Lepas senja Lorna memaksakan diri ke rumah Dewa setelah sekian lama tidak bertemu. Di saat pulang sekolah sudah berkali-kali dia coba menunggubta di pintu gerbang, namun tak berhasil. Bukan hanya lantaran kerinduan yang dalam. Ada kerinduan berbincang berbagi perasaan. Apalagi Dewa dia pikir juga perlu tahu perkembangan yang terjadi di sekolah sejak dia diskors.
Dewa tidur telentang dengan tangan terlipat di sofa bambu berlapis busa yang dilapis kain merah maron saat Lorna masuk melalui pintu belakang.
Ibunya memberi isyarat dengan telunjuk di bibir seraya menunjuk Dewa agar tak bersuara, dan memintanya mendekat.
“Masmu sedang istirahat, Nduk.” bisik Ibunya.
Lorna memandanf sepintas ke arah Dewa tidur. Lalu meletakan bungkusan makanan di atas meja sebelum duduk di bangku kayu kecil, bangku yang digunakan untuk membatik.
Ibu Dewa sedang membatik.
“Kamu sendiri kemari, Nduk?”
“Ya Bunda.” Jawab Lorna sembari memberinya senyum. Senyum yang indah sebab bentuk mulut dan bibirnya indah. “Bunda belum istirahat?”
“Sebentar lagi. Besok batik ini harus selesai karena akan diambil. Pekerjaannya tanggung, tinggal sedikit. Setelah ini Kangmasmu yang akan mewarnai dan diangin-anginkan. Besok dilorot dijemur lalu diseterika.” kata Ibu Dewa masih berbisik.
Lorna mengangguk dan tersenyum.
“Kangmasmu baru pulang kerja.”
Lorna memandang Dewa lagi. Dada Dewa nampak baik turun perlahan dengan teratur. menandakan tengah pulas.
“Pekerjaan itu dilakukan sepulang sekolah. Biarkan istirahat dulu. Kamu temani Ibu dulu di sini.”
Lorna mengangguk seraya memperhatikan Ibu Dewa mencelupkan canting untuk menangguk cairan lilin yang panas, lalu meniup terlebih dulu ujung canting agar lilin membeku tidak mengucur sebelum ditorehkan ke atas kain. Bau lilin cair menyengar lubang hidungnya.
Hati Lorna terenyuh. Ibu Dewa tidak tahu Dewa tidak bersekolah. Setiap pagi meski berseragam sekolah bukan menuju sekolah, melainkan pergi ke rumahnya untuk membuat kolam di taman belakang. Barrangkali itu yang dimaksud pekerjaan yang dilakukan Dewa.
Untuk menyenangkan hatinya, Lorna mengangguk dan tersenyum. Senyum Lorna membuat wanita lanjut usia itu senang memandang wajahnya. Yang kerap disebutnya sebagai Dewi Sembodro.
“Naik apa kemari, Nduk?”
“Mobil, Bunda.”
“Diantar?”
“Bawa sendiri, Bunda.”
Ibu Dewa kembali menangguk cairan lilin.
“Kangmasmu baru saja beristirahat setelah mandi,”
“Ya, Bunda. Tentu Mas Dewa kecapaian.”
“Masmu juga belum makan.”
“Lorna bawakan makanan.”
Ibu Dewa tersenyum memperhatikan wajah Lorna seksama sejenak.
“Kamu ini lho Nduk, sudah cantik, hatimu baik.Ibumu juga belum makan. Kita bisa makan bareng ya?”
“Ya, Bunda. Kalau begitu Lorna siapkan mejanya ya Bunda.”
“Ya..ya..ya. Tapi Ibumu harus mandi dulu setelah menyelesaikan pekerjaan ini.”
Manakala Ibu Dewa berada dalam kamar mandi. Lorna pergi keluar sebentar belanja makanan tambahan. Saat kembali dia melihat Dewa sudah bangun dan duduk di sofa bambu yang tadi ditidurinya sembari menopang wajah menunduk memandang lantai. Meski begitu nampaknya dia sudah tahu keberadaan Lorna karena Ibunya sudah memberitahukan.
“Hai!” sapa Lorna lembut.
“Hai!” balas Dewa, “Dari mana?”
Lorna menunjukkan tas kresek putih berisi makanan yang baru dibeli. Kemudian menuju meja makan untuk mengatur makanan.
“Kita makan dulu!” katanya pada Dewa.
“Kemari sendiri atau diantar?”
“Sendiri!”
Dewa menatapnya.
“Jangan biasakan keluar tanpa pengawasan.”
Lorna tersenyum senang Dewa memperhatikan.
“Kenapa?”
