002. Malam Inagurasi

Dewa tak habis pikir kenapa Beni tidak jadi menjemputnya. Setelah Ibunya selesai mandi air panas yang disiapkannya, Dewa segera pamit berangkat kembali ke sekolah.
Dewa mencium punggung tangan Ibunya.
“Pakai sepeda? Katamu dijemput Beni.”
“Ini sudah lebih dari sepuluh menit. Saya tak bisa menunggu lagi. Kalau dia tidak menjemput setidaknya bisa mengejar waktu dengan bersepeda.”
“Hati-hati di jalan, Nak!”
“Nggih, Bu! Kalau Beni jadi datang, Ibu beri tahu kalau saya jalan dulu.”
Meski kesal akibat Beni tak menjemput pada waktunya, Dewa tetap membawa dua buah oncor buat keperluan malam inagurasi. Satu buat dirinya satu lagi buat Beni. Dewa tahu akibat tak membawa perlengkapan tersebut akan berakibat sangsi kedisiplinan. Hukuman di malam inagurasi terkait kesukaan dan bakat yang tertera dalam fomulir sebelum masa orientasi dimulai.
Namun dalam perjalanan Beni mengejarnya.
“Sori, De. Motorku ngadat.”
“Ya, sudah!
“Terus?”
“Aku tak bisa tinggalkan sepedaku di pinggir jalan! Aku perlu oncor,”
Beni tertawa terkekeh-kekeh.
“Takut kamu nggak buatkan!”
Dewa geleng-geleng sembari mengayuh sepedanya.
“Kamu duluanlah!”
“Sori, De! Lilinmu kumasukkan tas kresek. Kamu ambil di bak sampah di pintu gerbang koridor!” kata Beni sebelum melaju meninggalkan Dewa.
Yang jelas Dewa terlambat. Barangkali dirinya satu-satunya yang datang terlambat. Tetapi semua itu diterima dengan lapang hati. Dirinya telah terbiasa dengan kesulitan. Seakan ditakdirkan menghadapi seribu satu kesulitan.
Benarkah hanya dirinya yang terlambat datang? Saat di pintu gerbang sekolah. Sebuah sedan metalik yang pernah dilihatnya tadi siang kembali menghalangi jalannya.
Dewa menyeka peluh di keningnya dengan punggung  tangan meski kabut dingin melintas di sekelilingnya, yang tak mampu menepiskan kegerahan sehabis mengayuh perjalanan panjang dengan sepeda pancalnya.
Dewa berhenti dan turun dari sepedanya saat seorang gadis berambut coklat keemasan keluar dari dalam kendaraan yang menghalangi jalannya. Tanpa sengaja pandangan keduanya bersirobok. Dewa menatap mata biru di wajah cantik itu. Mata biru itu berbinar membalas pandangan matanya yang dingin dan tajam. Gadis itu menyuruh supirnya segera menjalankan kendaraan sebab menghalangi sepeda Dewa.
Dewa menatapnya sesaat. Tidak ingin gadis itu berpikiran macam-macam terhadap tatapannya.
Gadis itu ragu menyapa lantaran Dewa tak juga berusaha menyapanya. Tapi Dewa bersikap sopan dengan mengangguk. Menuntun sepedanya dan membiarkan gadis itu berusaha menyamai langkahnya dan memberanikan diri menyapa.
“Hai!” suaranya lembut.
“Hai!” jawab Dewa tanpa melihat padanya. Dilihatnya gadis itu tak membawa oncor dan lilin sebagai syarat untuk kebutuhan malam inagurasi. Kehebatan apalagi mau ditunjukkannya dengan tak membawa perlengkapan itu. Tentu gadis itu seperti yakin tidak bakal menerima sangsi kedisiplinan.
Namun dugaan Dewa salah.
“Malam nanti aku pasti dihukum...” kata gadis itu dengan suara lembut. Suaranya lunak meski dipengaruhi aksen bahasa asing.
Dewa mengangkat alis.
“Aku bawa dua. Pakailah satu.”
Wajah gadis itu ceria. Matanya yang biru berbinar yang berusaha menangkap mata lelaki yang selalu berusaha menghindari tatapannya.
“Thank you. Kamu baik sekali!”
Dewa menghentikan langkahnya. Dewa melepas ikatan batang oncor di sepedanya. Lalu mengais tas plastik dari sebuah bak sampah. Seperti yang Beni pesan, lilin bagiannya diletakkan di tempat itu.
Gadis itu memperhatikan.
“Sesungguhnya obor itu untuk teman yang membuatku terlambat datang...”
Gadis itu mengerenyitkan kening. Sanubarinya terenyuh. Baru kali ini sanubarinya dilanda perasaan semacam itu. Betapa perbuatan baik lelaki itu dibalas dengan sesuatu yang merugikannya.
“Obor itu untuknya?” tanya gadis itu risau.
“Tidak lagi! Dia sudah bikin sendiri! Tas ini dia yang letakkan ke dalam bak sampah itu. Mudah-mudahan dia menaruh dua lilin di dalamnya!”
Gadis itu segera tahu bahwa tas yang diambil dari bak sampah berisi dua batang lilin warna putih saat Dewa membukanya.
“Ini juga buatmu satu!” kata Dewa seraya memberikan sebatang lilin yang langsung diterima dengan senyum di bibirnya.
“Thank you!” ucap gadis itu. Tatapanannya berusaha menembus mata dewa penolongnya. Namun mata itu sulit ditembus sebab dewa penolongnya tetap berusaha menghindari tatapannya.
Tak terbersit dalam pikiran Dewa untuk menanyakan alasan kenapa gadis itu tidak membawa obor dan lilin, padahal pemberitahuan itu jelas tertuang dalam surat edaran.
“Lekas masuk duluan ke aula!” kata Dewa pelan dengan suara berat.
“Kamu?”
“Aku harus parkir sepeda dulu!” jawab Dewa seraya menengadahkan telapak tangan berusaha menangkap titik air hujan yang dirasakan hendak turun. Wajahnya menengadah melihat langit kian gelap.
Gadis itu semula enggan meninggalkannya. Inginnya masuk ke dalam bersamanya. Tapi Dewa memaksanya pergi dulu. Karenanya segera mematuhi ucapan itu walau dengan langkah ragu dan berat. Jujur saja dirinya tak bisa menghiraukan lelaki yang begitu peduli pada dirinya.
“Bye! Thank you very much!”
Dewa mengangguk. Sebutir air hujan menimpa wajahnya.