038. Kehadiran Teman-Teman

Dewa sedang sibuk nglorot kain batik saat mendengar suara kedatangan Lorna yang bertemu Ibunya.
“Dewi Sembodro yang cantik ini seperti tak bosan-bosannya membawakan Ibumu ini makanan.”
    “Biar Bunda tak sibuk memasak...”
    “Masak apa. Tinggal hanya berdua dengan Kangmasmu mau masak macam apa lagi. Lagipula Kangmasmu lebih sering berada di luar rumah dengan urusannya. Kamu mau melihat Kangmasmu? Dia sedang nglorot di ruang sebelah.”
    “Nanti Lorna ke sebelah setelah melepas kangen dengan Bunda.”
    “Ayo, duduk dulu. Ibumu juga kangen kecantikanmu.”
    “Lorna buatkan Bunda minum ya.”
    “Sudahlah. Ibumu juga perlu istirahat. Sayangnya Ibumu baru selesai makan. Kalau tidak, kita bisa makan bersama apa yang kamu bawa.”
    “Bisa untuk makan malam, Bunda.”
    “Kamu sudah minta ijin Mamimu bila kemari?”
    “Sudah Bunda. Mommy selalu tahu bila Lorna kemari.”
    “Harus begitu. Mungkin sebentar lagi Kangmasmu selesai nglorotnya. Tinggal merendam lalu dijemur.”
    Saat itu Dewa telah selesai nglorot lalu merendam kain yang selesai dilorot. Namun dia memutuskan mandi dan berganti pakaian sebelum menemui Lorna di ruang belakang yang tersambung dengan teras.
    Dari jendela kamar Dewa melihat mobil Lorna yang di parkir di tepi jalan depan rumah. Mobil yang rodanya digembosi Timmy teman Lorna sendiri. Sepertinya Lorna datang ke rumahnya seorang sendiri tanpa supir.
    Sesaat kemudian Dewa meninggalkan kamarnya untuk menemuni Lorna di ruang belakang. Melihat keakraban Lorna dengan Ibunya.
    Lorna menyapanya saat mrlihat kemunculannya.
    “Hai!”
    “Hai!”
    “Adimu sudah menunggumu sejak tadi.” kata Ibunya.
    Dewa tersenyum. Lalu terlebih dulu mencium punggung tangan Ibunya sebelum duduk di kursi di samping Lorna.
    “Lorna mau mengembalikan jaket.” kata Lorna.
    Dewa mengangguk.
    “Dewa sudah siapkan airpanas buat Ibu mandi.” kata Dewa.
    “Kalau begitu Ibu tinggalkan dulu. Nanti air itu keburu dingin, kan sudah ada Kangmasmu.”
    Lorna mengangguk tersenyum.
    Dalam pakaian bebas gadis itu nampak terkesan dewasa. Rambutnya yang coklat gelap berkilauan mencerminkan kesuburan. Mata birunya seperti membawa kesan berada di suatu tempat lain setiap kali bertemu. Setiap kali melihatnya selalu dalam suasana segar. Kulitnya yang banyak ditumbuhi rambut lembut halus keemasan bersinar memukau.
    Lorna tersipu saat dipandangi Dewa.
    “Kenapa memandang seperti itu?”
    “Kamu cantik.”
    Lorna tersipu.
    “Kenapa memangnya?” tanyanya dengan suara lembut.
    “Lebih dari biasa saat kamu pakai seragam.”
    “Kalau pakai seragam?”
    “Nampak kekanakan.”
    “Kalau sekarang?”
    “Terkesan remaja dan dewasa.”
    “Bukankah kita sudah remaja?”
    Keduanya saling memandang dan melemparkan senyum. Namun di balik semua senyum yang dilemparkan sejak tadi sesungguhnya ada kegelisahan yang mencekam. Dan itu tercermin saat Lorna berniat mengajaknya pergi keluar rumah. Dia ingin membawa Dewa ke rumahnya untuk bersama Maminya membicarakan penyelesaian kasus yang tengah menjeratnya.
