Lorna sengaja memasang alarm pada ponselnya agar bisa bangun lebih pagi. Ia juga melihat ada pesan suara yang berasal dari Papinya yang mengucapkan selamat ulang tahun. Ada juga banyak sms masuk menyampaikan hal yang sama. Antara lain dari mereka yang berusaha menjadi pacarnya. Tapi dari sekian sms yang masuk atau telepon yang tak diterimanya, tak satupun berasal dari seorang yang sangat diharapkannya, meski ia tahu hal itu sungguh muskil, sebab seseorang itu tak memiliki ponsel.
Saat membuka jendela kamar, pertama yang ditangkap adalah kolam di taman. Dengan teratai yang mulai berbunga. Gemrricik air yang memberinya kedamaian, seperti berada ditengah alam liar dengan aliran sungai. Membuatnya membayangkan lelaki yang ingin ditemuinya hari ini berada dipinggir kolam itu.
Mami melihat lampu kamarnya yang berada di lantai dua menyala dengan jendela kamar yang terbuka. Pertanda puterinya telah bangun. Ia melihat dari jendela kamar saat sedang bercakap-cakap dengan suaminya yang di Australia melalui pesawat telepon. Jendela kamar keduanya yang terletak pada garis sudut seratus duapuluh derajat, membuat mudah untuk saling melihat. Karena itu Maminya bisa tahu apakah puterinya sedang bangun ataukah sudah tertidur, sebab puterinya selalu mematikan lampu atau meredupkannya bila berangkat tidur.
“Morning, Honey!” teriak Maminya dari jendela kamarnya.
Lorna yang berdiri termangu tersentak dari lamunannya.
“Morning, Mom! I love you!”
“Happy Birthday, Honey. I love you too!”
“Thank you!”
Maminya melihatnya masih mengenakan gaun tidur. Biasanya sebentar lagi keduanya akan bertemu di balkon sembari meminum the hangat.
Dan Mami lantas memeluk dan mengecup pipinya ketika bertemu. Lalu duduk-duduk di balkon.
“Persiapan pestamu apakah sudah selesai?” tanya Mami karena melihatnya seperti masih menyimpan persoalan. “Yang Mami siapkan sudah beres. Makanan, souvenir, photographer, semuanya...”
“Rumah akan ramai kalau mereka datang semua.”
“Baguslah! Apalagi ini hari sabtu, malam minggu.”
“Tapi Lorna akan merasa bersalah bila Dewa tak datang!”
Mami terkejut.
“Kenapa?”
“Semua sudah dapat undangan dan pemberitahuan. Tinggal dia yang belum.”
“Kenapa, Sayang?” tanya Mami cemas.
“Lorna belum memberitahukan hal ini padanya.”
“Apakah tidak ada yang memberitahukan?”
Lorna mengedikkan bahu.
“Lorna tak yakin. Karena tugasku yang memberitahukannya.”
“Di sekolah kalian tak bertemu?”
“Dia belum masuk.”
“Kenapa? Bukankah masalahnya sudah selesai?”
“Kenyataannya dia belum masuk. Lorna juga ingin menanyakan hal itu.”
“Ya. Mami juga bertanya-tanya, kenapa dia tak datang lagi ke rumah. Apakah kolam sudah selesai?”
“Tinggal memasukkan ikan...”
“Kapan?”
“Menunggu kondisi kolam siap.”
Mami diam memandangnya.
“Kenapa nggak kamu telepon?”
“Dia tak punya telpon.”
Mami mengangkat alis, tak mengerti. Lorna membalas sepintas tatapan Maminya.
“Sudahlah, Mom. Jangan desak Lorna tentang hal ini. Sebab Lorna sendiri juga tak mengerti alasannya tak punya ponsel. Barangkali seisi sekolah hanya dia yang tak memegang ponsel.”
“Lalu langkahmu bagaimana? Tidak bisakah kamu meminta bantuan si Grace atau Rahma?”