“Berhati-hati!”
Ucapan itu apakah ada hubungannya dengan kasus yang dilaporkannya ke polisi? Apakah Dewa tahu akan hal itu? Sepengetahuannya tidak. Apakah Dewa kawatir akan adanya ancaman? Lalu ancaman dari mana?
Ibunya keluar kamar. Mendekat meja dan mengambil kursi.
“Le, ayo makan dulu. Adikmu sudah menyiapkan.” katanya pada Dewa. “Makan dulu sebelum melanjutkan pekerjaan Ibu.”
“Ya, Bu!”
Lorna duduk menunggu.
“Kamu tak ada ulangan besok?” tanya Dewa setelah duduk di kursi sampingnya.
“Bahasa Inggris.” jawab Lorna.
Dewa mengangkat alis. Bahasa Inggris tentu sipil bagi Lorna.
“Tak sulit bagimu.”
Lorna tersenyum seraya menuangkan nasi di piring Dewa.
“Terimakasih, Diajeng.” kara Dewa.
Lorna nampak senang. Ibu Dewa tersenyum. Ah, Dewa bersikap seperti itu untuk menyenangkan Ibunya.
Ini kali pertama Lorna makan bersama di rumah itu. Dewa tahu Lorna tak pernah makan banyak. Ibu Dewa juga begitu. Sedangkan Dewa sedang tak berhasrat makan. Tapi kebersamaan itu menciptakan suasana kekeluargaan.
Lorna membukakan tutup botol tonikum seusai makan ketika duduk di beranda belakang. Ibu kembali ke dalam kamarnya mendengarkan siaran radio yang disukainya.
“Minumlah ini untuk menghilangkan lelah.”
“Apa itu?”
“Vitamin dan mineral untuk memulihkan staminamu.”
Dewa memandangnya sesaat.
“Kamu tak harus repot seperti ini.”
“Lorna tak merasa repot kok. Malam ini Dewa kan harus melanjutkan pekerjaan Ibu.”
“Itu bisa kukerjaan pagi gelap nanti.”
“Apa lantaran ada Lorna hingga harus menunda?”
Dewa menggeleng.
“Aku hanya perlu jeda istirahat. Aku bisa mengatur waktuku.”
Lorna mengangguk perlahan. Tersenyum saat Dewa menatapnya.
“Aku akan mengantarmu pulang.”
“Sekarang?” tanya Lorna merasa seperti diusir.
“Nanti kalau kamu sudah mau pulang.”
“Oh. Tapi Lorna bisa pulang sendiri.”
“Jangan terlalu percaya diri sendirian di malam hari...”
“Kan masih ada pekerjaan yang harus Dewa selesaikan.”
“Itu hal rutin. Tak jadi persoalan.”
“Lorna tidak ingin jadi gangguan bila Dewa selalu mengantar.”
“Jadi gangguan kalau tak kulakukan. Aku mengkawatirkanmu.
Lorna tercekat oleh ucapan itu. Seharusnya Dewa lebih kawatir situasinya sendiri. Tapi lelaki itu terlihat tenang.
Lorna ingin duduk merapat padanya. Ingin jemari keduanya saling memegang seperti yang pernah terjadi. Tapi hal itu tak dilakukannya sebab Dewa sibuk termenung memandang kegelapan.
Cahaya temaram dari lampu wolfram yang menggantung di langit-langit membuat suasana terasa damai. Ditambah sepi yang membaur kegelapan. Hanya sinar bulan menyamarkan lingkungan yang ada. Meski hari baru berangkat gelap, namun nuansanya seperti di puncak malam. Barangkali lantaran sepi dan lengang dan tak ada kegiatan di sekitarnya. Hanya ada mereka berdua yang lebih banyak berdiam diri.
“Sudah lama kita tak bicara?” tanya Lorna memecah sepi.
Dewa berpaling menatapnya. Lalu tersenyum. Yang memberinya rasa teduh.
“Mendekatlah.” Dewa memintanya seraya menepuk permukaan bangku di sampingnya.
Lorna tersenyum dan langsung menggeser duduknya agar merapat. Menyadari Dewa nampak lungkrah setelah berhari-hari secara maraton berusaha menyelesaikan kolamnya.
“Kolamku bagus...” Lorna memuji hasil pekerjaan Dewa.
“Hampir selesai.”
Lorna mengangguk.
“Ya, Lorna selalu melihat setelah Dewa pulang. Cepat sekali ya?”
“Bikin rumah saja bisa cepat, apalagi kolam. Tinggal menunggu dinding kolam kering, merapikan dan menanami tanaman bunga di sekitarnya.”
Lorna mengangguk.
