003. Tetap Kena Hukum

Akibat terlambat Dewa kena sangsi ketidakdisiplinan. Hukuman menantinya? Dan itu dijatuhkan di tengah acara inagurasi. Di tengah lantai aula yang berlapis kayu, beberapa alat musik diletakkan di sana. Itu bagian sarana dari hukuman yang akan dijalaninya.
Dewa tak melihat gadis berambut coklat keemasan, gadis yang bermata biru, gadis yang berwajah cantik, berkulit putih semu pink. Gadis itu terhalang kerumunan. Suasana aula yang temaram menyulitkannya mengenali warna rambutnya meski jelas berbeda dengan yang lainnya. Tapi apa pedulinya. Apakah gadis itu lolos dari sangsi disiplin? Dewa baru melihatnya lagi saat semua peserta orientasi diperintahkan membentuk lingkaran besar. Posisi berdiri gadis itu berada jauh di seberangnya. Terpaut beberapa orang dengan keberadaan Beni. Gadis itu sekali melihat kearahnya. Seakan ingin menyapa. Barangkali mau bilang terima kasih. Tapi Dewa tak peduli. Mereka semua sibuk menyimak arahan para senior.
Seorang senior memanggil seseorang yang akan menjadi pengiring dengan alat musik. Sesorang itu diketahui getol menunjukkan kepiawaiannya bermusik. Dalam masa orientasi lelaki yang ditunjuk itu selalu di daulat memainkan alat musik. Dan penuh percaya diri menunjukkan kediriannya.
“Ronal!”
Ronal lalu menuju ke tengah arena. Rambutnya yang panjang dikepang dua diikat pita merah muda dan kuning.
“Kamu mau pegang alat musik apa?”
Ronal memilih gitar.
“Oke, berikutnya kita panggil siapa yang terkena sangsi indisipliner.”
Seketika gadis bermata biru itu memandang kepada Dewa. Dewa berpikir yang kena sangsi lebih dari satu.
“... yang kena sangsi indisipliner mengangkat tangan!” kata seniorita pembawa acara.
Dewa menunggu sesaat ingin tahu siapa saja yang terkena sangsi sebelum mengangkat tangan. Ternyata hanya dirinya yang mengangkat tangan. Meski ada kelegaan gadis bermata biru itu lolos dari hukuman.
“Kamu lagi...kamu lagi!”
Semua tertawa.
“Maju ke tengah!”
Dewa maju ke tengah arena. Dewa merasa paling dikenal sering kena hukum. Dewa paling tahu alasan kenapa itu bisa terjadi. Bisa saja seniorita pingin mengerjai lantaran Dewa punya wajah teduh dan dingin, dengan tatapan mata yang tajam, wajah Dewa membuat mereka penasaran.
Sedang senior laki-laki merasa kesan yang tercermin di wajah Dewa seperti apatis, tak peduli seakan memberi kesan sombong. Apalagi tubuhnya tegap, rambut hitam panjang bergelombang sehitam alisnya yang gelap dan tebal.
Selama masa orientasi Dewa pasrah disemena-menai, padahal tak kurangnya bersikap tanggap, ringan tangan, berhati-hati, patuh, selalu menjaga sikap dan berusaha sebaik-baiknya menjalani masa orientasi hingga selesai.
Sepertinya malam inagurasi ini ada kesempatan baginya untuk membalik situasi. Peluang itu ada begitu melihat seperangkat alat musik di tengah arena. Ada seruling, saxophone, biola dan gitar. Hanya Beni yang tahu kalau Dewa menguasai semua alat musik itu.
Peserta duduk bersimpuh di atas lantai. Lilin sudah dinyalakan di atas lantai berjarak satu meter di depan masing-masing membentuk lingkaran. Sehingga penerangan dalam aula berasal dari cahaya lilin.
Tidak sebagaimana yang dirasakan gadis bermata biru itu. Yang matanya selalu mengarah pada lelaki yang telah jadi dewa penyelamat dari sangsi. Kini merasa empati dengan yang dihadapinya. Padahal baru kemarin pertama kali berhadapan. Menurutnya tak ada yang salah pada sikapnya, tapi kenapa menerima akibat tak menyenangkan.