Lorna menggeleng.
“Lorna bilang pada keduanya, kalau aku yang akan memberitahukan sendiri tentang hal ini padanya.”
Mami menarik nafas. Tak menyalahkannya. Tentu puterinya punya alasannya sendiri.
“Pulang sekolah Lorna akan mampir menemui di rumahnya untuk memberitahukan.”
“Jangan membawa mobil sendiri. Biar Pak Yo yang mengantar.” Mami langsung mengingatkan untuk menghindarkan kejadian serupa yang pernah dialaminya.
“Ya, Mom!”
Dewa akan datang bila tahu. Tapi timbul keraguan kalau tak diberi tahu. Lantas timbul pertanyaan, apakah Dewa tahu tanggal dan bulan kelahirannya? Apakah Dewa memiliki catatan sebagaimana catatan yang dipunyainya tentang dirinya?
Untuk menghilangkan keraguan dan memastikannya sendiri lebih baik menemuinya langsung ke rumahnya. Namun ia haeus kecewa sebab Dewa tak ada di rumah saat bertandang ke sana sepulang sekolah.
Rumah yang selalu nampak lengang. Hanya lamat-lamat suara musik gamelan dari siaran radio tua membuat rumah itu nampak damai. Aroma bakaran malam batik memberi nuansa yang tak asing baginya.
Lorna langsung mencium punggung tangan Ibu Dewa saat bertemu.
“Apa kabar, Bunda!”
“Oh, Dewi sembodro! Kowe kok wis suwe ora ketok?”
Lorna tersenyum. Ibu Dewa meletakkan canting lalu bangkit dan mencium kedua pipi Lorna dengan lembut.
“Bunda sehat?”
Ibu Dewa tersenyum mengangguk seraya memandang lekat wajah Lorna.
“selamat ulang tahun ya, Nduk. semoga panjang umur. diparingi selamet. diparingi kesehatan.”
“Terimakasih, Bunda,” jawab Lorna yang merasa terkesiap bagaimana Ibu Dewa tahu bahwa hari ini dirinya berulangtahun. Apalagi saat Ibu Dewa ke meja. Mengambil tempat yang berisi bubur merah yang belum lama disiapkan dan direncanakan akan diberikan pada gadis itu. Lorna berbibar-binar saat tempat itu diberikan padanya.
“Apa ini, Bunda?” tanyanya.
Di tangannya tempat itu masih hangat.
“Ibu baru selesai memasaknya. Ibu sudah memberinya doa. Bukalah!”
Lorna membuka tutupnya. Ia melihat bubur beras ketan warna merah dan ditengahnya berwarna putih.
“Ini jenang abang. Ibu sengaja buatkan untuk keslametan hari lahirmu.”
“Bunda tahu dari mana?”
“Semalam Kangmasmu yang memberitahu. Karenanya tadi pagi Kangmasmu yang belabnja beras ketan, gula merah dan kelapa untuk membuat ini.”
Bola mata Lorna seketika berkaca-kaca lantaran terharu. Ternyata baik Ibu Dewa dan Dewa sendiri telah mempersiapkan apa yang tak pernah dipikirkannya. Ia memang yakin kalau Dewa selalu tahu dan memberiperhatian, khususnya pada acara yang menurutnya bisa saja Dewa mengabaikannya atau tak memikirkannya. Kenyataannya baik Ibu Dewa dan Dewa memperhatikannya.
Ibu Dewa memandang dan bertanya. Kenapa menangis.
“Lorna terharu, Bunda. Lorna merasa bahagia sekali. Bunda dan Mas Dewa memperhatikan Lorna dan membuatkan bubur ulang tahun ini.”
Lorna belum paham bila yang masih memegang adat Jawa pada hari kelahiran atau weto kelahiran selalu membuat jenang abang atau bubur merah sebagai penanda disertai doa keselamatan. Ia bersyukur bisa memahami adat budaya leluhur Maminya, meski pemahaman itu didapatkan dari keluarga Dewa.
