027. Di Perpustakaan

Dewa lebih ekstra dalam meredam kemarahan yang terpendam dalam dirinya. Dia tak peduli apa pun tanggapan semua teman sekelasnya terhadap kasus yang menimpanya, karena dia tak butuh simpati mereka. Dia menyadari sikap mereka sebagai akibat dirinya tak mau terlibat dalam Pentas Seni yang lalu.
    Hari pertama masuk sekolah pasca penahanannya di kantor polisi, waktunya lebih banyak dihabiskan di ruang BP dan Kepala Sekolah.
    Kedatangan Pak Bari ke sekolahnya mampu memberi keyakinan pihak sekolah untuk membatalkan skors yang rencananya dijatuhkan pada dirinya.
    Seperti janjinya kepada Lorna semalam. Setelah urusan dengan pihak sekolah. Dewa sengaja tidak kembali ke dalam kelas. Waktunya dihabiskan di ruang perpustakaan. Dia sudah mengatakan pada Beny kalau dirinya tak ingin diganggu.
    Lorna baru bisa menemuinya pada jam istirahat. Kesempatan itu pun pada saat istirahat kedua. Karena waktu istirahat pertama dirinya sedang berada di ruang Kepala Sekolah bersama Pak Bari.
    Dewa mengambil tempat di sudut ruang yang agak tersembunyi. Membuat Lorna lebih berusaha untuk menemukannya. Dewa melambaikan tangan saat dirinya melihatnya.
    Lantas Lorna menghampiri dan duduk berdekatan. Pertama yang dilakukan Lorna adalah memberikan sebuah kotak taperware serta susu kotak. Dan Dewa meyakini taperware itu berisi makanan untuknya. Gadis itu rajin membawakannya makanan.
    “Lorna yakin Dewa belum makan.” kata Lorna.
    “Kamu?”
    “Sudah saat istirahat pertama tadi.” jawab Lorna seraya memandang Dewa. Di wajahnya terbersit kecemasan.
    “Sambil kumakan ya?”
    Lorna mengangguk seraya tersenyum.
    “Kamu sendiri kemari?” tanya Dewa sembari minum sedikit susu kotak untuk membasahi tenggorokannya.
    “Mereka hanya mengantarku sampai pintu.”
    Dewa mengangguk-angguk.
    “Kamu rajin membawakan aku makanan. Kenapa?” tanya Dewa berterus terang.
    Lorna mengangkat bahu sesaat.
    Dewa tersenyum. Memperhatikan kecemasan yang terbayang di wajah gadis bermata biru itu.
    “Bagaimana perkembangannya?” tanya Lorna berhati-hati seraya memandang Dewa dengan seksama.
    “Kamu tak menjawab pertanyaanku.”
    “Entahlah!” jawab Lorna bingung.
    “Entahlah?” tanya Dewa. Sembari menikmati roti lapis.
    “Apa itu penting?”
    “Ya! Biar aku merasa nyaman menikmatinya.”
    “Jadi selama ini tidak nyaman?”
    “Aku ingin menyenangkanmu.”
    “Nyatanya berhasil. Lorna senang Dewa tak pernah menolak.”
    “Terus?”
    “Terus apa?”
    “Jawaban dari pertanyaanku tadi.”
    Lorna menarik nafas. Berusaha tersenyum. Tersipu karena tatapan Dewa yang menunggu jawabannya.
    “Apa?” tanya Dewa mendesak.
    Lalu Lorna mencoba memberi alasan dengan berhati-hati, takut Dewa berpendapat lain.
    “Karena...Lorna menyadari Dewa tidak punya saudara.”
    Dewa mengangkat alis.
    “Karena itu?”
    Lorna mengangguk ragu. Dahinya mengerenyit.
    “Sama sepertimu?”
    Lorna mengangguk pasti.
    “Seperti senasib?”
    Lorna mengangguk lagi.
    Dewa menggeleng. Lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Lorna yang bereaksi memincingkan mata.
    “Salah! Kita berbeda nasib!”
    Melihat wajah Lorna berubah tidak nyaman dengan jawaban Dewa. Lantas Dewa mencoba menggodanya.
    “Yang pasti karena Ibuku menganggapmu sebagai adikku.” jawab Dewa seraya tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. Dan itu membuat wajah Lorna kembali ceria.
    “Apa perlu Lorna panggil Kangmas?” goda Lorna.
    “Cobalah!”
    Lorna menimpuk wajah Dewa dengan sehelai tisu. Lalu memberi Dewa tisu buat menyeka tangan dan mulutnya.
