Tiga hari masa orientasi Dewa melihat gadis itu muncul di hari terakhir. Hebat sekali cuma menjalani sehari masa orientasi. Melewati masa-masa siksaan di bawah terik dan hujan. Di saat cuaca sedang ekstrim yang sulit ditebak. Apakah besok terik ataukah hujan. BMG menjelaskan terjadi anomali iklim di Indonesia bagian timur.
Gadis itu begitu beruntung. Hari terakhir orientasi cuaca sedang mendung. Coba saja kalau terik seperti kemarin. Kulit wajah dan tangannya yang putih semu pink itu bisa gosong terbakar mentari. Hm, tentu dia pakai tabir surya. Matanya yang biru akan membuatnya dapat keistimewaan. Bisa jadi, sebab apa yang ada pada diri gadis itu membuat senior lelaki sibuk melakukan pendekatan terhadapnya. Apalagi gadis itu nampak welcome.
“Dewa!”
Dewa tersentak dengan panggilan itu. Tapi kali ini bukan seniorita yang teriak-teriak mencari seribu alasan sekedar untuk menghukumnya seperti yang sudah-sudah. Rupanya senior lelaki menyuruhnya menghadap ke mereka.
“Kemari! Cepat!”
Dewa bergegas menuruti keinginan mereka yang sedang merubung gadis blasteran yang sejak kemunculannya mengganggu pikirannya.
Sesaat Dewa sudah dihadapan mereka. Gadis blasteran yang diketahui bernama Lorna melalui tanda pengenal di dada, memandangnya sesaat. Dewa menangkap dari ekor mata.
“Kenapa kamu?” tanya seorang senior.
Dewa menggeleng.
“Jawab, jangan nggeleng!”
“Tidak apa-apa, kak!”
“Apaan tidak apa-apa! Kenapa kamu lihat-lihat kemari? Cemburu? memangnya gadis ini pacarmu?”
“Bukan Kak!”
“Kamu pikir saya beri keistimewaan dia karena wajahnya yang jelek ini?”
Dewa menggeleng.
“Geleng lagi. Jawab! Bodoh!”
“Tidak Kak!”
“Dia cantik atau jelek?”
Dewa ragu. Kalau dijawab jujur akan bertentangan dengan senior yang baru saja mengatakan gadis itu jelek.
“Cepet jawab!”
Dewa sedikit tergagap. Sesaat pandangannya bertumbukan dengan gadis bermata biru itu. Bisa merasakan makna dari pandangannya yang tak akan dirugikan dengan jawabannya. Menyadari mereka sedang dibawah arogansi.
“Jelek Kak!”
Tiga lelaki senior di hadapannya terbahak-bahak. Dewa mengumpat dalam hati. Tanggapannya pasti akan seperti itu.
“Matamu atau otakmu yang eror?”
Dewa tak terpengaruh. Senyum saja sudah bikin ulah mereka gila.
“Coba lihat dengan benar wajahnya. Cepat!”
Dewa menuruti. Belum lama wajah itu sudah ditatapnya. Wajah yang baru kali ini dilihatnya dari dekat. Kecantiknya memang luar biasa. Balasan tatapan gadis itu datar, seakan hanya mau bilang, turuti saja apa maunya senior yang ngumbar arogansi. Dewa melarikan tatapan dengan menunduk.
“Jelek atau cantik?”
“Cantik, Kak!”
“He he he he!”
Saat pulang orientasi Dewa melihatnya. Tapi pikirannya terkosentrasi untuk malam inagurasi nanti. Beni, teman di sekolah sebelumnya sudah menunggu di pinggir jalan dengan motornya.
“Kujemput jam berapa?” tanya Beni.
“Terserah!”
“Kamu banyak kena hukum?”
Dewa tak menimpali. Dia langsung duduk di belakang Beni. Mesin motornya sudah dihidupkan sebelum Dewa mendekatinya, meski tak segera tancap gas lantaran jalannya terhalang sebuah sedan mewah yang berhenti di depannya Sedan metalik itu sedang menaikkan seorang gadis yang ikutan orientasi. Dewa mengenali dari warna rambut gadis yang kemudian lenyap ke dalamnya
“Salip saja dari kanan, Ben!”