“Namanya jenang abang, Nduk!”
“Ya, Bunda. Terima kasih!”
“Bawalah pulang. Kangmasmu hari ini tak sekolah. Dia pamit pergi tapi tak bilang kemana.”
“Tidak apa Bunda. Lorna ingin tengok Bunda dan Mas Dewa. Lorna rindu kemari.”
“Ya Ibumu juga kangen kam. Kangmasmu ya begitu itu, kalau nggak janjian sulit bertemu. Dia sibuk. Urusannya banyak. Yang keroncong, yang karate, yang karawitan, yang nglukis, wis pokoknya akeh.”
Lorna tersenyum sembari mengangguk mengiyakan meski dengan airmata berlinang.
“Mau menunggu Kangmasmu?”
“Tidak Bunda! Lorna sebaiknya pulang. Mungkin nanti malam kemari.”
“Berani kemari malam-malam?”
“Tidak Bunda. Diantar supir.”
“Nah, begitu. Jangan keluyuran malam-malam kalau tak ada keperluan. Harus ada yang mengawasi dan menjagamu.”
“Ya, Bunda. Biasanya Mas Dewa yang menjaga Lorna, Bunda.”
“Ya...ya...ya, karena kamu adik yang dia sayangi.”
Ucapan Ibunya menenteramkan bathin Lorna. Saat duduk dalam mobil sembari memangku tempat berisi bubur merah, ia memejamkan mata. Mencoba meresapi telinganya yang mengiang ucapan Ibu Dewa. “... karena kamu adik yang dia sayangi.”
Kenapa Mami tak membuatkan dirinya bubur merah? Apakah Mami melupakan adat leluhurnya sebagai orang Jawa? Ataukah Mami tak memahami? Tapi yang jelas Maminya memang tak memahami. Mami hanya ingin menyenangkan puterinya. Peringatan hari kelahirannya ia hanya mengikuti selera dan keinginan puterinya. Ia tak pernah mengalami hal seperti itu. Merayakan ulang tahun dengan mengundang teman-teman.
Bagi Lorna perayaan itu memiliki banyak tujuan. Salah satunya adalah menciptakan keakraban dengan semua teman sekolahnya. Ia ingin tak merasa terasing. Ia ingin merasa memiliki teman. Ia ingin menikmati masa-masa sekolahnya seperti yang pernah Dewa katakan padanya.
“Kalau mau dibuatkan bubur merah. Masih sempat kita buat,” kata Maminya.
“Ya, Non. Kita bisa membuatnya. Masih ada waktu. Kita bisa pergi belanja beras ketan, gula merah dan kelapa,” tambah pembantunya.
“Ini sudah cukup sebagai syarat. Sudah terlalu banyak makanan yang sudah disiapkan,” Lorna menampik.
Setelah mandi. Lorna menerima telepon dari Rahma. Lorna hanya ingin beristirahat sebelum berganti pakaian dan turun ke lantai bawah yang sudah disiapkan Mami dan pembantunya. Sebab di bawah beberapa petugas video dan photo yang disewa sudah menyiapkan diri. Pak Yo sudah menyiapkan sound system. Para pembantu rumah ikut terjun merampungkan kesiapan acara sebelum Rahma dan Grace datang, karena keduanya yang akan memandu acaranya.
Mami tak mau menganggu puterinya yang sedang istirahat siang. Lorna akan bangun ketika alarm ponselnya bergetar dan berbunyi. Saat itu hari telah beranjak temaram. Senja mulai berganti malam. Saat Lorna berbenah diri. Di lantai bawah sudah ramai teman-teman sekolahnya sudah berdatangan. Mami mendatanginya di kamar ikut membantunya merias diri. Maminya tahu puterinya tak suka merias diri berlebihan apalagi bermake-up. Puterinya selalu tampil natural. Meski pun begitu penampilannya bak bidadari. Kecantikan wajah, postur tubuh, matanya yang biru, rambut coklat gelap keemasan, gaun panjang yang dikenakan. Itu membuat Maminya merasa bangga memiliki puteri bidadari.
