“Ada ikan masnya?”
“Ikan mas tidak cocok dengan air seperti ini. Airnya harus jernih dan mengalir.”
Lorna melemparkan sehelai daun ke dalam kolam. Matanya merenung ke permukaan air yang bergelombang akibat ikan yang naik ke permukaan.
“Lalu bagaimana keadaan semua ini seandainya kamu harus menghadapi proses hukum itu lebih lanjut?” tanya Lorna lunak. Wajahnya sayu memandang Dewa. “Mudah-mudahan tak terjadi seperti yang Lorna kuatirkan.” lanjut Lorna.
Dewa tak ingin menanggapi. Lalu bangkit berdiri.
“Kita ke dalam yuk. Jahemu keburu dingin.”
Ada pematang sempit memaksa Lorna harus berpegangan tangan Dewa. Lantas Dewa menggapai tangan sehingga keduanya bergandengan tangan. Pegangan telapak tangan Dewa terasa nyaman baginya. Sehingga tanpa sadar keduanya bergandengan hingga mencapai teras belakang. Lalu Dewa melepaskan pegangannya saat melihat Ibu.
Ibu tersenyum pada Lorna.
“Ibu! Istirahat dulu!” kata Lorna.
“Ibu mengerjakan ini juga istirahat? Kerjaan Ibu mu ini hanya duduk-duduk saja.” jawab Ibu.
“Ibu, ini wedang jahenya. Sekalian mencoba Pizza yang dibelikan puteri kayangan.” kata Dewa seraya meletakan cangkir ke meja nakas di sebelahnya.
“Terimakasih, Le. Tinggalkan saja Ibu. Ajak adikmu berkeliling, Katanya ingin melihat-lihat rumah.”
“Ya Bu!” jawab Dewa sembari melihat Lorna yang tersenyum. “Minuman kita bawa ke dalam ya?”
Lorna mengangguk.
Lalu Dewa membawa Lorna ke ruang kerjanya. Sebuah kamar tempatnya melukis. Ruangan luas memiliki jendela kaca kotak-kotak lebar, yang memberi banyak cahaya masuk ke dalamnya.
Ada sofa di bawah jendela. Dewa memintanya duduk di tempat itu sementara dirinya duduk di atas tikar rotan di lantai.
Pandangannya mengedar, mengamati isi ruangan. Meneliti lukisan-lukisan. Ada yang ditumpuk bersandar ke dinding.
“Yuk, diminum!” ajak Dewa.
Lantas keduanya minum bersama.
“Hanya kamu yang kubawa kemari.”
“Oh ya. Kenapa?”
“Karena kamu anak tunggal sepertiku.”
“Hei!”
Keduanya diam. Terasa hening. Lorna meresapi suasana yang terasa nyaman. Aroma linsed oil dan terpentin memberi kesan tersendiri.
“Kolam bagaimana yang kamu inginkan?”
“Ada bunga teratai. Ada perdu. Ada ikan mas.”
“Kita buat sketsanya sebelum dikerjakan.”
“Karena itu Dewa harus ke rumah dulu. Bagaimana kalau hari Minggu?”
“Bukankah kamu mau pergi ke Selekta?”
“Ya. Tapi setelah itu Dewa bisa ikut sekalian sambil memikirkan tanaman atau ikannya.”
Lorna bangun dari duduk. Mendekati alat musik seperti gitar, biola, atau siter tak jauh dari tempatnya duduk. Lalu mengambil gitar, memberikan ke Dewa.
“Mainkan lagu seperti di malam inagurasi.”
Dewa tertawa menerima gitar itu. Lalu pindah duduk ke sofa di sebelah Lorna. Dan memainkannya. Dewa ingin menyenangkan hatinya, teringat bagaimana gadis itu menangisinya saat menemuinya di kantor polisi, karena itu dia tak keberatan menuruti keinginannya.
Lalu Dewa menyanyikan lagunya Iwan Fals yang berjudul ‘Kumenanti Seorang Kekasih’
Bila mentari kan bersinar lagi
Hatiku pun ceria kembali
Kutatap mega tiada yang hitam
Betapa indah hari ini
Kumenanti seorang kekasih
Yang tercantik yang datang di hari ini
Adakah dia selalu setia
Bersanding hidup penuh pesona
Jangan kau tak menepati janji
Datanglah dengan kasihmu
Andai kau tak datang hari ini
Musnah harapanku
Lantas Lorna ikut bernyanyi. Membuat Dewa mengulanginya. Nampaknya Lorna menikmatinya. Lorna terhanyut oleh irama gitar dan suara Dewa yang demikian pas di telinganya. Apalagi Dewa selalu pas memilih lagu yang syairnya seakan menyindir terhadap apa yang pernah dialami dan yang ada dalam pikirannya.
