033. Bertemu di Senaputra

Lorna menelpon Pak Karyo untuk tidak menjemput. Nanti akan ditelpon bila saatnya dijemput. Lorna juga memberitahu pada Mami. Kalau sedang ada keperluan dengan Dewa, bila alasannya bersama Dewa Mami tak merasa khawatir.
    Lorna memandang ke atas ketika keluar dari kelas. Langit berawan. Cuaca setiap saat bisa berubah. Dalam tas selalu tersedia payung lipat untuk berjaga-jaga,
    Kali ini Lorna sengaja tak memberitahu pertemuannya dengan Dewa kepada Rahma dan Grace. Lorna bisa memahami bila Dewa punya pertimbangan memilih bertemu di tempat itu? Lorna lebih suka bertemu di tempat makan di mall atau rumah makan cepat saji seperti Pizza Hutt atau McD. Tentu ada pertimbangan kenapa Dewa memilih tempat itu untuk bertemu berdua tanpa cemas ada yang mengusik.
    “Non!” Seorang tukang becak memanggil dan melambaikan tangan kepadanya.
    Lorna melihat ke arah orang itu. Apakah tukang becak itu dimaksud Dewa yang akan mengantarkannya ke Senaputra?
    Lorna lalu mendekatinya.
    “Saya Sumadi, Non. Tadi Mas Dewa berpesan untuk mengantarkan Nonik ke Senaputra.” kata bapak itu.
    “Mau lewat mana, pak?” tanya Lorna.
    “Kita lewat belakang. Lewat belakang rumah sakit, biar tidak memutar taman Tugu.”
    Lorna lantas naik. Perjalanan ke Senaputra tak memakan waktu lama, tak lebih dari sepuluh menit.
    “Non, maaf ya?” tukang becak itu bertanya.
    “Ya, pak?”
    “Boleh saya bertanya?”
    “Ada apa, pak?”
    “Mobil Nonik yang tempo hari bannya digembosi?”
    Lorna mengangkat alis.
    “Bapak kok tahu?”
    “Ya, saya dan seorang teman saya melihat anak yang melakukannya. Saya pikir teman Nonik bermaksud iseng. Saya tahu itu mobil Nonik. Karena saya melihat saat Mas Dewa membantu mengganti ban mobil Nonik.”
    “Jadi bapak melihat kejadianya langsung.”
    “Ya, Non. Saya bilang ke Nonik karena rupanya Nonik dengan Mas Dewa kenal baik.”
    “Bapak sudah lama kenal Mas Dewa?”
    “Sejak Mas Dewa masuk sekolah itu. Mas Dewa suka menyapa. Orangnya baik. Orangtuanya juga baik. Saya yang mengantarkan pulang ke rumahnya waktu ban sepedanya bocor.”
    Jadi bapak ini yang mengantar sepeda Dewa waktu dirinya sudah berada di rumah Dewa menunggunya.
    “Teman saya juga merekam perkelahian antara anak yang menggembosi ban mobil Nonik dengan Mas Dewa.”
    Lorna terperanjat.
    “Oh, ya? Merekam pakai apa, pak?”
    “Pake hape, Non. Teman saya itu gaya sekali. Tukang becak saja modelnya punya hape segala.”
    “Ah, nggak apa-apa kan pak?”
    “Kalau saya mikir pulsanya, Non. Lagi pula untuk apa? Anak perempuan saya saja pingin punya, tapi dari mana duit. Bapaknya saja tulang becak yang penghasilannya tak pasti.”
    Hati Lorna terenyuh mendengarnya. Timbul rasa penasaran dengan ceritanya prihal merekam perkelahian Dewa dengan Timmy. Lorna ingin tahu sekali apa yang sudah direkamnya.
    “Apakah saya bisa melihat rekaman itu, pak?”
    “Saya kurang tahu, Non. Mudah-mudahan ada. Nanti saya coba tanyakan padanya.”
    Sampai di tujuan Pak Sumadi menolak pembayaran dari Lorna.
    “Kenapa?”
    “Sudah dibayar Mas Dewa, Non!”
    “Oh ya? Tapi, tidak apa-apa, Pak!”
    “Jangan, Non. Sudah dibayar!”
    “Terima saja. Ini dari saya.”
    Karena Lorna mendesak. Pak Sumadi menerimanya.
    “Tapi uangnya besar, tidak ada kembalian.”
    “Tak usah dikembalikan, pak!”
    “Jangan, Non. Uangnya besar. Lebih baik saya tukarkan dulu.”
    “Sudahlah, Pak. Tidak usah dikembalikan. Semua buat Bapak.”
