012. Lorna Penasaran

Lorna penasaran. Pasalnya Dewa jam masuk sekolah selalu menjelang masuk kelas. Dan langsung pergi begitu saja saat pulang bila tidak ada kegiatan yang memaksanya harus tinggal di sekolah. Dan selalu ada saja yang dikerjakan mengisi waktu istirahatnya. Semua itu menyulitkannya menemui dan berbicara. Bahkan sudah berkali-kali dicoba memergoki di perpustakaan, karena kata Ndari, Dewa suka meminjam buku.
    Sesungguhnya Lorna tidak akan mengalami kesulitan seperti itu seandainya waktu itu menerima tawaran bergabung jadi redaktur majalah sekolah. Tapi nasi sudah jadi bubur. Butuh keajaiban untuk mendapatkan kembali kesempatan tersebut tanpa harus dirinya yang meminta. Yang diuntungkan adalah Ndari, Vina dan Anuf. Meski Vina dan Anuf teman sekelas, namun Lorna enggan meminta bantuan keduanya dengan alasan bisa menimbulkan persepsi negatif.
    Seiring waktu urusan bunga bougenville mulai surut. Namun kemudian perhatiannya tercurah kembali pada Dewa bukan lantaran bunga itu. Selama ini Dewa telah membuktikan padanya bahwa Dewa adalah sosok lelaki yang baik, dan itu sangat membekas di hatinya. Dewa juga telah membuktikan bahwa Dewa memiliki jiwa seni, lelaki berjiwa seni biasanya sikapnya lembut, meski ada keegoan, tidak bersikap genit pada wanita, dan itu pula yang dirasakannya, karena hingga saat ini Dewa tak bersikap proaktif dalam melakukan pendekatan padanya. Jauh berbeda dengan kebanyakan teman-teman lelaki yang lain yang berusaha mencuri perhatiannya.
    Kini senada kebutuhannya dalam menghadapi pentas seni mendatang. Grace dapat informasi dari Ndari bahwa Dewa bisa bantu dalam soal tatarias tradisional.
    “Dia pandai merias?”
    “Bukan dia. Setidaknya dia akan membantu, dia punya akses. Soalnya Dewa sangat kental dengan kultur jawa. Dewa kata Ndari, juga pandai membatik. Ibunya membatik dan menerima pesanan.” Grace menjelaskan sedikit.
    Pucuk dicinta ulam tiba. Pekik Lorna dalam hati. Kurasa Mommy bisa memesan kain batik kebaya padanya. Aduh, kok aku jadi ingin tahu lebih banyak soal dia. Dia bisa bermusik, dia bisa membatik ah tentu saja karena dia juga pintar menggambar.
    “Hei!” teriak Grace seraya melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajahnya. “Melamun?”
    Lorna tersentak. Lorna memang tengah terkesima.
    “Ah! Mudah-mudahan dia bisa memecahkan kesulitan kita. Lalu apa langkah selanjutnya? Selama ini kita kan kesulitan bertemu dengannya?” Lorna menutupi apa yang sedang dipikirkannya.
    “Kita pergi ke rumahnya.” kata Rahma.
    “Wauw!” seru Lorna.
    “Ndari bilang begitu” Grace menambahkan.
    “Alamatnya?”
    “Sudah kucatat.”
    “Telepon?”
    “Hanya alamat. Tidak ada nomor telepon.”
    Karena itu Lorna penasaran. Pulang sekolah Lorna memutuskan akan mengamati Dewa dari kejauhan. Hari ini Dewa ada rapat majalah. Menurut Vina dan Anuf biasanya rapat berlangsung antara satu hingga satu setengah jam.
    Cukup waktu bagi Lorna pulang dan berganti mobil dan kembali ke sekolah untuk menunggu dan mengamatinya dari kejauhan.
    Lorna ngebut untuk mengejar waktu satu jam yang hampir berakhir. Ada kecemasan lelaki itu sudah selesai rapatnya dan keluar sekolah untuk pulang.
    langit cerah saat Lorna memarkirkan kendaraan di tepi jalan Tugu. Kanopi pohon trembesi yang lebat di sepanjang tepiannya membantunya terhindar dari silau terik mentari, sekalipun berada dalam kendaraan ber-ac.
    Irama instumentalia mengalun dengan volume suara sengaja dipelankan. Terbersit kegelisahan diwajahnya lantaran sudah lebih satu jam lelaki yang dikuntit tak juga keluar dari gerbang sekolah. Jangan-jangan lelaki itu sudah keluar terlebih dulu sebelum dirinya mencapai tempat itu. Lalu berusaha mengibur diri. Masih tersisa waktu dua puluh menit lagi, baru benar kecewa bila lelaki itu tidak muncul juga di pintu gerbang.