“Lorna suka patung-patungnya, patung katak dan gentong dengan potongan bambu.”
“Bambu itu akan naik turun jika ada aliran air.”
“Oh, ya? Jadi ingin tahu. Dewa pandai mematung.”
Dewa tak menimpali. Suasana kembali hening.
Tentang kolam, ada alasan mempercepat penyelesaiannya. Yang pertama mengejar waktu, jangan sampai lebih dulu dijebloskan ke dalam penjara sebelum sempat menyelesaikannya. Kedua janjinya untuk membuat kolam jangan sampai jadi beban bila dikemudian tak punya peluang untuk menggarapnya, hingga tak ada alasan mencari pembenaran.
“Rapi sekali pekerjaan Dewa.” Lorna bermaksud memecah suasana yang hening. “Lalu kapan diisi air?”
“Setelah kering. Biarkan dulu sebelum diberi tanaman air. Setelah terjadi penyesuaian baru bisa dimasukkan ikan ke dalamnya.”
“Kalau mencari ikan, ajak Lorna ya?”
“Kita akan cari berdua.”
Lorna senang.
“Di mana kita akan beli?”
“Bisa ke Blitar atau ke Batu!”
Hening kembali beberapa saat.
“Lorna buatkan minum ya?”
“Biar aku yang membuat! Kamu duduk saja.”
Lorna tak memaksakan diri apalagi membantah, niat Dewa selalu untuk menyenangkannya. Lalu menunggu sembari mengawasinya sibuk di dapur.
“Kalau tak diberi kesempatan, kapan bisa terampil?”
Dewa meletakan minuman ke atas meja di depannya.
“Memasak air membuat minuman tak perlu harus terampil. Wajah dan kulitmu bisa berkomedo.”
“Ah, komedo bukan akibat masak air.” sanggah Lorna.
“Sudahlah kamu kan bosku. Biar aku yang melayani.”
“Oh, kenapa Dewa kok begitu? Lorna tak suka ucapan itu.”
“Sorry. Aku cuma bercanda.”
Lorna tersenyum.
“Diminum!” kata Dewa.
“Masih panas!” Lorna mengangguk.
Dewa menuangkan ke lepek agar cepat dingin. Mengangkat dan meniup permukaan teh panas. Lalu mendekatkan bibir lepek ke bibir Lorna yang tanpa ragu meminum dari tepiannya. Setelah itu dengan jari telunjuk menyorong tepi lepek. Dewa menyeruput dari sisi lepek yang lain.
Dewa menuangkan isi cangkir. Bergantian meminumnya. Kedua mata saling menatap dalam-dalam. Lorna merasakan aliran cinta Dewa. Dewa merasakan gadis mata biru itu laik adiknya yang selalu ingin mendapat kemanjaan darinya.
Isi cangkir Lorna habis. Lorna senang sekali.
“Mau lagi?” Dewa menawarkan saat hendak berganti cangkirnya yang isinya masih penuh.
Lorna menggeleng.
“Cukup...”
Kemudian keheningan kembali menyergap saampaiLorna memanggil namanya dengan suara lembut.
“De...”
Dewa memalingkan wajah perlahan memandangnya.
“Lorna kemari sebenarnya bermaksud menghilangkan perasaan cemas...”
“Mencemaskan apa?”
“Dewa.”
Dewa mengerenyitkan dahi. Menangkap perasaan yang dimaksud Lorna. Lagi-lagi soal kasus yang dihadapinya.
“Apa yang bisa kulakukan untuk menghilangkan perasaanmu itu?”
“Sebaiknya Dewa pakai pengacara.”
Dewa bermaksud menjawab namun dipotong Lorna.
“Mommy sudah menyiapkan pengacara buat membela Dewa.”
Dewa membelalakan mata sesaat.
“Kenapa?”
“Untuk melakukan pembelaan Dewa.”
“Aku tahu tugas pengacara. Kenapa?”
“Lorna tidak ingin Dewa dipenjara.” jawab Lorna dengan suara berat enggan membalas tatapan Dewa yang terasa menusuk dalam. Apalagi saat Dewa menarik nafas panjang.
“Aku sadar tak mampu menyewa pengacara. Tapi setidaknya tawaran itu pernah ditawarkan negara bila aku idak mampu.”
“Mommy yang akan menanggung semua biaya pengacara.”
“Aku paham!” Dewa memotong. “Aku tak ingin terbebani.”
“Kenapa Dewa berpendapat begitu? Mommy bermaksud membantu. Tidak lebih.”
“Karena tak mau melihatmu seperti itu!”
Lorna terdiam. Menunduk. Memandang ponsel digenggamannya.
“Maafkanlah aku...” kata Dewa.