    “Kurasa tidak bisa. Teman-teman sekelasku berniat sore ini datang kemari.” Dewa memberi alasan yang membuat Lorna sedikit terkejut.
    “Ada apa?”
    “Mungkin mau mengucapkan salam perpisahan.”
    Lorna merasakan sanubarinya tertikam dengan ucapan itu. Karena yang dia tahu masalah Dewa semakin santer dibicarakan, apalagi kejadian kemarin di pelataran parkir restoran di Pizza Hut menambah hangat. Karena itu dirinya tidak sabar untuk menjemput Dewa agar mau ke rumahnya, sebab malam ini penasihat hukum yang sudah ditunjuk Maminya berniat dipertemukan dengan Dewa.
    Namun Lorna tak bisa memaksakan diri pada keinginannya, terlebih Dewa tengah menunggu kedatangan teman-teman kelasnya.
    “Berapa orang yang akan datang?”
    Dewa berpikir sesaat sebelum menjawab.
    “Sekitar empat puluhan kalau semua. Sesungguhnya empat puluh satu termasuk aku.”
    Lorna diam.
    “Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanya Dewa mengalihkan pembicaraan.
    Tak sebaik ketika kamu masih masuk sekolah. Itulah jawaban spontan yang tertahan dalam hati Lorna.
    “Sebaiknya Lorna pulang sebelum teman-temanmu datang kemari.” kata Lorna yang membuat Dewa menatapnya tajam.
    “Apakah kamu ada acara setelah ini?”
    Lorna menggeleng.
    “Aku merasa nyaman bila ada kamu.”
    Sanubari Lorna yang tadi tertikam terasa terobati.
    “Kamu keberatan?”
    Lorna menggeleng.
    “Kamu mau kita berbincang sambil melihat kebun belakang?”
    Lorna tersenyum mengangguk. Lantas membiarkan pergelangan tangannya ditarik Dewa yang mengajaknya pergi ke kebun belakang. Pegangan itu memberinya perasaan hangat yang menjalar dan menutup luka menganga di dinding sanubarinya.
    “Aku akan mengerjakan kolammu.” kata Dewa saat di tengah kebun belakang.
    Semula Lorna kecewa saat Dewa melepas pegangannya.  Namun kekecewaan itu segera sirna saat Dewa beralih menggenggam telapak tangannya sehingga jemari tangan keduanya saling berada di sela-selanya. Dan itu terasa nyaman sekali bagi Lorna.
    “Kamu ijin Mami kemari lama atau sebentar?”
    “Terserah Lorna. Mami akan menelpon Lorna bila ada sesuatu yang ingin dibicarakan.”
    Keduanya lalu duduk di tepi kolam ikan seperti yang pernah mereka lalui berhari-hari yang lalu.
    “Kamu tak membawa baju hangat?” tanya Dewa.
    “Ada di mobil.”
    “Kalau tak membawa, pakai saja lagi jaket yang kamu kembalikan tadi.”
     Lorna mengangguk masih meraskan kehangatan genggaman jemari Dewa. Sesungguhnya dirinya-bertanya-tanya mengapa Dewa tak segan-segan menggenggam tangannya. Apakah Dewa merasa ada cinta dibalik hubungan keduanya selama ini? Apakah Dewa merasakan getaran cinta pada dirinya? Sikap Dewa seperti itu yang terjadi berkali-kali sepertinya menunjukkan rasa percaya diri akan jalinan hubungan mereka selama ini.
    “Aku akan mulai mengerjakannya besok dengan melakukan penggalian tanahnya terlebih dulu. Aku dibantu dua orang untuk menggarapnya.”
    Lorna terkejut lalu memandangnya.