Beni menuruti perkataan Dewa. Saat melintasi kendaraan tersebut, Dewa ingin meyakinkan pemilik rambut itu. Dada Dewa seketika terkesiap. Pemilik rambut itu pada saat yang sama tengah memperhatikannya dari balik jendela. Pandangan keduanya bersirobok. Saling bertatapan tanpa bersuara hingga motor Beni meninggalkannya di belakang.
“Siapa?” tanya Beni penasaran.
“Apa?”
“Gadis di mobil tadi!”
“Kenapa?”
“Gadis mata biru itu yang kamu hadapi siang tadi...”
“Ya kenapa?”
“Cantik banget!”
“Sudahlah!” sela Dewa.
Pikiran Dewa hanya pingin cepat sampai rumah, banyak tugas. Ada jemuran kain-kain batik yang telah dilorot harus dibenahi untuk disiapkan ke proses berikut yang akan dikerjakan ibunya.
“Jadi jemput aku nanti?” tanya Dewa saat Beni sampai di rumah Dewa.
“Takut kena hukuman?”
“Ah, nggak! Kalau nggak aku pakai sepeda saja!”
Beni lalu meninggalkannya. Keduanya sementara berpisah dulu. Beni masih perlu istirahat dan perutnya keroncongan.Sementara Dewa harus mempersiapkan pekerjaan ibunya. Jemuran kain batik yang sudah kering segera diangkat dan dibenahi ke dalam rumah.
Di atas langit awan mendung berlomba dengan mentari bergerak ke barat meninggalkan hari kian gelap.
“Makanlah dulu nak, kamu tentu sudah lapar...”
“Nggih Bu!”
Dewa bersyukur hujan turun saat dirinya mencapai rumah. Ibunya yang sudah renta tentu akan kesulitan menurunkan kain dari jemuran.
“Oncor dua yang kamu buat semalam yang ada di samping rumah untuk apa?”
“Untuk acara penutupan orintasi malam ini, Bu!”
“Hari ini terakhir to?”
“Inggih, Bu!”
“Harus buat dua?”
“Beni minta dibuatkan sekalian. Beni menyiapkan lilin buat Dewa.”
“Buat apa lilin?”
“Itu yang diminta, Bu.!”
“Ya sudah. Habis makan, istirahat dulu. Jam berapa kembali ke sekolah?”
“Setengah lima sore, Bu. Jam lima acaranya dimulai lagi.”
“Siang tadi pak Sastro mampir, Nak!”
Dewa menunggu ucapan ibunya selanjutnya. Tapi Ibunya tak melanjutkan. Ibunya tak ingin menambah beban pikirannya. Dewa tahu apa keperluan pak Sastro yang tak lain ingin tahu perkembangan sampai sejauh mana pesanan lukisan potretnya sudah dikerjakan Dewa.
“Lusa saya usahakan selesai, Bu. Saya juga sudah siapkan bingkainya.”
“Alon-alon. Ora perlu ngoyo. Pak Sastro juga ngerti kalau nggambar itu perlu ketenangan dan hati-hati.” kata Ibunya diseling batuk.
“Ibu sudah minum sirup wood-nya?”
“Sudah. Sebelum kamu datang, Nak.”
“Ya sudah. Tapi Ibu perlu sare dulu. Biar nanti malam Dewa siapkan supaya besok Ibu tinggal melanjutkan.”
Sebelum masuk kamar, Dewa membereskan segala sesuatu di rumah itu. Lalu menemani Ibunya berbincang sebentar.
“Ibu mau siram air panas dulu biar Dewa masakkan air?”
“Nanti saja kalau kamu mau pergi!”
Setelah itu Dewa masuk kamar. Sembari rebahan mulai nembang mocopat. Nembang adalah hal yang selalu dia lakukan setiap saat untuk mengisi waktu. Kadang nyuluk wayang yang selalu disiapkan di dekatnya. Dirinya sedang giat berlatih mendalang.