“Happy birthday, sweetheart!” Maminya mengecup bibirnya yang ranum dan lembut, terasa lunak. “Banyak juga teman-temanmu yang hadir. Di bawah meriah sekali. Mereka menanyakanmu. Mereka tak sabar menunggumu.”
Mami memandangnya takjub, meski dalam keseharian apa yang dilihat yang ada pada diri puterinya tak berbeda. Namun dengan gaun panjang puterinya nampak dewasa. Apalagi bila melihat buah dada dan pinggul yang mengalami perubahan.
Rahma dan Grace juga mendatangi kamarnya.
“Hai!”
“Met ultah ya?” kata Rahma lantas keduanya saling memadukan pipi, demikian pula dengan Grace.
“Panjang umur, sehat dan semakin cantik!”
Mereka tertawa.
“Terus gimana acaranya?” Lorna bertanya.
“Kamu turun ke bawah setelah menunggu teleponku. Sambil di bawah menyanyikan lagi happy birthday.”
Mami meninggalkan ketiganya, Memberi ruang pada ketiganya bisa berbicara bebas.
“Banyak yang datang?” tanya Lorna ingin memastikan.
“Semua!” jawab Rahma.
“Ah, tidak semua...” potong Grace.
Lorna memandangnya.
“Tugas undangan yang kusebar sudah sampai. Sepertinya semua hadir sesuai rincian catatan kita berdua. Tinggal satu undangan yang belum muncul, undangan yang menjadi tanggungjawabmu.”
“Okey, aku paham yang kamu maksud.”
Rahma dan Grace memandangnya tajam. Lorna membalas tak kalah tajam.
“Okey! Itu tanggungjawabku.”
“Ada masalah?” Rahma bertanya.
“Nggak ada!” jawab Lorna.
Namun jawaban Lorna bagi Rahma dan Grace tak seperti yang terlihat di wajah Lorna yang berusaha menyembunyikan kegalauannya.
“Ada beberapa orang yang datang meski tak diundang.” Rahma menambahkan.
“Biarkan. Tak apa!”
“Mereka adalah kakak-kakak kelas.”
“Cowok atau cewek?”
“Cowok!”
Alis mata Lorna terangkat seketika.
“Siapa?”
“Ada Yop. Ada....”
“Sudah...sudah....”
Kemeriahan pesta ulangtahunnya perlahan menepis kegalauan hatinya akibat ketidakhadiran seseorang yang begitu diharapkan. Tapi kekecewaannya sebagai konsekuensi tak memberitahukan undangan. Jadi apa pun itu, pil pahit harus ditelannya. Meski dirinya harus hipokrisi di tengah kerumunan teman-temannya.
Kemeriahan tak cuma berlangsung di ruang utama yang menyatu tembus ke taman. Hingga banyak teman-temannya berkumpul sembari menikmati makanan dan minuman dengan suasana santai di taman. Banyak yang duduk-duduk di tepi kolam.
Rahma nampak duduk-duduk di sana bersama beberapa teman sekelasnya. Grace berada di ruang utama berkumpul dengan yang lain. Sementara Lorna dikuntit beberapa teman cowoknya. Seperti Yopi, Ronal, karna kedua lelaki itu nampak saling berusaha mendekat pada Lorna.
Namun Lorna nampak berusaha menjauhkan diri dari Ronal, sehingga membuat Yopi merasa tinggi hati dalam melayani Lorna berbincang. Ronal berusaha menarik perhatian dengan memainkan piano yang ada di ruang utama. Usahanya memang berhasil, khususnya pada teman-teman wanitanya.
Malam kian larut. Satu persatu mulai berpamitan pulang. Rahma dan Grace membantu Lornas melayani teman-temannya yang berniat pulang dulu. Sementara Lorna nampak masih asyik berbincang dengan Yopi. Itu alasannya agar tak didekati Ronal. Timmy teman dekat Ronal sengaja tak diundang, cukup alasan melakukan itu.