    Dewa berpaling membalas pandangan gadis itu. Jarak wajah keduanya sebenarnya tak lebih dari empat puluh senti hingga aroma kesegaran wajah Lorna seperti bisa tercium oleh lubang hidung Dewa.
    “Aku sudah buatkan sketsa dan point-point untuk panduan pengerjaan untuk orang yang membantuku. Kenapa penggalian harus dilakukan dulu? Semua itu untuk menciptakan penyesuaian air kolam yang memerlukan waktu dengan tanaman air serta materi isi kolam sebelum bisa diisi dengan ikan agar ikan tidak gampang mati.”
    Lorna diam tak bergeming dan masih menatapnya.
    Nafas hangat Dewa juga terasa menyentuh wajah Lorna saat Dewa berbicara.
    “Kenapa diam?” tanya Dewa lantaran melihat Lorna tak menimpali apa yang sudah dibicarakan.
    Lorna masih diam.
    “Apakah itu persoalan?”
    Lorna menggeleng.
    “Aku akan berangkat pagi ke rumahmu untuk mengerjakan itu hingga sore hari. Tapi aku minta kamu jangan heran kalau aku ke rumahmu menggunakan seragam sekolah. Itu aku lakukan agar terkesan di mata Ibu aku berangkat pergi sekolah.”
    Kali ini sanubari Lorna kembali tertikam. Tikaman kali ini terasa lebih menyakitkan. Terlebih saat melihat Dewa mengutarakan sembari tersenyum. Padahal baginya hal itu tidaklah patut dianggap lucu.
    Hal itu memicu matanya kemudian berubah berkaca-kaca.
    “Ada apa?” Dewa bertanya heran.
    Lorna mengelengkan kepala. Melepaskan genggaman jemarinya dari jemari Dewa untuk mengeringkan airmata yang mulai menggenangi bawah matanya.
    “Aku menyakiti perasaanmu?”
    Lorna diam tak bereaksi.
    “Kenapa kamu sedih?”
    Lorna menggelengkan kepala.
    “Kerjakanlah kolam itu. Lakukanlah bila itu membantu meringankan beban Dewa.” Lorna menjawab kemudian.
    “Paling perlu waktu dua minggu menyelesaikan kolam itu.”
    “Lakukanlah Dewa!” jawab Lorna yang kian merasakan airmata kian menggenangi.
    “Kuharap kamu bisa mengerti.” kata Dewa dengan suara lirih.
    Lorna menatapnya tajam dan menjawab dengan tegas.
    “Lorna mengerti Dewa. Lorna memahami. Jangan segan-segan membicarakan biaya yang Dewa perlukan saat mengerjakannya karena Dewa harus membayar upah orang yang membantu Dewa.”
    Dewa mengangguk.
    “Lorna senang Dewa bicara jujur.” kata Lorna mulai terisak.
    “Aku memang orang jujur. Percayalah!”
    Lorna tersenyum di tengah kesedihannya, karena Dewa mampu membuat canda di tengah kepiluan hatinya. Dan itu membuat tangisnya mulai pecah.
    “Lorna percaya, De. Lorna percaya padamu yang baik pada Lorna.”
    “Aku memang orang baik.”
    “Oh, Dewa!”
    Lorna memekik semakin larut dalam kesedihan. Meski untuk sesaat tersenyum karena canda Dewa yang membuat perasaannya kian terbalut nestapa. Seharusnya Dewa yang sedih karena Dewa yang menghadapi masalah yang runyam. Bukan dirinya yang lebih banyak meratapinya.
    “Sudahlah, Diajeng. Kakangmas bisa ikut nangis.”
    Setiap ucapan Dewa seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi dirinya merasa bahagia karena termanja, sisi yang lain membuatnya terperangkap keharuan.
    Namun Dewa mampu membuat reda tangis Lorna yang dalam kurun hidupnya tak pernah menangis kepada oranglain selain Maminya. Tangisnya bukan lantaran nestapa larut dalam persoalan lelaki yang disukainya, melainkan lantaran perasaan bahagia bila berada dekat Dewa.