Lorna menggeleng, tengadah berpaling membalas tatapan Dewa yang tak beralih memandangi wajahnya sejak tadi.
Keduanya saling memandang. Roman wajah Lorna nampak sedih, memikul sejuta harapan atas Dewa. Sinar matanya yang berbinar, berusaha menggapai harapan itu.
Tangan Dewa perlahan menyibakkan rambut yang terurai menutupi keningnya. Kelopak mata dengan bulu mata yang tebal mengatup meresapi jemari yang menyentuh tepian kulit wajahnya. Saat terbuka nampak berkilat berkaca-kaca.
“Kamu adalah hal terindah yang pernah kumiliki.” Suara Dewa lembut namun menyentakan segenap isi dadanya. Ucapan terindah yang pernah didengar. Ucapan yang kian memperteguh keyakinannya bila Dewa mencintainya. Ucapan yang ingin didengarnya berulangkali. Ucapan yang membuat bulir airmatanya bergulir jatuh. Dan itu bukan bulir kesedihan. Itu bulir perasaan bahagianya.
Jemari Dewa bisa merasakan kehangatan bulir airmata saat menghapus dari pipinya yang halus.
“Tak seharusnya aku membuatmu selalu dalam kecemasan. Aku hanya ingin tahu seberapa besar perhatianmu padaku. Dan itu tak kuragukan. Bila itu menjadi keinginanmu. Bila itu akan menghapus semua kecemasanmu. Aku mendengarkanmu.”
“Oh..” Lora merasa lega. Ingin memeluk Dewa namun ditahannya. Dia harus menjaga sikap kesantunan, seperti yang diperlihatkan keluarga Dewa setiap hari. Bila Dewa memegang tangannya, bila Dewa mengusap airmata di pipinya, semua itu dia maknai sebagai wujud perhatian dan kasih sayang yang diperlihatkan Dewa. Meski berharap lebih dari itu. Tapi semua itu timbul dari keinginan Dewa.
Berkati-kati beban serasa telah sirna. Semangatnya bangkit. Selama perjalanan Dewa mengantarkannya pulang, senyum di bibirnya tak kunjung hilang. Keputusan Dewa tentu akan membuat Mami senang.
“Hari sudah larut, aku harus kembali.”
Lorna mengangguk perlahan dan tersenyum.
“Ya, pekerjaan Dewa sudah menunggu. Terimakasih.” jawab Lorna lembut.
“Adakah yang mengganggumu di sekolah selama ini?”
“Lorna bisa mengatasi.”
Keduanya diam namun saling memandang mata.
“...tapi tak lengkap tanpa Dewa...meski jarang bertemu.”
Suara Lorna lembut. Seperti rintihan di tengah malam di bawah sinar bulan. Di tengah sergapan aroma bunga arumdalu. “Lorna ingin keadaan normal kembali.” lanjutnya masih dengan suara lirih.
Dewa mencoba mengusap pipinya dengan punggung tangan. Dan Lorna bereaksi dengan menempelkan pipinya ke punggung tangan itu. Mencoba meresapi dengan mengatupkan kelopak mata. Dan Dewa tetap mengawasinya sampai kelopak mata itu terbuka dan menatapnya kembali.
“Kamu cantik sekali.”
Lorna tersenyum mengangguk.
“Aku suka semua yang ada pada dirimu.”
“Aku akan menjagamu.”
Lorna mengangguk senang.
“Dewa telah melakukan itu,” jawab Lorna. Suaranya lunak. Mempertahankan tangan Dewa yang masih mengelus pipinya.
“Aku tak ingin membelenggumu. Bergaullah sebagaimana temanmu yang lain. Nikmati hari-harimu di sekolah.”
Lorna mengangguk. Ucapan Dewa menenangkan.
Lalu hening. Bulan berjalan dilangit. Bayangan pohon mengawasi keduanya yang saling memandang tak bergeming.
Setelah memasukkan kendaraan ke dalam. Lorna segera menelpon taksi untuk keperluan Dewa pulang. Lorna membiarkan tangannya digandeng Dewa saat menunggu kedatangan taksi yang sudah dipesan.
“Salam ke Mami ya?” kata Dewa.
Lorna menangguk.
“Selamat malam, Diajeng!”
Lorna tersenyum mempesona.
“Selamat malam, Kangmas!”
Lorna tak menghilangkan senyumnya meski Dewa telah pergi. Senyumnya pun masih terbersit saat Maminya menengok di kamar. Mengecup lembut pipi dan bibirnya. Dan menutup kembali pintu kamarnya karena tak berniat membangunkannya dari tidur.
“Selamat tidur, Babe!”