    “Nama saya Sumadi, Non!”
    “Terimakasih telah mengantarkan saya.”
    “Saya yang harus berterimakasih, Non. Maaf kalau boleh tahu siapa nama Nonik?”
    “Nama saya Lorna, Pak!”
    “Terimakasih banyak Nonik Lorna! Itu Mas Dewa sudah menunggu di pintu masuk!” kata pak Sumadi seraya mengarah ke pintu masuk taman rekreasi Senaputra.
    Lorna tersenyum. Dewa melambaikan tangan.
    “Sudah ya Pak?”
    “Baik, Non!”
    Lorna lantas melangkah gemulai menghampiri Dewa.
    “Ada apa tadi?” tanya Dewa.”
    “Ah, enggak. Dia bilang sudah Dewa bayar waktu Lorna bermaksud membayar!” balas Lorna.
    “Lorna sudah lapar?” tanya Dewa.
    “Nanti saja. Dewa sudah lapar?” Lorna balik tanya.
    “Kita cari makanan di dalam.” jawab Dewa seraya mengajak masuk ke dalam taman Senaputra. Dewa sudah menyiapkan karcis masuk.
    Sesaat kemudian keduanya sudah berada di dalam. Memilih tempat duduk di taman di bawah pohon yang rindang.
    Langit berawan menutupi cahaya mentari.
    “Aku beli minuman dulu. Tunggu di sini.” kata Dewa.
    Lorna membuka dompet bermaksud mengambil uang.
    “Sudahlah, Aku ada. Mau minum apa?”
    “Terserah Dewa.Tapi jangan yang dingin ya?”
    Tak lama kemudian Dewa cepat kembali dengan membawa minuman kaleng.
    “Terimakasih!” kata Lorna tapi tak segera membuka kaleng minumannya. Dewa membeli pocaryswept buatnya.
    Keduanya lalu duduk dan tak langsung membicarakan apa yang jadi keinginan mereka bertemu di tempat itu. Sama-sama mengedarkan pandangan melihat suasana taman yang sepi pengunjung.
    Kemudian Dewa berkata.
    “Sudah beritahu Mami kamu ada di sini bersamaku?”
    “Ya, tapi tak memberitahu tempatnya.”
    Dewa mengangguk. Nyonya Ivana tak mengkhawatirkan bila puterinya bersama.
    “Pernah kemari?” tanya Dewa.
    “Belum. Lalu Dewa?”
    “Sekali, itu juga sudah lama sekali. Kurasa di sini bisa leluasa berbincang. Maafkan kalau selama ini kamu sulit menemuiku.”
    Lorna memandangnya sepintas, lalu beralih ke kaleng minum yang ada di tangannya. Dewa lantas mengambil minuman itu, dan membuka tutupnya.
    Lorna suka yang dilakukan Dewa. Selalu memperhatian sekali pun pada hal-hal kecil.
    “Aku tak bermaksud...”
    Lorna langsung memotong ucapan Dewa, bisa menangkap maksudnya.
    “Sudahlah!”
    Dewa terdiam. Menunggu Lorna bicara. Namun gadis itu tak juga bicara.
    “Sebaiknya kita makan dulu.” kata Dewa.
    “Kalau kita ke rumah makan Lorna tak sulit menjawab.”
    Dewa tertawa kecil. Melihat Lorna membuka tas lalu mengeluarkan bungkusan kertas. Dewa tahu kertas yang di dalamnya masih ada lapisan lagi yang terbuat dari alumunium foil. Lalu di dalamnya bisa dipastikan makanan. Karena bungkusan seperti itu yang kerap diterima darinya.
    “Sandwich?” tanya Dewa,
    Lorna mengangguk.
    “Aku mau makan kalau kita bagi dua.”
    “Bagaimana membaginya nanti berantakan?”
    “Kita akan menggigitnya gantian.”
    Lorna tertawa kecil.
    “Kenapa?”
    “Ah, nggak!” Lorna tersipu, Sikap Dewa kerap membuatnya terkejut seperti saat ini.
    “Mau nggak?”
    Lorna menggeleng seraya tersenyum.
    “Siapa yang pertama?” tanya Lorna.
    “Kamu!”
    Maka Lorna menggigit pelan. Dewa suka cara Lorna menggigit. Sopan menyenangkan untuk dilihat. Kemudian ganti Dewa yang menggigit dan roti masih dipegang Lorna. Dan itu diulang bergantian tanpa bicara lantaran mulut penuh. Hingga potongan terakhir.
    Setelah minum dan membersihkan mulut dengan tisu yang dibawa Lorna. Keduanya mulai berbincang.