    Sesungguhnya Lorna telah jatuh cinta pada Dewa. Sikap Dewa menurutnya mencerminkan perasaan yang sama terhadap dirinya. Meski pun selama ini belum sepatah kata pun berbicara perihal cinta apalagi terkait hubungan mereka selama ini. Namun Lorna cukup merasakannya.
    “Hapus airmatamu. Kulihat Beny sudah datang.” kata Dewa. “Tisumu sudah habis?”
    Lorna mengangguk.
    Dewa lalu mengeluarkan sehelai saputangan dari saku celananya.
    “Pakailah ini.”
    Lorna memandang sesaat benda di tangan Dewa yang disebut saputangan. Hal itu sepeti menyadarkannya bahwa dirinya lebih membutuhkan sapitangan daripada tergantung pada kertas tisu selama ini. lLorna lalu menggunakan kain itu untuk mengeringkan matanya yang basah.
    “Terimakasih, De!”
    “Kembali Diajeng!”
    Lorna tersenyum.
    “Ya, Kangmas!” tambahnya.
    “Kangmas suka senyummu, Diajeng!”
    “Tapi apa yang menimpa Kangmas saat ini membuat Diajeng bersedih.”
    “Kita jalani saja hidup ini. Semua ada yang mengatur. Okey?” kata Dewa seraya menatapnya seraya mengedipkan sebelah mata.
    Lorna mengangguk meski tak paham dengan maksud Dewa tentang semua ada yang mengatur.
    Dewa menawarkan telapak tangannya bermaksud untuk memberinya gandengan seperti saat keduanya menuju ke tempat itu.
    “Nanti dilihat teman Kangmas...” Lorna ragu.
    Dewa mengangguk.   
    “Tak apa, hanya Beny! Aku hanya bermaksud menuntunmu agar tak perperosok di parit.”
    Melihat Lorna bimbang maka Dewa segera menurunkan telapak tangannya. Namun Lorna segera menjangkau telapak tangannya lalu keduanya saling bergenggaman erat.
    Keduanya bertatapan sejenak. Lantas saling melemparkan senyum. Keraguan Lorna menerima genggaman tangan Dewa lantaran takut dituduh plin-plan dan menyerobot lebih awal di tengah persaingan teman-teman wanitanya memperebutkan Dewa.
    “Saputangannya, Kangmas?”
    “Pegang dulu, Diajeng. Barangkali Diajeng masih perlu!” jawab Dewa.
    “Kangmas masih ingin membuat Diajeng menangis?”
    “Ah, enggak. Soalnya Diajeng gampang menangis.”
    Bila jemarinya telah berada dalam genggaman jemari Dewa, maka akan sulit baginya untuk melepaskanmya, sebab kenyamanan yang dirasakan seperti medan magnit yang teramat sulit untuk dilepaskan.
    Celakanya Dewa masih mengenggam tangannya saat berhadapan dengan Benny.
    “Baru kamu saja yang datang?” tanya Dewa.
    “Ada Ndari di dalam”  jawab Benny seraya memandang Lorna.   
    “Hai!” sapa Lorna.
    “Hai!” balas Benny.
    Tiba-tiba Ndari muncul dari balik pintu.
    “Dari mana saja?” tanya Ndari sketika pada Dewa. “Oh, si mata biru sudah ada disini.” katanya kepada Lorna.
    “Hai!” sapa Lorna.
    “Hai juga!”
    Lorna menjadi serba salah manakala Ndari memperhatikan jemari tangannya masih digenggam Dewa. Saat Dewa merenggangkan jemarinya kesempatan itu digunakan untuk melepaskan diri dari genggaman itu.
    “Kamu datang dengan siapa?” tanya Dewa kepada Ndari.
    “Dini! Tapi nanti semua akan kemari.” jawabnya pendek.