“Kasihan dia!” kata gadis di sebelahnya.
Gadis mata biru itu menatap sejenak padanya, dan membaca nama di dadanya, namanya Rahmawati, lalu mengangguk.
“Ya. Padahal dia baik sekali!” kata gadis bermata biru.
“Tahu dari mana, kan kamu baru masuk kemarin!” kata Rahma balas membaca label nama di dada gadis bermata biru itu. Namanya Lorna.
“Dia yang memberiku obor dan lilin saat di pintu masuk, aku tak bawa apa-apa. Harusnya aku iuga kena hukum!” jawab Lorna sembari memperhatikan api lilin yang melambai-lambai di hadapannya pemberian lelaki itu.
Kedua gadis itu lalu berjabat tangan sebentar.
“Rahma!”
“Lorna!”
“Aku Ndari!” gadis sebelah Lorna ikut berkenalan, “Katamu kamu tak bawa obor?” tanyanya
“Aku tidak bisa buat!”
“Kan bisa suruh orang lain!”
“Tak ada orang lain. Aku baru datang!”
“Dari mana?”
“Australia...”
Ndari diam. Hanya mengangguk. Tapi bahasa Indonesianya lancar meski ada pengaruh aksen asing.
Rahma mengangkat alisnya.
“Ke Indonesia sama siapa?” tanya Ndari.
“Husss!” sela Rahma, “Seniorita memperhatikan kita. Ntar kena hukum!” bisik Rahma.
Ketiganya kembali menyimak acara. Ronal masih sibuk memainkan gitar, mengiringi lagu yang dinyanyikan bersama-sama.
Dewa berdiri di dekatnya. Sikapnya tenang. Lorna beruntung bisa melihat wajah Dewa karena posisi keduanya berhadapan. Mata lelaki itu kerap mengarah ke sebelah kiri. Lorna mencari tahu siapa yang diawasinya. Padahal dirinya berharap lelaki itu melihat ke arahnya, agar bisa bilang thank you!
“Ada dua pilihan yang akan kamu lakukan untuk hukumanmu karena tidak disiplin. Pertama, kamu harus menyanyikan tiga buah lagu. Lagu yang akan kamu nyanyikan terdiri tiga jenis; pertama lagu kebangsaan, kedua lagu daerah, ketiga lagu pop terserah kamu. Setiap lagu bisa kamu wakilkan memakai alat musik atau kamu bisa nyanyi bersama alat musik yang tinggal kamu pilih. Pilihan kedua. Kamu akan menari berkeliling dengan tiga lagu yang akan dipilih teman-temanmu yang akan diiringi gitar Ronal.”
Terdengar tepuk tangan riuh.
“Siap?”
Dewa tak mengangguk, tak tersenyum. Wajahnya dingin dan datar seperti yang sudah-sudah.
Lorna menggeleng-gelengkan kepala dengan lemah. Tak ikut bertepuk tangan, sebab tak sependapat dengan hukuman yang ditimpakan pada dewa penolongnya itu. Hatinya berkata. Itu sih bukan hiburan. Itu sih siksaan.
“Kasihan...” ucap Lorna lirih.
Ucapannya didengar Rahma yang langsung menyudahi tepuk tangannya seraya menatap kepadanya.
“Sori!” kata Rahma padanya.
Lorna tersenyum. Senyum gadis bermata biru itu manis sekali menurut Rahma.
Sedang Ndari bertepuk tangan lebih bersemangat. Seakan tak peduli jalan pikiran gadis bermata biru itu sembari memandang matanya dan berkata.
“Dia akan pilih main musik sambil nyanyi! Mau taruhan?”
Lorna mengerenyitkan kening. Gila! Mana aku tahu? Jawab Lorna dalam hati lalu menggeleng.
Belum sempat bertanya lebih jauh pada Ndari. Dilihatnya Dewa memungut biola dari atas lantai. Lorna segera berpaling kembali menatap Ndari yang mengedipkan sebelah mata padanya.
“Kamu kok...”
“Ssst!” Ndari menyela seraya meletakan jari telunjuk di bibirnya.
