Meski kolam telah selesai dan diisi air, untuk mengisi penghuni kolam masih menunggu Dewa. Tanaman air sudah tumbuh saling menyesuaikan, seperti; teratai, perdu air, lumut, juga penghuni tak diundang sudah meramaikan suasana kolam saat tengah malam dengan suaranya.
Gemericik air yang mengalir ke dalam kolam dan suara katak memberi perasaan damai. Terlebih sejak kasus Dewa ditarik kembali karena pengacara yang membela Dewa, yang bersama pengacara Lorna, berhasil menekan Timmy membatalkan tuntutan.
Lorna terlentang memeluk bantal. Matanya terkatup. Telepon masuk ke ponselnya sengaja diabaikan. Thema suara pengindentifikasi memastikan bahwa telepon yang baru masuk berasal dari Rahma.
Benaknya sibuk memikirkan Dewa, karena belum memberinya undangan. Padahal, seminggu lalu rencana sudah dimulai. Rahma dan Grace membantu mengatur acara termasuk penyebaran undangan. Undangan tak sebatas teman sekelas, tapi Lorna meminta semua teman sekelas Dewa diikutkan, sebab, sejak pertemuan di rumahnya dirinya mulai dekat dengan mereka. Hanya undangan buatnya yang belum tersampaikan, Rahma dan Grace tak ikut campur, sebab Lorna sendiri yang berniat menyampaikan.
Kenyataannya hingga malam ini belum ada peluang memberitahu Dewa. Meski sekedar merayakan ulang tahun, namun pernak-pernik yang harus disiapkan cukup melelahkan, dan untuk melepas penat dia tidak ingin diganggu telepon masuk.
Meski kasusnya telah dicabut Dewa masih belum masuk sekolah. Padahal pengacaranya telah memberitahukan hal itu saat dipanggil ke kantor polisi. Barangkali menunggu diproses pihak sekolah. Sengaja dirinya tak memberitahu agar tak terkesan semua itu berkat dirinya.
Andai Dewa memiliki ponsel tentu situasi yang dihadapi tak segalau ini. Andai dia memiliki ponsel, tentu akan dikiriminya pesan, “Ada dimanakah kamu Dewa?” atau dia akan memintanya datang di acaranya besok. Andai malam ini pun memaksakan diri menemui di rumahnya, dia yakin Dewa tak akan suka dirinya keluar di malam hari.
Sebaiknya besok pergi menemuinya sepulang sekolah. Besok saat jam istirahat, rencananya Rahma dan Grace akan membagi bingkisan snack buat semua teman dalam kelasnya dan yang ada di kelas Dewa. Lorna sudah berpesan agar tak ada yang membawa kado. Lorna hanya minta kartu ucapan saja agar seragam, syaratnya kartu ucapan harus dibuat sendiri, jangan sampai ada yang beli, sebab Lorna tidak ingin membebani.
***
Sementara di tempat lain. Dewa baru pulang dari kegiatan di luar. Beny juga baru pulang dai rumahnya. Beny sengaja ingin mengkonfirmasi kedatangan di acara ulangtahunnya. Meski terkejut Dewa berusaha menyembunyikannya. sebab besok dia sendiri punya acara yang tidak bisa dibatalkan. Seperti yang diberitahu Beny, malam itu juga Dewa langsung membuat kartu ucapan. Dewa memutuskan datang setelah acaranya sendiri selesai, biar terlambat asal tak mengecewakan Lorna yang tentu mengharap kehadirannya.
Saat Lorna tengah membayangkan apa yang sedang dikerjakan Dewa, dan di saat yang sama, Dewa sibuk membuat kartu ucapan. Entahlah, kenapa Lorna selalu membayangkan Dewa. Semakin hari seperti tiada hari tanpa memikirkannya. Terlebih setelah Dewa mengatakan bahwa dirinya adalah hal terindah yang pernah dia miliki, maka sejak saat itu merasa telah menjadi milik Dewa, begitu sebaliknya.
Kenapa Dewa yang dia pilih, bukannya Ronal, Yopi, atau Otto, dan sederetan nama lelaki yang telah mengiriminya sms cinta ke ponselnya. Meski Dewa tak pernah mengatakan cinta apalagi mengirimi sms karena tak punya ponsel, ucapan di pertemuan terakhir cukup mengisyaratkan cinta yang dimiliki Dewa terhadap dirinya. Tapi itu bukan sebab, itu akibat. Sebabnya saat masa orientasi Dewa telah mencuri perhatiannya. Lalu menjelang malam inagurasi, Dewa telah mencuri hatinya. Selanjutnya ibarat medan magnit, Dewa kutub utara dan dia sebagai kutub selatan, saling tarik menarik.
Dewa sendiri tak berpikir jauh kalau Lorna memiliki perasaa seperti itu. Baginya Lorna ibarat adik yang tak pernah dia miliki, tapi kini seperti menemukan hal itu ada pada diri gadis itu. Meski gadis itu cantik bak bidadari dan cerdas tapi selalu menempatkan diri patuh padanya, apalagi begitu perhatian pada Ibunta yang seperti telah memberi perhatian khusus pada gadis itu, padahal banyak gadis-gadis lain yang datang ke rumahnya dan bermaksud mendekatkan diri pada Dewa dianggapnya biasa saja.