Benarkah dia pernah mengalaminya. Apakah menunggu janji Dewa waktu malam di rumahnya yang berjanji menemuinya di sekolah keesokan harinya, meski dia tak datang. Tapi betapa tersiksanya ketika Dewa mengingkarinya. Yang membuat hidupnya terasa mau runtuh.
Dewa memandang Lorna yang nampak terdiam dengan mata menerawang ke luar jendela.Lagu selesai dinyanyikan. Nampaknya Lorna tengah melamun dan tak sadar diperhatikan. Dan baru tergagap beberapa saat setelah Dewa menyandarkan gitar pada dinding yang ada di sisi belakang sofa.
“Oh!” Lorna terkesiap lalu tersipu. “Sorry...”
Dewa tersenyum.
“Lain kali disambung lagi. Kamu harus pulang.”
Wajah Lorna nampak kecewa. Perpisahan selalu membuat perasaannya tak nyaman. Padahal masih ada keinginan tinggal berlama-lama. Bernyanyi lagi seperti tadi.
Dewa bisa membaca apa yang dia rasakan.
“Masih ada hari esok.” kata Dewa menghibur.
Lorna mengangguk.
“Habiskan minumanmu. Pamit Ibu dulu lalu kuantar ke mobilmu. Oke?”
Lorna mengangguk.
Keduanya lantas berdiri saling berhadapan. Saling memandang dalam keengganan. Dewa bisa dengan jelas menjelajahi wajah Lorna, dan Lorna bis bebas menjelajahi wajah Dewa. Namun sesaat kemudian Lorna menunduk lantaran tak tahan dengan tatapan Dewa. Tatapan itu menggetarkan relung sanubarinya. Demikian pula Dewa ikut menunduk tidak ingin membuat gadis itu tersipu.
“Terimakasih mau berkunjung ke rumahku.” ucap Dewa dengan suara perlahan.
Lorna mengangguk.
“Terimakasih mau menerima Lorna di ruangan ini.” balas Lorna seraya menengadah perlahan dan membalas tatapan Dewa yang melemparkan senyum padanya.
Sesungguhnya Lorna berharap Dewa memegang telapak tangannya. Atau entahlah siapa yang akan memulai untuk saling berpelukan. Sehingga dirinya bisa merebahkan kepala di dada Dewa. Ah, tapi itu tak terjadi. Sikap kita berdua seperti ini memiliki alasan. Lalu apa alasannya? Apakah kita berdua memiliki perasaan yang sama? Apakah kita berdua merasa saling tertarik? Apakah Dewa memiliki perasaan yang sama seperti uang kurasakan kepadanya? Aduh ya ampun Apakah aku sedang jatuh cinta? Aduh memalukan bila Dewa sampai tahu.
“Na!” Dewa menyebut namanya. Lorna tersadar.
“Oh!”
“Melamun?”
“Sorry, De. Sorry!”
Dewa tersenyum memahami.
“Lebih baik Lorna pamit dulu pada Ibu.” kata Lorna berusaha menutupi sikapnya.
Dewa mengangguk.
“Ya, Mami mu juga pasti sedang menunggumu.” kata Dewa dengan suara datar agar tak membuat Lorna salah tingkah. “Mainlah kemari kalau kamu ingin sekalipun tak kamu jumpai aku di rumah. Bukankah Ibu sendiri sudah memintamu main-main kemari?”
“Ya!” Lorna tersenyum. Lalu mengambil secarik kertas nota dari dalam dompetnya, dan menuliskan alamat rumahnya, lalu diulurkan pada Dewa. “Ini alamat Lorna. Atau Lorna suruh Pak Yo menjemputmu?”
“Nggak perlu. ini sudah cukup.”
Dewa membantu membukakan pintu saat Lorna bermaksud masuk ke dalam mobilnya.
“Selamat siang, Na!”
“Siang Dewa. Bye!”
“Bye!”
Hari ini hati Lorna ceria sekali.