013. Bersua Dewa Di Gerbang Sekolah

Lorna sengaja datang ke sekolah mendekati bel masuk berbunyi dengan maksud agar bisa bertemu Dewa seperti saat keduanya terlambat masuk di acara malam inagurasi.
    Usahanya ternyata berhasil. Dari kejauhan dilihatnya Dewa mengayuh sepedanya. tetapi Lorna tiba di gerbang sekolah terlebih dahulu. Sehingga langkahnya saat menyusuri jalan masuk sekolah di posisi lebih dulu. Lorna berharap lelaki itu tak melewatinya begitu saja.
    Hati Lorna berdebaran saat merasa lelaki itu menghentikan dan turun dari sepedanya beberapa langkah di belakangnya. Kenapa tidak dari dulu kulakukan ini? pikirnya.
    Lorna sengaja berpura-pura menghindari sesuatu yang akan melintas di sampingnya. Sehingga keduanya seakan tanpa sengaja bertatapan.
    Namun sikap keterkejutan Lorna saat keduanya bertatapan bukanlah dibuat-buat. Hal itu lantaran akibat sudah sekian aktu tak bertemu lagi semenjak kejadian di bawah pohon bougenville.
    “Oh, hai!” sapa Lorna.
    “Hai!” balas Dewa yang menuntun sepeda menyamakan langkahnya.
    “Terlambat?” tanya Lorna.
    “Masih ada waktu lima menit. Kamu yang terlambat.” jawab Dewa.
    “Ah, nggak juga. Sama sepertimu. Masih ada waktu lima menit.” kata Lorna seraya menatap sejenak wajah Dewa yang berpeluh.
    “Menurutku kamu terlambat. Kebiasaanmu selalu datang setengah jam sebelum jam masuk.”
    Lorna mengangkat alisnya. Matanya yang biru nampak bersinar. Heran ternyata Lelaki itu mengamatinya.
    “Tahu dari mana? Kamu kan selalu datang pas waktu.”
    Dewa tersenyum yang membuat Lorna terkesima.
    “Kamu juga tahu dari mana kalau aku datang pas waktu?” Dewa balik tanya.
    “Hei, pertanyaanku tolong dijawab dulu!” sergah Lorna.
    “Ada yang bilang...”
    “Siapa?”
    Lorna mencurigai Ndari, gadis yang diboncengnya kemarin. Tapi Dewa tak menjawab. Lorna berusaha menekannya.
    “Siapa?”
    “Rumor...”
    “Ah!” Lorna berpura-pura kecewa dengan jawabannya itu. Ternyata bukan Ndari.
    Dewa memandangnya sesaat.
    “Sori!” Dewa meminta maaf.
    “Kenapa?”
    “Sungguh, itu yang kudengar dari pembicaraan teman-teman.”
    Hati Lorna terkesiap. Sedemikian hebatkah dirinya jadi pembicaraan.
    “Kenapa mesti minta maaf kalau kamu bicara apa adanya.”
    “Karena kulihat kamu kecewa.”
    “Aku tidak kecewa.”
    Dewa tersenyum. Senyum itu membuat Lorna sulit menatapnya lama-lama.
    “Kalau tidak kecewa, kenapa mengeluh?”
    Langkah mereka di ujung persimpangan. Lorna akan menuju ke kelasnya sementara Dewa terlebih dulu akan meletakkan sepeda ke tempat parkir di belakang sekolah.
    Sebelum keduanya berpisah, Lorna memberanikan diri untuk mengatakan salah satu penyebab, kenapa mengeluh.
    “Kenapa sulit menemuimu?”
    Dewa tergagap, berusaha menghadapinya.
    “Kamu mencariku?”
    Lorna mengangguk lemah. Sulit menghadang tatapan Dewa yang tajam namun teduh itu.
    “Oh itu! Ya, aku sudah tahu. Ndari bilang kamu butuh orang yang bisa membantumu untuk mengajari tatarias busana. Kalau kamu tak keberatan datanglah ke rumah. Tapi tentukan waktunya.”
    Wajah Lorna bersinar.
    “Kapan?”
    “Kapan? Ya, terserah. Tapi tentukan ya?”
    Lorna mengangguk.
    “Ok? Aku harus naruh sepeda dulu.” kata Dewa yang bergegas hendak meninggalkannya.
    “Hai!” seru Lorna berusaha menahan.       
    Dewa menahan langkahnya. Menatap Lorna yang tersenyum mengulurkan tangan kepadanya.
    “Kita belum resmi berkenalan.” kata Lorna lembut.
    Dewa ragu menyambut jabat tangan gadis bermata biru itu.
    “Aku sudah tahu.” kata Dewa.
    “Tahu apa?” tanya Lorna.
    “Namamu...”
    Lorna tertawa kecil. Mengerti maksud Dewa.
    “Kalau begitu aku juga.”
    Dewa pun tertawa kecil. Tawa yang menyenangkan.
    “Siapa?”
    “Dewa kan?”
    “Siapa bilang”
    “Rumor!” jawab Lorna pendek.
    Keduanya lantas tertawa bersama.
     “Aku Lorna.”
    “Aku sudah tahu.”
    “Tahu dari mana?” tanya Lorna.
    “Rumor!” kata keduanya bareng. Lantas keduanya tertawa.
    “Oke, Lorna! Aku harus membereskan sepeda. Kamu juga harus b erada di bangkumu sekarang. Bula kamu perlu itu. Datanglah ke rumah kamu tak keberatan.” kata Dewa untuk meyakinkannya kembali.
    Lorna tersenyum terharu atas sikap Dewa. Lelaki ini memang benar-benar baik.
    “Lorna akan ke rumahmu, Dewa! Thank you! Bereskan sepedamu sebentar lagi jam masuk.”
    Dewa sadar ada berpasang mata memperhatikan mereka berdua, karena itu dia memutuskan bergegas pergi.
    “Dewa!” Tiba-tiba Lorna memanggil seraya mengejar langkahnya.
    Membuat Dewa berhenti menunggu.
    Lorna mengulurkan selembar tisu basah padanya. Dewa menatap benda di tangan Lorna sebelum menerimanya. Kulit Lorna halus dan bersih, putih bak pualam.
    “Wajahmu berkeringat.”
    “Thanks” Dewa mengucap dengan suara lirih.
    Lorna mengangguk.
    “Sama-sama, Dewa.”   
    Keduanya bertatapan tajam sesaat. Entahlah makna apa yang terkandung dalam tatapan keduanya.
    Setelah Dewa berlalu, Lorna bergegas melangkah ceria menuju kelasnya. Hari ini terasa indah baginya. Kabut yang menaungi benaknya seakan telah tersibak.
    Berbeda dengan Ronal yang sejak tadi memperhatikan keduanya dari kejauhan. Dahinya berkerut tegang. Hatinya mulai terbakar melihat Lorna begitu aktif mengulurkan tangan menjabat tangan Dewa. Terlebih saat keduanya tertawa. Nampak akrab. Apalagi pada saat gadis bermata biru itu memberinya selembar tisu. Sikap yang tak biasa diperlihatkan pada teman-teman leaki lainnya. Situasi tak baik sedang dihadapinya?
    Bel masuk kelas pun berbunyi. Dan suasana sekolah menjadi hening. Hanya suara keciap burung gereja di atas genting menyambut sinar mentari pagi.