“Ibu pikir kamu sudah tidur, Nak?” tiba-tiba Ibunya menyembul dari balik pintu kamarnya.
Dewa yang baru menyelesaikan lukisan pada kartu agak tersentak lantaran terganggu kosentrasinya.
“Belum, Bu.”
“Kamu membuat apa?”
Dewa memperlihatkan kartu itu pada Ibunya.
“Apik gambar kembangmu. Buat siapa?”
“Diajeng besok ulangtahun. Dia hanya minta ini.”
“Kalau begitu besok Ibu buatkan jenang abang. Kamu bisa mengirimkan padanya. Besok pagi, tolong belikan Ibu beras ketan dan gula merah.”
“Ya, Bu!”
“Kita kini banyak pesanan. Memang tidak baik rejeki ditolak, meski secara halus. Tenaga Ibu yang terbatas membuat penyelesaian pesanan menjadi lambat. Bukannya Ibumu tak sanggup mengerjakan. Ibumu hanya tidak ingin membuat kecewa orang-oang yang mau memesan batik.” kata Ibunya seraya mengambil tempat duduk di tepi tanjang Dewa.
Dewa menggeser duduknya hingga menghadap padanya. Apa yang menjadi pikirkan Ibunya juga sudah lama jadi pemikirannya. Pikiran itu tak pernah terputus, dan selalu diingatkan bila melihat Ibunya kala duduk membatik.
“Dewa berencana pergi ke Solo untuk belanja keperluan Batik. Dewa ada sedikit uang dari pekerjaan menggarap kolam kemarin. Bisa buat modal pengembangan Batik kita. Sebenarnya Dewa tak ingin Ibu terus menerus melihat Ibu melakukan sendiri. Dewa berencana mempekerjakan orang dengan sistem pembayaran prosentase hasil kerja, bukan gaji.”
“O, begitu?”
“Ruang sebelah bisa digunakan mengerjakan itu. Memang masih banyak sarana yang harus dilsediakan. Tapi harus dipaksakan meski perlahan-lahan, yang penting disesuaikan. Kalau ada kesempatan, Dewa utamakan membuat jumbleng buat limbah buangannya.”
Ibunya tersenyum dengan pemikiran puteranya. Anak yang ganteng, sopan, rendah hati, patuh, rajin, pejuang keras, tak pernah mengeluh, dan selalu prihatin. Bekal kehidupan yang ia tanamkan bukanlah materi melainkan sikap sebagai kesiapan menghadapi hidup.
“Ibumu hanya bisa nyuwun dumatheng gusti mugi-mugi kowe diparingi keslametan, rejeki lan kamulyan uripmu.”
“Amin! Doa Ibu selalu dikabulkan. Dewa pingin mengajak Ibu untuk nyekar pesarean Bapak.”
“Iyo, Ibumu yo pingin. Wis suwe ora ndeleng Bapakmu. Terus piye carane? Menyang kono nganggo duit, le?”
“Dewa akan sewa mobil untuk pergi ke sana.”
“Yogja jauh lho, Nak!”
“Dewa tahu Ibu, sekalian belanja keperluan Batik. Ibu juga perlu sekali-kali jalan-jalan ke Tawangmangu atau ke Kaliurang.”
Ibunya tersenyum bangga.
“Yo, wis, yen kui karepmu. Ibumu nurut wae. Terus piye belajar wayangmu ning Mbak Nyoto?”
Dewa memang sedang memperdalam tak hanya seni karawitan, tapi juga seni pedalangan dari seorang dalang yang sudah sepuh yang kini tak lagi bisa melakukan lantaran usia yang sudah usur. Segala ilmunya akan ditularkan pada Dewa. Selama ini Dewa melakukannya dengan diam-diam. Oleh karenanya dalam kamarnya banyak literatur tentang wayang yang didapat dari gurunya.
“Dewa sudah mulai nyuluk, Bu. Mulai membabar satu lakon.”
“Apik...apik....”
“Untuk persiapan dalam waktu dekat. Dewa akan memberi kursus membatik buat warga sekitar kampung kita. Nantinya, yang sudah bisa, kita beri pekerjaan menyelesaikan pesanan, biar mereka juga bisa punya penghasilan”
Ibunya manggut-manggut.
Dewa melihat Ibunya sudah mulai mengantuk. Ibunya mendatangi kamarnya bermaksud membicarakan banyaknya pesanan. Dewa sudah mengerti. Karena banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan.
“Sebaiknya Ibu istirahat dulu. Dewa akan melanjutkan pekerjaan Ibu yang sudah selesai.”
“Ya, kowe tinggal ngelir.”
Dewa memapah Ibunya kembali ke dalam kamarnya.
“Adikmu tumben tak kemari. Biasanya jedal-jedul mencarimu.”
“Mungkin banyak ulangan.”
“Ojo lali pesanan Ibumu buat jenang abang adikmu.”
“Ya, Bu!”
“Satu liter saja cukup...”