Kartu ucapan sebagai pengganti kado dari teman-teman yang hadir ditumpuk pada meja khusu yang disediakan untuk itu, yang ada delat pintu masuk. Di ruang utama telah sepi. Petugas video dan photo sudah menyelesaikan tugasnya dan pulang. Beberapa anak yang masih ingin di tempat itu berkumpul di taman belakang di sekitar kolam. Lorna sedang duduk bersama Yopi. Ronal tak berada jauh bersama Grace dan Rahma.
Mereka tak menyadari mereka diperhatikan sepasang mata dari pintu yang menghadap taman. Ia adalah Dewa yang baru saja datang dengan diam-diam. Lama dia berdiri memperhatikan ke arah taman. Namun tak satu pun ada yang menyadari kehadirannya.
Dewa yang melihat Lorna sedang menikmati perbincangannya dengan Yopi. Lantas perlahan melangkah menjauhi pintu. Lalu mendekat ke meja tempat kartu ucapan dikumpulkan. Karena ia datang paling akhir, membuat kartunya berada di urutan teratas> Dewa meletakkan kartu ucapannya bersama setangkai bunga bougenville. Kemudian pergi keluar diam-diam pulang. Ia tidak ingin merusak suasana Lorna yang nampak ceria.
Meski saat berdiri di pintu tadi, Dewa sempat bertegur sapa dengan dua orang pembantu Lorna. Namun keduanya pikir kehadiran Dewa sudah diketahui majikan mudanya. Keduanya sudah akrab semenjak Dewa membuat kolam di taman belakang. Tidak menyangka, Dewa datang hanya sebentar. Pulang kembali setelah meletakkan bunga dan kartu ucapan.
Grace bertanya pada kedua pembantu Lorna yang sibuk membenahi sisa-sisa pesta.
“Pak Yo. Ada yang datang lagi?” tanyanya curiga, lantaran saat membereskan kartu ucapan buat Lorna, melihat ada tambahan kartu ucapan bersama setangkai bunga bougenville yang dia yakini seperti baru diletakkan. Karena yakin betul telah mengecek dan merapikan tumpukkan kartu itu.
Lantas kartu siapakah gerangan? Grace bertanya-tanya sendiri. Melihat bentuk kartu yang dilukis dengan baik dan dibubuhi tulisan indah. Dari semua kartu ucapan yang terkumpul, tidak ada yang menandingi bentuk kartu yang berada di tumpukan teratas. Seketika terlintas bayangan Dewa, hanya Dewa yang bisa melukis seperti itu, gaya tulisan indahnya, mirip gaya tulisan yang dulu sering dilihatnya di mading sekolah. Terlebih setangkai bunga bougenville, mengingatkan peristiwa pertemuan Lorna dan Dewa di sisi lapangan volly di bawah pohon bougenville.
“Dewa!” ucapan itu meluncur dari bibirnya. “Pak Yo!” panggilnya ke supir Lorna.
“Ya, Ning?”
“Dewa tadi kemari?”
“Ya, Ning!”
“Terus di mana sekarang?”
“Kurang tahu, Ning. Bapak pikir Mas Dewa langsung ke taman. Tadi Bapak lihat Mas Dewa berdiri di pintu belakang.”
Grace bergegas menghampiri Lorna.
“Dia datang!” kata Grace pada Lorna.
“Siapa?” tanya Lorna terkesiap.
“Dia!”
Lorna memandang Rahma. Jantung Lorna bertalu-talu. Dilanda resah. Segera menangkap siapa yang dimaksud Grace.
Lorna bangkit dari duduk. Mengikuti langkah Grace menuju ruang utama. Meneliti tumpukan kartu di atas meja.