Suasana dalam aula sejurus senyap saat Dewa mencoba menggesek biola yang dia jepit di dagunya.
Lorna terpana oleh cara memegang dan menggesek dawai biola dan menyakini lelaki itu pasti mahir. Bola matanya yang biru dan jernih berkilatan memantulkan cahaya api lilin. Bayangan tubuh Dewa terpantul di dinding matanya seperti kaca. Sukmanya seakan larut saat Dewa mulai melantunkan lagu Indonesia Tanah Pusaka. Irama itu menggiring jiwanya melambung tinggi ke atas awan. Seakan dirinya sedang duduk termanggu dekat jendela pesawat yang menerbangkannya dari Australia ke Indonesia. Ada kerinduan. Ada keharuan. Ada sesuatu yang terasa ditemukan. Tetapi tak tahu apa sesuatu itu.
Ternyata bukan hanya Lorna yang terpana. Semua yang ada dalam aula terkesima dengan gaya dan nada Dewa memainkan biola. Irama yang Dewa dendangkan tak kalah dengan gaya maestro biola Idris Sardi. Membuai jiwa kebangsaan semua yang hadir.
Para guru maupun senior, baik perempuan maupun cowok juga terpesona tak bergeming hingga Dewa menyelesaikan gesekan biolanya.
Tepukan tangan Ndari dan Beni menyadarkan mereka dari keterpukauan, hingga kemudian ikut bertepuk tangan dengan riuhnya.
“Hebat! Hebat!” kata para senior.
Lorna yang semula enggan bertepuk tangan, akhirnya ikut memuji permainan biola Dewa.
“Berani taruhan lagi?” tanya Ndari pada Lorna.
Lorna tersenyum dan menggeleng.
“Kamu kok tahu?”
Tapi Ndari tak menjawab.
“Dia akan ganti alat musiknya!”
Benar juga. Dewa meletakan biola, lalu memungut saxophon. Perhatian tersita pada Dewa. Ronal yang duduk memangku gitar jadi terabaikan.
“Kamu tahu sekali tentang dia?” tanya Lorna pada Ndari penasaran.
“Ssst!”
Lorna terdiam.
Dewa berbicara pada salah seorang senior yang tak pernah berlaku kasar padanya. Dewa minta agar teman-temannya berdiri.
“Oke, kita turuti permintaannya agar kalian semua berdiri. Setelah lagu kebangsaan. Kini giliran lagu daerah...” kata senior berapi-api.
Semua berdiri. Dewa mencoba meniup saxophon di tangannya. Semua terkesima melihatnya memainkan alat itu. Saat intro lagu dimulai. Spontan semua terbawa irama lagu yang dibawakannya. Lagu Poco-poco.
Melihat semua larut dengan derap langkah yang dikomandani Beni. Lorna pun turut mengikuti irama. Lorna melihat Dewa menyemangati Beni. Ndari di sebelahnya tak ketinggalan bergerak lincah meniru gerak langkah Beni.
Semua bergoyang. Semua menari berirama Poco-poco. Banyak yang bisa menyanyikan bait syairnya. Derap kaki yang menghentak di atas lantai aula yang terbuat dari kayu, membuat suara bergemuruh.
Rolan melengkapi tiupan saxophon Dewa dengan iringan gitar.
Dewa berhasil membalikkan situasi dari seorang pecundang menjadi pusat perhatian. Apalagi saat meminta gitar dari tangan Rolan, dan menggeser posisinya agar kembali duduk dalam barisan lingkaran.
Kini Dewa menggantikannya duduk di kursi di tengah arena memangku gitar menghadapi mikropon.
“Apalagi?” tanya Lorna kepada Ndari penuh penasaran.
“Ya, nyanyi!” jawab Ndari singkat.
“Wow! Benarkah?” tanya Rahma dengan suara tertahan.
Lorna tersenyum. Wajahnya ceria. Tak sebagaimana saat pertama kali mendengar nama Dewa disebut untuk menjalani hukuman. Lorna tak suka bila Dewa akan menjadi bulan-bulanan bhukuman.
“Siapa namanya?” tanya Lorna pada Ndari.
“Lho, kamu kan sudah kenalan!”
“Belum!”