    “Mau bikin pesta perpisahan!”
    “Huss! Nanti didengar Ibu!” kata Ndari ketus meski ucapan itu terasa menyesakkan isi dadanya.
    “Lalu acaranya apa kalian kumpul kemari?” tanya Dewa.
    Tidak ada yang menjawab. Wajah Ndari nampak galau. Benny memandangan ke langit. Di sana tak ada awan hujan. Lorna memperhatikan tatapan Ndari ke tangan Dewa padahal keduanya sudah tak lagi saling menggengam.
    “Sebaiknya nanti kalian kumpul di ruang sebelah biar tidak mengganggu Ibu.” kata Dewa pada Benny. “Kamu atur dan temani mereka. Aku akan mengajak Lorna keluar sebentar dulu.”
    “Kemana?”
    “Cari camilan!”
    “Biar aku saja yang cari!” sela Ndari.
    “Okey kalau itu maumu.” balas Dewa seraya mengeluarkan dompet lalu memberi Ndari lembaran uang untuk membeli makanan. Tapi Ndari menolak.
    “Pakai uangku saja!”
    “Aku tak mau membebanimu. Yuk, kita pergi dulu.” Dewa lalu mengajak Lorna meninggalkan keduanya.
    Hati Ndari menjadi kesal. Kesal lantaran memergoki  tangan Dewa menggenggam tangan Lorna. Kesal melihat keduanya terkesan dekat. Apalagi saat Dewa memutuskan mengajak Lorna pergi. Kenapa Dewa yang sudah terlebih dahulu dikenalnya tak pernah menggandeng tangannya? Apalagi saling mengawinkan jemari tangan di depan matanya. Bukan hanya mengusik perasaannya. Lebih dari itu dirinya seperti dikhianati. Betapa tidak, selama ini keakraban yang terjalin  antara dirinya dengan Dewa menurutnya adalah jalinan cinta, tetapi kenapa lelaki kini menjalin kedekatan dengan gadis yang pernah berjanji tak akan menjadi saingan dalam memperebutkan teman lelaki.
    “Cemburu?” tanya Benny melihat roman masam di wajah gadis yang sesungguhnya tak kalah cantik. Kalau kecantikkan Lorna berunsur mancanegara, kecantikkan Ndari berunsur tradisional.
    Ndari tergagap lantas mencubit lengannya.
    “Kamu tahu kalau mereka menjalin hubungan seperti itu?.”
    Benny tertawa.
    “Hubungan seperti apa?”
    “Pacaran?”
    “Yang kamu lihat tak seperti pikiranmu? Kamu kalah berani mengambil sikap. Jadi jangan salahkan gadis bermata biru itu bisa akrab dengannya.”
    “Perempuan bule memang berani dan tak malu-malu. Kamu seharusnya tahu kalau selama ini...”
    “Aku tahu kamu menyukainya!” Benny langsung memotong. “Tapi apakah Dewa tahu?”
    “Maksudmu?”
    “Kalian telah saling mengungkapkan perasaan?”
    Ndari tak menjawab.
    “Apakah perasaan mesti harus diungkapkan?”
    “Bila perlu...”
    Ndari tercenung karena tiba-tiba merasa bersalah.
    “Sebaiknya kita ke dalam membereskan ruang sebelah sebelum teman-teman lain datang. Kalau kamu mencintai Dewa, sebaiknya kamu berusaha lebih keras. Aku rasa dia lebih sibuk memikirkan masalahnya.”
    Benny, Ndari dan Dewa telah akrab sejak mereka ,asih di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah, karena ketiganya selalu berada di sekolah yang sama. Karenanya ketiganya saling bersikap terbuka.
   
    ***

    Lorna tidak menyangka Dewa bisa membawa mobil. Selama ini yang ada dalam pikirannya setidaknya hanya bisa membawa sepeda motor meski hanya memiliki sepeda kuno biasa.