Pandangannya langsung menangkap setangkai bunga bougenville. Langsung terbayang Dewa. Segera dibukanya dengan cemas. Nampak lukisan bunga bougenville putih berlatar belakang sapuan warna ping berbaur kuning. Jantungnya seperti berhenti.
“Dewa...” ucapnya tertahan, bibirnya sedikit gemetar.
Pandangannya mengedar. Seperti kebingungan. Lalu berlari ke teras depan, seperti ada yang dikejar. Memandang keluar ke pintu gerbang, seperti ada yang dicari. Lalu berlari ke sana untuk meyakinkan.
Rahma dan Grace saling pandang. Melihat Lorna ke luar gerbang, berlari ke tepi jalan. Menengok kanan kiri. Lalu memejamkan mata sesaat. Wajahnya nampak kecewa.
“Pak Yo tadi melihatnya datang,” kata Grace saat Lorna kembali di dekatnya. Semua keceriaan telah sirna dalam sekejap dari wajahnya.
“Pak Yo!” tiba-tiba Lorna berteriak memanggil. Hal yang tak pernah dilakukan. Ini akibat berbagai perasaan bercampur aduk tak karuan.
Pak Karyo cemas dengan sikap majikannya.
“Ya, Non!”
Pak Yo langsung menghampiri.
“Mas Dewa tadi kemari?”
“Ya. Non!”
Rahma dan Grace saling pandang mendengar Lorna menyertakan embel-embel kata Mas pada Dewa.
“Kenapa diam saja?” ada nada kesal dari pertanyaan itu.
“Nggh. Maaf, Non! Pak Yo pikir Nonik sudah tahu. Pak Yo pikir Mas Dewa pergi ke taman berkumpul dengan Nonik. Karena Pa Yo lihat, Mas Dewa berdiri di situ agak lama memperhatikan Nonik.” jawab Pak Yo seraya menunjuk ke tempat Dewa berdiri di samping pintu.
Lorna benar-benar galau. Kenapa Dewa hanya berdiri memandang tak menghampirinya. Apa yang membuatnya datang diam-diam hanya meletakan kartu dan bunga kemudian pergi?
“Barangkali melihat Ronal di antara kita,” kata Rahma.
Lorna menatap Rahma tajam. Bola matanya berkaca-kaca. Rahma dan Grace melihat ada kesedihan di wajahnya.
“May be...”
Rahma dan Grace mengangguk. Gadis mata biru di depannya kerap keceplosan menggunakan bahasa Inggris.
“Cepat sekali pulangnya...” kata Grace.
“Kalian tolong urus teman-teman di belakang. Lorna akan menyusulnya,” pinta Lorna.
“Okey, kejarlah!”
“Kalau ada apa-apa telepon Lorna ya?”
Rahma dan Grace mengangguk.
“Kamu pergi sendiri?” tanya Rahma cemas.
“Dengan Pak Yo!”
“Okey!” timpal Grace.
Lorna langsung pergi menyusul Dewa. Menyusuri jalan yang kira-kira dilalui Dewa. Sembari menelpon Maminya.
“Lorna pergi keluar dulu, Mom.”
“Dengan Pak Yo?”
“Ya, Mom!”
“Ada keperluan apa?”
“Dewa tadi datang. Lorna tidak tahu kalau dia pulang lagi.”
Mami merasakan ada nada kesedihan di suara puterinya.
“Memangnya tidak ada yang tahu?”
“Pak Yo tahu. Tapi tak menyangka hanya datang diam-diam sebentar. Lorna ke rumahnya. Ingin tahu alasannya pulang tanpa memberitahu. Lorna takut dia marah.”
“Marah kenapa?”
“Munghin kesal melihat Ronal di taman dengan kita. Mommy kan tahu sendiri, Dewa punya dugaan kuat yang merusak ban sepedanya adalah grupnya, hanya saja tak ada saksi.”
“Okey. Honey. Tapi hati-hati, ya? Dibicarakan baik-baik.”
“Ya, Mommy!”