011. Pekan Kesenian

Genap sebulan Papinya mulai membangun bisnisnya di Australia. Sebelumnya menjabat sebagai direktur sebuah perusahaan joint venture Australia-Indonesia. Pergantian untuk rolling penempatan ke Inggris membuatnya lebih memilih mengundurkan diri.
    Semula sekeluarga menempati rumah di Rawamangun Jakarta, kini tidak lagi. Maminya untuk sementara akan menemani puterinya yang memilih bersekolah di Malang.
    Tiga tahun esempe Lorna ada di Jakarta mengikuti masa tugas Papinya. Rumah yang ditempatinya kini di Malang tadinya adalah rumah peninggalan orangtua Maminya. Rumah itu kini menjadi milik orangtuanya sepenuhnya karena Mami telah membeli sebagai kompensasi dan uang penggantian dibagikan kepada saudara-saudara Maminya yang lain secara merata sebagai ahli waris pula.
    Lorna tengah memperhatikan sebuah kotak di atas pangkuannya yang di dalamnya berisi beberapa kuntum bunga bougenville yang mulai mengering.
    Rambutnya yang coklat keemasan tergerai menutupi kulit wajahnya yang halus. Sudut-sudut bibirnya yang ranum yang berwarna pink tertarik sedikit ke atas menyiratkan senyum simpul manis menghias. Matanya yang biru saphire berkilatan lantaran kebasahan menyelimuti lapisan permukaannya, mencerminkan ada keharuan yang menyelinap di relung sanubarinya. Dimana kini sedang dilanda kehadiran kembali peristiwa pertemuannya dengan Dewa di bawah kerimbunan pohon bougenville. Mencoba meresapi kehangatan yang merayap saat tangan Dewa membuka telapak tangannya, lalu menyelipkan bunga-bunga bougenville ke dalam genggamannya.
    Tok! Tok! Tok!
    Ah!
    Lorna tersentak oleh ketukan di daun pintu kamarnya. Bergegas mengingsut matanya yang basah dengan punggung jari telunjuknya. Lalu menutup kotak yang ada ditangannya dan secepatnya memasukkannya ke dalam laci meja.
    “Come in, Mom!” katanya kemudian. Lorna sudah tahu itu yang berniat masuk ke dalam kamarnya adalah Maminya.
    “Yuk turun. Waktumu berlatih piano. Mami perhatikan honey akhir-akhir ini banyak mengurung diri di kamar?” kata Mami setelah berada di dalam dan duduk di sampingnya. Jemari tangannya menyibakan rambut ke belakang telinga dan mencium kedua pipi serta mengecup bibir puterinya sesaat.“
    “Are you all right, honey?”
    Lorna mengangguk.
    “Kesulitan dengan sekolahmu?”
    Lorna menggeleng lemah.
    Maminya tahu kalau puterinya adalah gadis cerdas. Selalu bintang kelas. Nilainya selalu ranking atas.
    “Hanya minggu depan sekolah menyelenggarakan pentas seni. Tiap kelas diwajibkan mengirimkan wakilnya. Lorna dipaksa ikut untuk bagian lomba busana tradisional. Selama ini Mommy sendiri kan sudah tahu kalau Lorna belum pernah berbusana tradisional.”
    Mami tersenyum.
    “Bisa diatur. Mami antar ke salon.”
    “Justru itu masalahnya, Mom. Syaratnya tidak boleh ke salon. Tata rias dan busana harus dikerjakan oleh tim masing-masing. Tim Lorna tak ada yang punya pengalaman tentang itu semua. Apakah Mommy bisa mengajarkan kita?”
    “Kamui kebagian apa?”
    “Yang dirias.”
    Mami tersenyum seraya membelai kedua pipinya.
    “Itu karena kecantikanmu.”
    “Grace lagi cari informasi orang yang bisa dimintai bantuan. Lorna tak ingin make up berantakan.”
    Mami tertawa renyah.
    “Sekalipun berantakan, kamu tetaplah cantik.”
    “Ah, Mommy!”
    “Mami tak punya kebaya. Kalau tak boleh sewa, kita bisa belanja semua keperluan itu.”
    “Bolehlah, Mom. Tapi tunggu informasi Grace dulu.”
    “Mami pikir, kita harus punya koleksi kain kebaya. Memalukan kalau sampai pinjam, sekalipun ke saudara Mami. Kita bisa cari bersama ke butik di Sarinah. Siapa tahu kamu kelak dipersunting priyayi jawa.”
    “Aduh Mommy ini...!” Lorna tersipu. Terbersit dalam benaknya bayangan wajah lelaki yang sedang menyelipkan bunga bougenville ke dalam genggaman telapak tangannya.
    Ah, kenapa aku ini.
    Lalu dipeluknya Mami erat-erat.