    Awalnya tak percaya, padahal hanya bermaksud mencoba menawarkan kunci mobil agar Dewa yang membawa, ternyata Dewa merespon dengan mengambil kunci tersebut. Hal itu dilakukan karena Dewa menganalogikan bahwa akan lebih sopan bila lelaki yang membawa kendaraan bukannya sebagai pembonceng. Meski untuk sesaat dia harus menyesuaikan karena belum biasa membawa kendaraan sedan mewah seperti itu.
    Lorna tersenyum sendiri.
    “Kenapa?” Dewa bertanya heran.
    “Sorry. Lorna pikir Dewa tak bisa drive!” kata Lorna saat keduanya sudah melaju di jalan raya.
    “Tak punya mobil bukan berarti tak bisa mengendarai.”
    “I know!” sela Lorna.
    “Untuk bisa aku sengaja mengambil kursus. Bagiku sebuah kebutuhan. Siapa tahu kalau dilengserkan dari sekolah setidaknya punya peluang menjadi supir angkit.”
    Ucapan itu sungguh tidak mengenakkan hati Lorna. Tadinya perasaannya lega dan bangga menyadari Dewa bisa menyetir mobil. Tapi kini kegalauan dan kesedihan kembali menyergap. Sebab  hal yang selalu dicemaskan dan ditakutinya adalah bila Dewa dikeluarkan dari sekolah dan dipenjara sebagai akibat kasus yang kini tengah dihadapinya.
    Namun bukan Dewa bila tidak bisa mengalihkan perhatian. Dewa mencoba menyetel radio yang ada di dashboard yang saat itu mengalunkan lagu ‘Help Me Make It Through the Night”, dan Dewa yang hafal dengan lirik dan lagunya langsung mengikutinya dengan bernyanyi.
    Lorna yang sebenarnya mulai terlarut dengan perasaannya lantas turut menyanyikan saat Dewa seperti memancingnya ikut bernyanyi. Maka keduanya bernyanyi.

    “Take the riboon from my hair
    Shake it loose and let it fall
    Laying soft againts your skin
    Like the dhadows on the wall
    Come and lay down by my side
    Till the early morning light
    All I’m taking is your time
    Help me make it through the night

     I don’t know what’s right or wrong
    Through I try to understand
    I got no promise of tomottow
    And tonight I need a friend
    Yesterday is dead and gone
    And tomorrow’s out of sight
    It’s so sad to be alone
    Help me make it through the night
    hm...hm...hm...hm
    I don’t want to be alone
    Help me make it through the night
    Please don’t let me stay alone
    Help me make it through the night

    “Suaramu bagus!” kata Dewa saat lagunya usai.
    “Ah! Dewa yang suaranya bagus.” jawab Lorna seraya menghapus titik airmata yang sempat terbit di sudut matanya lantaran perasaan bahagia dan keharuan yang sempat dirasakannya.
    “Ini gelombang radio Senaputra.” kata Dewa karena mengenal betul suara pembawa acaranya.
    Seketika Lorna menandai gelombang itu.
    “Senaputra tempat kita pernah bertemu?”
    Dewa mengangguk.
    “Ya, tempat itu memiliki stasiun radio pemancar.”
    Saat Lorna terbayang kembali pertemuan di tempat itu, Dewa membuyarkan bayangan itu.
    “Kita cari makanan apa?”
    “Lorna ingin membelikan mereka makanan cepat saji.”
    “Aku tak cukup uang untuk membeli sebanyak itu.”
    “Biar Lorna yang membeli.”
    “Sudah terlalu banyak uang yang kamu keluarkan untukku. Itu akan menyulitkanku mengembalikan.”
    “Tak cukup sulit bila Dewa cukup mengkalkulasikan saja. Kita beli paket ayam goreng dan dunkin donat. Minumannya kita beli tambahan cocacola yang botol besar biar praktis.” sela Lorna seraya tersenyum.