“Tadi waktu dia ngasih obor dan lilin kamu?”
“Nggak sempat!”
“Nggak baca label nama di dadanya?”
“Nggak!”
“Namanya Dewa!”
“Dewa?”
“Yap!”
“Thank you!” jawab Lorna lembut.
Ndari mengangguk.
Kamu tinggal di mana?” tanya Lorna lagi.
“Ssst!” Ndari meletakkan jari telunjuk di mulut. Gadis mata biru ini mulai banyak tanya, pikirnya. Mata Ndari memberi isyarat agar gadis itu memperhatikan Dewa.
Sejak pertama berhadapan dengan Dewa, pikiran Lorna jadi terpaku tentangnya. Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya yang butuh jawaban segera sejak menerima kebaikannya. Namanya sesuai sifatnya yang penolong.
Saat keheningan kembali menguasai aula. Petikan gitar Dewa seakan menyapa gelap malam di luar yang tidak jadi hujan, meski belum lama berselang sempat rintik-rintik, namun tak mampu membasahi bumi yang siang tadi dibakar terik mentari.
Semua mata kembali terpukau petikan dan suara Dewa saat menyanyikan lagunya Ebiet G. Ade yang berjudul ‘Kabut’.
   

    Kabut, sengajakah engkau mewakili pikiranku
    pekat, hitam berarak menyelimuti matahari
    Aku dan semua yang ada di seklilingmu
    merangkak menggapai dalam gelap
    Mendung, benarkah pertanda akan segra turun hujan
    deras, agar semua basah yang ada di muka bumi
    bila diam juga jiwa kami semua
    yang tengah dirundung kegalauan

    reff:
    Roda jaman menggilas kita, terseret tertatih-tahih
    seumur hidup terus diburu, berpacu dengan waktu
    tak ada yang dapat menolong, selain yang d sana
    tak ada yang dapat membantu, selain yang di sana
    dialah tuhan, dialah tuhan




Terlebih Lorna. matanya yang biru itu sampai tak berkedip. Tenggorokannya tercekat menikmati alunannya. Bait syair yang dinyanyikan seperti situasi yang belum lama dihadapi saat keduanya bertemu di gerbang depan.
Masih jelas dalam ingatannya saat lelaki itu melepas tali pengikat obor di sepeda sebelum obor tersebut diberikan kepadanya. Masih terbayang jelas saat wajah lelaki itu menengadah menerawang mendung di langit yang menciptakan gelap. Lalu telapak tangannya berusaha menangkap butiran air hujan. Lalu wajahnya tertimpa butir air hujan yang jatuh dari atas langit, menepis peluh akibat mengayuh sepeda mengejar waktu agar tidak terlambat di acara ini.
Ah, tapi dia tetap terlambat. Keterlambatan yang membuatnya harus bernyanyi di hadapan teman-teman dan para senior yang kini terpukau oleh penampilannya. Agaknya lelaki itu tengah merespi hukumannya.
Mata Lorna yang biru menjadi berkaca-kaca sebelum lagu itu usai dinyanyikan. Ada keharuan menyusup dalam sanubarinya lantaran irama lagu yang merdu membikin sesak rongga dadanya. Entahlah kenapa dirinya begitu cengeng kini. Apakah lantaran syair lagu yang indah itu? Ataukah lantaran lelaki itu telah membawakannya dengan baik seperti penyanyi aslinya? Ataukah keharuan itu muncul akibat perasaan senang melihat penampilannya? Ataukah dirinya telah menemukan sesuatu pada diri lelaki itu? Ah, entahlah! Yang pasti, baik  syair lagu, iramanya, suasana hati apalagi siapa yang bernyanyi terhubung menjadi satu. Dan itu menciptakan segala macam perasaan yang kini dirasakan.
Sambutan tepuk tangan yang diberikan terasa lebih bergemuruh. Dewa telah menyelesaikan hukuman. Sekaligus telah membuktikan dirinya bukanlah seorang pecundang.
Namun dalam acara penobatan dirinya memperoleh dua gelar. Sebagai yang terbandel dan terfavorit yang disampaikan di seksi api unggun saat acara bergeser ke luar gedung aula ke lapangan basket