    “Roti ini sebenarnya buat Dewa.” kata Lorna.
    “Ya, aku tahu kamu membawakan buatku setiap hari. Tapi kalau tak ketemu, rotinya diapakan?”
    “Dibuang. Habis mau diapakan?”
    Dewa mengambil kaleng minuman dari tangan Lorna lalu meminumnya seteguk. Lorna tersenyum.
    “Lorna pingin mengajakmu makan di rumah.”
    “Mungkin saat aku mengerjakan kolammu.”
    “Masih lama.” jawab Lorna tak yakin.
    “Mungkin saat ulangtahunmu.”
    Lorna tersentak.
    “Dewa tahu?” tanya Lorna.
    Dewa mengangguk.
    “Kulihat di buku induk di meja kepala sekolah saat aku dipanggil ke sana. Apakah akan ada pesta?”
    Lorna mengangguk lemah. Dewa menengadah memandang langit.
    “Sebenarnya aku ingin mengerjakan. Tapi aku kesulitan untuk memulai.” Dewa berkata dengan nada berat.
    “Lorna paham situasi yang sedang Dewa hadapi. Tidak dikerjakan juga tidak apa-apa. Itu tidak penting.” Lorna berusaha membantu meringankan tekanan yang sedang dihadapi Dewa.
    “Itu penting, Na. Aku akan mengerjakan. Aku akan membuatkan kolammu.”
    “Lupakanlah kolam itu.”
    Dewa memandangnya tajam.
    “Kenapa?” tanyanya.
    “Lorna tak ingin kolam itu menjadi beban pikiranmu.”
    “Kamu tak boleh membatalkan. Itu keinginanmu. Dan kolam tak menjadi beban pikiranku. Justru kalau kamu membatalkan akan menjadi beban pikiranku.”
    “Karena itu Dewa tak perlu terlalu memikirkannya. Lorna kan sudah mengatakan kalau Dewa bisa mengerjakan kapan saja, setiap saat.”
    “Aku akan mengerjakan setelah masalahku selesai.”
    “Lorna mengerti.”     jawab Lorna lembut.
    Dewa menggenggam punggung tangan Lorna. Menatapnya lembut. Lorna menunduk menatap tangan Dewa yang menggenggam tangannya. Genggaman itu terasa nyaman. Menenteramkan kecemasannya bila Dewa sampai masuk penjara. Untuk itu Lorna akan berupaya lebih keras. Walau tanpa sepengetahuan Dewa, dirinya bersama Mami telah membuat laporan ke polisi tentang peristiwa penggembosan roda mobilnya. Mereka menggunakan jasa pengacara. Dan  keinginan bertemu dengan Dewa sesungguhnya ingin menyampaikan hal itu. Tapi nampaknya Lorna merasa berat untuk melakukannya.
    Bila membicarakan masalah Dewa akan membuat hati Lorna terasa tercabik. Wajah Dewa yang tegar tak mencerminkan beban yang dipikulnya. Semakin hari dirinya merasa seperti memiliki Dewa, apalagi sikap Dewa terhadap dirinya membuatnya seperti Dewa juga mencintainya. Semua itu membuatnya tak kuasa membuatnya untuk tidak menitikkan airmata.
    “Tak usah risau, Na.” Dewa menghibur.
    “Bagaimana kalau Dewa, Lorna carikan pengacara?”
    Dewa tersenyum.
    “Lorna yang akan membayar biaya pengacaranya.”
    “Hapuslah airmatamu. Aku takut Mami akan marah. Setiap kali bersamaku matamu selalu merah karena habis menangis.”
    Lorna memaksakan diri tersenyum.
    “Aku tak ingin membuatmu sedih. Aku jadi merasa serba salah.”
    “Kenapa, Dewa?”
    “Setiap kali bertemu kamu selalu menangis.”
    “Lorna menangis bukan karena sedih, De.”
    “Lalu apa artinya kalau menangis?”
    “Menangis bahagia, Dewa. Dewa mesti memahami perasaan Lorna yang tidak punya saudara. Lorna merasa bahagia bila berada dekat Dewa. Merasa diperhatikan. Merasa terlindungi. Karena itu Lorna merasa takut bila sesuatu yang buruk menimpa Dewa.”
    “Aku memahamimu, Lorna. Lorna pikir Dewa tak memiliki perasaan seperti yang kamu rasakan. Dewa menganggapmu lebih dari sekedar teman, adik, saudara atau apalah...”
    Hati Lorna terasa disiram oleh air dingin. Sejuk sekali.
    “Karena itu aku selalu menerima makanan yang kamu berikan. Aku senang dengan perhatianmu padaku. Aku ingin tak ada sekat di antara kita.”