    “Untuk cocacola biar aku yang mencarinya ke supermarket.” Dewa menambahkan.
    Ketika keduanya menunggu pesanan yang cukup memerlukan waktu karena jumlahnya banyak, Dewa berniat meninggalkan Lorna karena akan pergi mencari minuman cocacola terlebih dulu.
    “Kita bisa tinggalkan dan Lorna akan berpesan dulu kepada pelayan restoran.” Lorna menanggapi.
    Artinya Lorna ingin ikut Dewa. Maka keduanya bersama-sama pergi ke supermaket yang juga terdapat di blok Sarinah.
    Kembali tanpa sadar Lorna membiarkan kembali Dewa menggandeng tangannya. Dan itu membuatnya juga tidak segan untuk menggelayuti lengan Dewa bila tidak sedang menggenggam jemari tangannya.
    Lorna mengambil beberapa bungkus besar kacang kulit yang dimasukkannya ke dalam troli saat Dewa sibuk mengambil beberapa botol besar minuman cocacola dan suprite. Tak hanya itu Lorna juga memasukkan snack keripik, kertas tisu dan beberapa yang lain yang menurutnya perlu.
    Namun sekali lagi Dewa tak bisa berbuat saat Lorna menyodorkan kartu ATM ke kasir saat berada di pintu pembayaran.
    Lorna hanya tersenyum saat Dewa mengedikkan bahu pasrah atas sikap Lorna.
    “Kita masukkan dulu ke dalam mobil sebelum kita ambil pesanan kita.” kata Lorna.
    Maka mereka mampir ke tempat parkir.
    Tanpa keduanya sadari. Tak jauh dari tempat mereka, terlihat Ratih baru saja keluar dari dalam kendaraan yang baru saja diparkirnya. Ratih nampak terkesima saat melihat Dewa dan Lorna meninggalkan tempat itu, terlebih saat melihat tangan gadis blasteran bermata biru itu menggelayut lengan Dewa. Hatinya panas. Banyak sebab yang membuat hatinya seperti itu.
    Ratih mencoba untuk membuntuti dengan menjaga jarak. Rupanya tempat yang dituju adalah tempat yang ingin dikunjungi. Namun dia semakin heran saat tak lama kemudian nampak kembali Dewa dan Lorna diikuti pelayan restoran sedang menjinjing tas besar berisi pesanan mereka.
    Lorna segera membuka pintu mobil, agar Dewa bisa mengatur bungkusan makanan di tempat duduk belakang. Lalu memberikan tips pada pelayan sebelum masuk ke dalam kendaraan dimana Dewa terlebih dulu menempatkan diri di belakang setir.
    “Kita langsung kembali atau masih mau mampir?” tanya Dewa.
    “Lorna rasa teman-teman Dewa sudah menunggu.” jawab Lorna.
    Dewa menghela nafas panjang yang tanpa dia sadari diperhatikan Lorna.
    “Kenapa, Dewa?” tanyanya kemudian.
    “Aku sebenarnya malas dengan urusan seperti ini.” kata Dewa saat di perjalanan kembali ke rumahnya.
    “Maksud, Dewa?”
    “Acara ini...”
    “Mereka kan teman Dewa.”
    “Saat seperti ini sebenarnya aku ingin menyendiri.”
    “Setelah dengan mereka, Dewa bisa lakukan itu.”
    Dewa melirik sejenak pada Lorna.
    “Aku ingin mengajakmu ke bulan kalau aku punya sayap .”
    Lorna tersenyum senang.
    “Teleponlah Mami.”
    “Sudah.”
    “Mami tak mengkawatirkanmu?”
    “Nggak bila bersamamu.”
    “Ini malam minggu. Tenru kamu ada acara.”
    “Acara apa?” tanya Lorna tak mengerti.