    Keduanya tertawa. Keakrab keduanya dioperhatikan banyak pasangan mata yang berada di perpustakaan.
    “Sekarang ganti Dewa yang menjawab pertanyaan Lorna.” kata Lorna membantu Dewa membenahi kotak taperware.
    “Apa itu?”
    “Perkembangan masalah Dewa.” jawab Lorna kembali dilanda kecemasan. Sebab bisa saja wajah Dewa yang datar itu menipu. Sebab Dewa juga pandai menutupi.
    Dewa memandang Lorna dengan wajah dingin kembali. Roman seperti itu yang membuat jantung Lorna seperti mau copot.
    “Bagaimana?” Desak Lorna.
    Keduanya bertatapan dengan saling membisu. Lorna menunggu dengan seribu keresahan. Dan itu membuat Lorna terus mendesak ingin tahu kelanjutannya. Kemudian Dewa menjawab perlahan dengan wajah tenang tanpa emosi.
    “Aku dikeluarkan!”
    “Hah!”
    Bola mata Lorna seketika terbelalak. Lalu segera menutup wajahnya dengan telapak tangan.
    “No no no!” Lorna mulai menangis.
    Tapi sesungguhnya jawaban Dewa itu bermaksud menggodanya, namun reaksi Lorna diluar dugaannya. Dan itu membuatnya terkejut. Lalu cepat berusaha menenangkan dan menjelaskan.
    “Hei! Hei! Na Na Tenang dulu.”
    “Itu tidak adil, Dewa. Tidak adil!” Bola mata Lorna seketika sudah dibasahi airmata.\
    Dewa segera menggenggam tangannya.
    “Itu tidak benar. Aku hanya menggodamu. Aku tak dikeluarkan...”
    Lorna seketika menghentikan tangisnya. Wajahnya langsung menengadah memandang Dewa. Bola matanya sudah terlanjur basah digenangan airmata.
    “Kamu?”
    Dewa tersenyum.
    “Maafkanlah. Aku hanya menggodamu.”
    Kalau saja pada saat itu keduanya tidak menjadi pusat perhatian. Lorna akan memukul dan mencubiti Dewa dengan gemas.
    “Dewa jahat!” kata Lorna sengit.
    Dewa memandangnya teduh.
    “Sori. Aku memang jahat!”
    Lorna tersenyum. Ucapannya hanya bermaksud mengungkapkan kegemasan. Dewa tahu itu. Lorna segera mengeringkan pipi dan pelupuk mata dengan tisu.
    “Lorna membawa mobil?” tanya Dewa setelah Lorna mengeringkan pipi dan matanya.
    Lorna menjawab dengan menggeleng.
    “Sebaiknya begitu...”
    “Itu juga karena ada keperluan mau ke rumah Dewa, Lorna membawa mobil agar bisa sama-sama dengan Grace dan Rahma. Lalu bagaimana dengan Dewa?” maksud Lorna menanyakan Dewa berangkat sekolah dengan apa. Meski sudah tahu kebiasaan Dewa menggunakan sepeda pancal.
    “Tadi aku berangkat bersama Beny. Semalam dia ke rumah tak lama setelah kalian pulang. Dia tidur di tempatku.”
    Lorna masih mengenakan sweter untuk menjaga agar badan tetap hangat. Dia tahu Dewa memperhatikannya saat dirinya mengikat rambutnya kebelakang.
    “What?” tanyanya setelah selesai.
    Dewa tersenyum.
    “Kamu cantik!” jawab Dewa.
    “Hei! Memangnya kenapa?”
    “Lihatlah sekelilingmu. Mereka yang ada di ruangan ini. Memperhatikanmu dengan mencuri-curi.”
    “Ah. Nanti pulang kita bersama-sama ya? Lorna bisa sekalian antar Dewa pulang ke rumah. Lorna masih rindu Ibu.” Lorna mengalihkan pembicaraan.
    “Okey Diajeng.” jawab Dewa tersenyum.
    Lorna senang digoda Dewa meski tak tahu makna kata yang diucapkan Dewa.
    “Apa itu diajeng?” tanyanya tak mengerti.
    “Artinya adinda.” jawab Dewa langsung.
    “O...” Lorna tersenyum. Wajahnya bahagia sekali.
    Bel istirahat berakhir berbunyi.
    “Jangan lupa pulang nanti tunggu Diajeng di depan ya Kangmas?” kata Lorna balas menggoda sebelum berpisah.
    “Ya, Diajeng, Kangmas tunggu di depan.”
    Lorna tertawa renyah.