    Untuk meredakan ketegangan selama menunggu. Dicobanya mengupas bungkus sebatang coklat. Setiba di rumah tadi sengaja mengabaikan Maminya untuk makan siang lantaran terburu-buru. Namun belum sempat batang coklat menyentuh bibirnya. Mulutnya ternganga. Bola matanya perlahan-lahan terbelalak. Sorot matanya menajam untuk meyakinkan apa yang tengah dilihatnya.
    Dipintu gerbang lelaki yang ditunggunya terlihat keluar menaiki sepeda. Bukan lantaran naik sepeda membuatmya terpana. Tapi lelaki yang ditunggunya itu tengah membonceng seorang gadis.
    Siapakah dia?
    Dilemparkannya batang coklat keatas kursi di sebelahnya. tak jadi dimakan. Segera dihidupkan mesin kendaraan. Lalu mengekor arah sepeda Dewa sembari menjaga jarak. Kaca rayben gelap menguntungkannya tidak mudah terlihat. Hati Lorna tergetar saat tahu yang dibonceng itu adalah Ndari.
    Kemanakah mereka? Apakah Ndari sengaja menumpang lalu berhenti di persimpangan untuk meneruskan arah pulang masing-masing?
    Apakah keduanya selalu seperti itu selama ini? Ah! Kenapa aku ini. Kenapa aku jadi cemburu? Ah! Bukankah aku sudah bilang waktu makan bakso bersama untuk tidak bersaing dengan mereka dalam memperebutkan seorang cowok? Aduh! Apakah kita sedang berebut? Ah! Kenapa aku ini? Ada apa aku ini?
    Selama menguntit dan bertanya-tanya arah tujuan mereka, ada perang dalam pikirannya. Lorna juga belum tahu rumah keduanya. Jadi Lorna mencoba unruk mengikuti saja.
    Ada perasaan iri melihat Ndari duduk dalam boncengan Dewa. Apalagi sesekali tangan Ndari memegang pinggang Dewa saat hendak berbelok. Kenapa mesti pegang pinggangnya. kenapa tidak pegang besi tempat duduk? Ah, kenapa pula aku ini. Biarlah suka-suka mereka.
    Dewa dan Ndari sama sekali tidak mengetahui kalau Lorna menguntit tak jauh dibelakang dengan mobil sedannya. Mobil yang digunakan Lorna bukanlah mobil yang biasa digunakan mengantarjemput dirinya ke sekolah setiap hari, karena itu Dewa tak curiga, dia pasti mengenalinya bila tal berganti mobil, bahkan dari ekor matanya beberapa kali sempat memperhatikan mobil itu ketika hendak berbelok.
    Namun usaha Lorna terhenti saat sepeda Dewa beralih ke jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil. Sungguh tak mungkin terus mengikuti. Apakah itu merupakan akhir perjalanan Dewa dan Ndari? Lorna tak tahu, apakah itu menuju rumah Ndari ataukah rumah Dewa? Baginya tak mungkin turun lalu meneruskan menguntit dengan jalan kaki. Maka Lorna terpaksa mengakhiri usahanya mengetahui tujuan Dewa berboncengan sepeda dengan Ndari karena keduanya telah lenyap pada sebuah belokan.
    Sementara mentari telah menjauhi titik kulminasi. Udara di luar panas menyengat. Fatamorgana membayang  di permukaan aspal jalan. Situasi terasa pengap sepengap hatinya.
    Hp-nya berdering.
    “Ya, Mom?”
    “Where are you?”
    “On the street. I am go home, Mom. I am all right.”
    Benarkah Lorna baik-baik saja? Perasaannya kacau. Hatinya panas. Dewa berboncengan dengan Ndari membuatnya jadi begitu.
    “Dari mana saja, honey?” tanya Mami menyambutnya di pintu. Maminya yang kuatir langsung menariknya ke dalam pelukan, dan membelai wajahnya yang sedikit muram.
    “I am sorry, Mommy. Lorna dari sekolahan.”
    “Ada apa?”
    “Cuma mau bertemu teman yang bisa membantu untuk urusan pentas seni nanti.”
    “Lalu?”
    “Kita harus ke rumahnya.”
    “Kamu tak boleh pergi kesana sendiri. Bila perlu Mami yang mengantar.”
    Lorna tersenyum. Dia tahu Mami demikian memproteksi.
     “Lorna tidak sendirian, Mom. Kita bertiga, bersama Rahma dan Grace.”
    Wajah Mami tak lagi cemas.
    “Honey, tak boleh pergi-pergi sendiri, ok?”
    Lorna mengangguk lemah.
    “Ok, Mom. I am sorry.” ucapnya lembut.
    Keduanya lalu bertatapan lembut.
    “Lorna tahu dimana Mommy bisa memulai mengoleksi kain kebaya.” kata Lorna perlahan.
    Mami mengangkat alis.
    “Ya?”
    Lorna mengangguk.
    “Dimana?” tanya Mami.
    “Mami ingat waktu Lorna mau malam inagurasi?”
