010. Bunga Bougenville

Belum bertemu Dewa membuat hari-hari Lorna selalu diliputi perasaan penasaran. Menyita banyak perhatiannya. Entahlah, perasaan apa yang membuatnya seperti itu. Perasaan yang belum pernah dialami selama ini. Sikapnya yang datar dan dingin. Tatapan matanya yang teduh dan dingin. Senyum polos tanpa maksud. Sikap yang mencerminkan kedewasaan. Setidaknya hal itu membuat rasa keingintahuan Lorna untuk lebih mendalami siapakah sesungguhnya Dewa.
    Rambutnya yang panjang, hitam dan bergelombang, yang terkadang diikat ke belakang. Karakter suaranya yang bagus dan penguasaan terhadap berbagai alat musik. Semula membuatnya berkesimpulan kalau Dewa memiliki talenta seorang seniman musik. Namun ketika membaca pengumuman di Mading sekolah saat istirahat pertama, kesimpulannya menjadi berubah,
    “Dia pegang sebagai redaktur artistik dan ilustrator. Jadi dia bisa menggambar?” tanya Lorna.
    Rahma tak bisa berkomentar. Rasanya lelaki bernama Dewa itu seperti sudah lengkap keterampilannya.
    Tiba-tiba Grace datang menyeruak di antara keduanya.
    “Yuk kita ke depan. Mereka sedang main volley.”
    “Siapa?” tanya Rahma.
    “Dewa ada diantara mereka...”
    Grace menambahkan.
    Wajah Lorna seketika berubah ceria. Seceria cuaca hari ini. Dimana langit cerah berwarna biru seperti biru warna matanya. Tanah masih lembab bekas diguyur hujan semalam. Dedaunan tanaman bunga nampak segar ditimpa cahaya mentari.
    Ketiganya bergegas menuju lapangan voli. Ketiganya berniat menonton Dewa dan teman-temannya bermain bola voli. Rahma dan Grace bergegas menuju tembok dipagar, memilih duduk di tempat itu.
    Sementara Lorna melangkah lamban, berhati-hati saat melintas di bawah pohon bougenville. Banyak bunga-bunga bogenville berserakan jatuh diatas tanah, luruh akibat diguyur hujan lebat semalam.
    Pandangan Lorna sibuk menangkap sosok Dewa yang nampak bugar berusaha menahan laju smash bola namun luput. Bola bergulir ke arah Lorna. Menggelinding dan membuat Lorna tanpa sadar ikut menghadang bola lalu menangkapnya. Bola pun kini berada di tangan Lorna hendak diberikan kepada Dewa yang sedang melangkah ke arahnya.
    Hati Lorna berdebar-debar. Tatapan Dewa dan Lorna saling menghujam. Ada kengganan Lorna untuk melawan tatapan mata Dewa yang tajam dan dingin. Tapi keengganan itu jadi reda saat ketika Dewa sudah berada dihadapannya tiba-tiba membungkuk, memunguti beberapa kuntum bunga bougenville putih yang terserak di atas tanah dekat kakinya. Lalu Dewa berdiri dan menghadapinya. Dan menyerahkan bunga-bunga itu kepadanya.
    Sebaliknya Lorna menyerahkan bola ditangannya kepada Dewa. Lalu Dewa meraih pergelangan tangan Lorna dan membuka telapak tangannya, lalu meletakkan bunga-bunga bougenville ke dalam genggaman tangan Lorna. Sentuhan tangan Dewa teraa lembut dan nyaman.
    “Tolong titip ya. Jaga bunga ini agar tetap bersih. Sayang warnanya yang putih akan kotor bila kena debu. Aku mau meneruskan bermain dulu...”
    Lorna hanya tersenyum. Dirinya tak mampu membalas dengan ucapan lantaran bibirnya seperti terkunci, apalagi tenggorokannya seperti tercekat.
    Lorna terkesima. Sesungguhnya ingin mengajak bicara Dewa. Ada beban yang dipikulnya selama ini yaitu keingin an mengucapkan terimakasih karena telah diberi obor dan sebatang lilin menjelang malam inagurasi.
    “Lorna! Kemari!”
    Lorna tersentak. Keterpanaannya tiba-tiba terbelah oleh teriakan panggilan Rahma. Dan Lorna segera berbaur kembali dengan Grace dan Rahma.
    “Apa itu di tanganmu?” tanya Rahma.
    “Bunga bougenville!”
    “Kulihat dia memberimu tadi?” tanya Grace dengan senyum menggoda.
    “Dia bilang titip!” kata Lorna datar.
    “Maksudnya?” tanya Rahma.
    “Ya titip..” timpal Lorna.
    “Iya aku tahu. Terus apakah dia akan ambil kembali setelah selesai main?” tanya Rahma.
    “Artinya kamu harus menunggu sampai bel akhir istirahat berbunyi....” kata Grace.
    “Barangkali...” jawab Lorna kalem.
    Namun usai jam istirahat bunga bougenville itu tak juga diambil Dewa, bahkan Dewa pun tak menghampirinya seusai bermain bola voli. Namun Lorna tak keberatan membawa bunga tersebut ke dalam kelas. Bahkan bunga tersebut harus dibawanya pulang lantaran sepulang sekolah keduanya tak bertemu. Hingga untuk sementara bunga tersebut terpaksa disimpannya, sambil menunggu Dewa menanyakan lalu dia akan mengembalikan kepadanya.
    Berbeda kelas  jadi penghalang pertemuan. Apalagi letak kelas mereka terpisah berbeda lantai. Kelas Dewa berada di lantai dua, sementara kelas Lorna dilantai dasar dengan gedung yang terpisah.
    Ada keinginan menitipkan bunga itu melalui Ndari agar mau membantunya  menyerahkan kepada Dewa. Tapi niat tersebut diurungkan. Sebab tak ingin timbul persepsi macam-macam terhadap dirinya. Mereka akan berpikiran bahwa Dewa bisa  sesuka hati memungut lagi bunga-bunga yang banyak berserakan di atas tanah di bawah pohonnya setiap saat.
    Yang penting terjadinya pertemuan setelah beberapa hari usaha untuk itu selalu mengalami kegagalan, membuat rasa penasarannya sedikit terobati. Pertemuan di bawah pohon bougenville membuatnya terpaksa harus menyimpan bunga-bunga tersebut ke dalam kotak khusus dengan rapi, karena tak ingin mengecewakan Dewa bila kelak bunga titipannya ditanyakan dan dimintanya kembali.
    Setelah beberapa hari berlalu. Tetap tak ada kabar berita sikap Dewa terhadap bunga titipannya. Hingga Lorna melupakannya meski peristiwa itu telah ditulis ke dalam buku catatan hariannya.