    “Acara apa saja! Acara keluarga. Acara dengan seseorang misalnya.”
    “Sebenarnya ada sih.”
    Dewa mengerenyitkan kening.
    “Sebaiknya lekas pulang. Aku tak ingin menghambat acaramu.”
    “Sejauh ini acara itu lancar karena sudah berada di tempat yang dimaksud.”
    Dewa memahami ucapan Lorna.
    “Maksudmu denganku?”
    Lorna mengangguk.
    “Nanti aku harus mengantarkanmu pulang.”
    “Kenapa? Bukankah Lorna bisa sendiri?”
    “Kalau pulangmu tak larut malam, silahkan. Tapi kalau tidak. Berkendaraan sendiri tentunya riskan bagi seorang gadis cantik dari keluarga berada sepertimu.”
    Lorna tersenyum.
    “Kakangmas mencemaskan Diajeng?”
    “Takut diajeng diculik Rahwana.”
    Lorna tertawa kecil.
    “Siapa itu Rahwana?”
    “Tokoh raksasa jahat berkepala sepuluh yang menculik Dewi Shinta isteri Rama untuk dijadikan isteri.”
    “Jadi Kakangmas jadi Rama suami Shinta ya?”
    “Bukan.”
    “Aku jadi Hanoman yang menyelamatkannya.”
    “O, siapa Hanoman?”
    “Seekor kera putih.”
    Lorna memadukan ujung alis di atas matanya sesaat seraya memandang Dewa yang tersenyum.
    “Kera?”
    “Ya, aku jadi seekor keranya.”
    “Diajeng tak mau diantar seekor kera maunya Rama.”
    Dewa tertawa.
    “Kamu belum ngerti wayang?”
    Lorna menggeleng.
    “Ceritakan!”
    “Memahami wayang perlu waktu seribu tahun. Tak cukup sepenggal waktu perjalanan ini. Dalam cerita wayang mengajarkan falsafah hidup. Karena itu untuk memahami hidup bisa melalui sarana wayang dan karakter tokoh yang ada di dalamnya.”
    “Dewa paham wayang?”
    “Sedang memperdalam. Diajeng mau berlatih tari jawa?”
    “Hei, mau Kangmas!” jawab Lorna spontan.
    “Kapan-kapan kita berlatih.”
    Wajah Lorna terbayang perasaan bahagia meski selalu mencemaskan Dewa yang mampu memanipulasi perasaannya di tengah menghadapi ujian hidup yang berat.
    “Diajeng yang mengurus konsumsi ya? Biar Kangmas yang menghadapi teman-teman.” kata Dewa saat mereka sampai di rumah.
    “Baik Kangmas!”
    “Kamu harus belajar budaya Jawa.”
    Lorna mengangguk tersenyum.
    “Mamimu kan asli Jawa, sekalipun Papimu orang bule, setidaknya kamu akan memiliki nilai plus.”
    “Karena itu ajari Lorna!”
    “Belajar budaya tak cukup memahami teori. Lebih tepat bila langsung terjun dalam kehidupan sehari-hari.”
    Lorna merasa alam pemikiran Dewa begitu dewasa. Sebenarnya ingin berdialog seperti itu bersamanya. Namun dia melihat Benny dan beberapa teman Dewa datang menghampiri.
    Lorna segera keluar dari dalam kendaraan disusul Dewa.
    “Kalian bantu Lorna membawanya ke dalam. Berapa yang datang?”
    ”Semua!” jawab Benny.
    “Semua?”
    “Ya, kenapa?”
    “Hebat!”
    “Siapa yang hebat?”
    “Aku!”
    Lorna tertawa renyah.
    “Sombong!”
    “Karena itu kalian mengucilkan meski menyambangi. Apa itu bukan hebat namanya.” kata Dewa berkelakar.
    Teman-teman Dewa tertawa sebelum menyapa Lorna dan membantunya membawakan belanjaan ke dalam.