    “Ya...”
    “Ingat waktu Lorna cerita lelaki yang membantu Lorna dengan obor dan lilin?”
    “Ya...lalu?”
    “Dia yang akan membantu tatarias tradisional”
    Mata Mami terbelalak
    “Dia bisa merias?”
    “Bukan dia, barangkali keluarganya Sepertinya dia dari keluarga seniman, Ibunya membuat batik. Dia sendiri tidak hanya pandai main musik dan suaranya bagus, dia juga pintar menggambar, kini jadi salah satu pengurus majalah sekolah...”
    Lalu berhenti sejenak sembari membalas tatapan Mami yang dengan seksama mendengarkannya menuangkan apa yang ada dibenaknya.
    “Lalu?” desak Mami.
    “Tapi dia tak banyak bicara. Sulit ditemui.”
    “Itukah yang membuatmu murung?” tanya Mami lembut.
    “Ajak bicara, honey.”
    “Justru itu keinginan Lorna, tapi aduh sulitnya bertemu dengannya.”
    “Barangkali karena kalian tidak sekelas.”
    “Itu salah satu alasan. Dia tak seperti teman-teman lain, kalau sedang istirahat ya istirahat, berdiri bergerombol atau pergi ke kantin beli makanan. Lorna tak pernah sekalipun melihatnya pergi ke kantin. Kalau tidak main basket pasti main volly.”
    Mami mengusap keningnya.
    “Mom?”
    “Ya?”
    “Kita coba pesan kain kebaya padanya ya?”
    Mami tersenyum dan mengecup bibir puterinya.
    “Sesukamu. Kalau keluarganya membatik, temanmu itu tentu tahu perihal batik. Kalau honey bermaksud pergi ke rumahnya, pergilah, tapi jangan sekali-kali pergi sendiri tanpa memberitahu Mami? Kalau tak ada teman, Mami juga mau menemanimu kesana.”
    “I am sorry, Mom.”
    Mami menjentik dagunya.
    “Mommy mencemaskanmu bila bidadariku pergi sendiri.”
    Lorna merebahkan wajah ke bahunya.
    “I love you, Mommy.”
    “Mommy juga sangat mencintaimu, sweetheart.” balas Mami lalu mengecup mata bidadarinya yang biru.
    “Sebaiknya kita makan dulu. Mommy lihat makan siangmu yang ada dalam tasmu masih utuh. Tadi makan di kantin?”
    Lorna tak menjawab.
    Hari ini tak memiliki selera makan. Meski dengan kemanjaan Mami yang suka menyuapinya. Setelah mengalami kepengapan udara di luar saat membuntuti Dewa, lebih suka menikmati anggur hijau.
    Di rumah itu ada beberapa pembantu, yang melayani mereka berdua. Sesungguhnya juga ada supir yang setiap saat bisa mengantar kemana saja dia ingin pergi. Namun selalu ada keinginannya bisa bebas, sendiri tanpa harus dikawal. Kecemasan Mami terhadapnya bila pergi bisa dimaklumi lantaran dirinya adalah anak tunggal. Kecemasan itu tak hanya dirasakan Mommy-nya namun terlebih Daddy-nya yang tak memperbolehkannya naik kendaraan roda dua.
    Semenjak melanjutkan sekolah di Malang. Kini kerap merasa sepi. Entah lantaran belum ada teman akrab yang bisa bermain ke rumahnya atau sebaliknya, atau barangkali perasaan itu muncul seiring perkembangan jiwanya sebagai remaja yang kian beranjak dewasa. Meski terkadang timbul pikiran menyalahkan orangtuanya yang hanya punya anak tunggal. Apabila memiliki saudara tentu tak sering merasa sepi dan gundah. Barangkali bila dirinya memiliki seorang kakak, tentu bisa dimintanya mengawal atau mengantarkan kemana dirinya ingin pergi. Setidaknya merasa ada yang melindungi.
    Perasaan seperti itu membuatnya jadi teringat Dewa. Lelaki yang menurutnya punya figur seorang kakak. Perasaan itu timbul manakala Dewa membantunya tanpa dia meminta saat memberinya sebuah obor dan sebatang lilin agar dirinya tidak terkena hukuman. Dia yakini apa yang dilakukan Dewa tanpa ada maksud lain. Bila ada, sudah tentu setelah itu dia akan melakukan pendekatan terhadapnya seperti yang dilakukan teman-temannya yang berusaha menarik perhatiannya, namun dirinya tak bergeming dan menganggap biasa saja.
    Tetapi terhadap Dewa ada perasaan lain. Sebaliknya Dewa mencuri perhatiannya. Apakah semua itu lantaran apa yang telah dilakukannya, atau lantaran ada hal lain. Yang jelas hal lain yang ada padanya yang membuat kemudian selalu memikirkannya menjelang tidur.
     Ah, Dewa!