    Lorna menghapus matanya yang basah.
    “Kalau ada yang tanya kenapa kita begitu dekat, apa jawabanmu?”
    “Lorna akan bilang, Dewa kuanggap sebagai masku.”
    “Kangmas begitu?” tanya Dewa.
    Lorna mengangguk tersenyum.
    “Ya, seperti kata Ibu, yang menganggapmu adikku.”
    “Diajeng begitu?” tanya Lorna.
    Dewa tertawa yang diikuti Lorna. Keduanya bertatapan. Bertatapan seperti itu, sungguh tidak mungkin bila tidak ada perasaan cinta. Hanya saja enggan mengutarakan,b aginya sikap yang diperlihatkan Dewa sudah cukup baginya kalau Dewa memiliki perasaan sama terhadap dirinya.
    Bagi Dewa meski ada perasaan seperti itu, namun ada keraguannya Lorna bisa menerimanya, karena struktur sosial jauh berbeda, satu sisi Dewa berusaha mengabaikan makna pacaran mengingat prioritasnya adalah bertahan hidup di tengah kehidupannya yang masih serba sulit.
    “Matamu indah sekali.” Dewa memuji. Suaranya lunak.
    “Terus...”
    Lorna tersenyum.
    “Rambutmu indah berkilau.”
    “Terus...”
    Lorna masih tersenyum.
    “Wajahmu cantik sekali,”
    “Terus...”
    Lorna masih tersenyum.
    “Jangan pikir ucapanku sebagai rayuan.”
    “Terus...”
    Lorna masih tersenyum.
    “Terus aku senang mendampingimu.”
    “Oh ya?”
    “Keberatan?”
    Lorna menggeleng. Dewa tersenyum memejamkan mata. Lorna menatap menunggu.
    “Bagaimana kalau kita makan bakso?” tanya Dewa masih terpejam. Lorna tahu sikapnyaa bermaksud menggoda.
    “Pesanlah.” jawab Lorna.
    “Aku mau makan seperti tadi.”
    Dewa masih terpejam.
    “Pesanlah!” jawab Lorna.
    “Semangkuk berdua?”
    Lorna tersenyum.
    “Pesanlah!” jawab Lorna.
    Dewa membuka mata. Dihadapannya Lorna menyodorkan lembaran uang limapuluh ribu.
    “Syaratnya pakai uang ini, Kangmas.”
    Dewa tertawa. Wajah Lorna ceria.
    “Tunggu di sini, Diajeng. Jangan kemana-mana.”
    “Baik kangmas!”
    Saat Dewa memesan semangkuk bakso, Lorna bertelepon dengan Mami yang mengingatkan jangan lupa makan. Sebenarnya Lorna ingin mengajak Dewa makan di restoran, tapi dia kesulitan memikirkan sepeda Dewa yang tak bisa ditinggalkan.
    Dewa cepat kembali.
    “Mana baksonya?” tanya Lorna.
    “Nanti diantar kemari.”
    Keduanya kembali duduk berdampingan sembari menanti pesanan datang. Wajah Lorna nampak telah bersih dari bekas airmata. Kulit pipinya yang halus kembali bersinar. Lorna telah merapikan wajahnya saat Dewa pergi memesan bakso.
    “Sudah telpon lagi Mami?”
    “Sudah. Kenapa?”
    “Hanya memastikan Mami tak khawatir.”
    “Bila bersamamu Mommy tak khawatir.”
    “Kenapa?”
    “Karena Dewa baik.”
    Dewa tertawa.
    “Kenapa tertawa?”
    “Bikin celaka orang kok dibilang baik.”
    Lorna mencubit lengannya.
    “Jangan begitu, Kangmas, Ntar Diajeng nangis lagi lho?”
kata Lorna menggoda.    
    “Pesanan sudah datang...” kata Dewa.
    Lorna melihat tukang bakso menghampiri dengan membawa nampan berisi semangkuk bakso bersama lepek berisi sambal dan saos tomat. Lalu meletakkan di atas meja di depan mereka.
    Setelah tukang bakso pergi Dewa mengambil mangkok lalu diletakkan ke atas bangku di antara mereka. Keduanya kini berhadapan menghadqap mangkuk bakso.
    Lorna mengambil sendok, membersihkan terlebih dulu dengan tisu. Dia selalu menjaga kebersihan. Dewa tahu kalau Lorna tak mau sambal atau saos seperti itu. Gadis itu selalu berhati-hati soal makanan. Dan apa yang dilakukannya untuk memperlihatkan bahwa tidak ada sekat di antara mereka.
    Lorna mulai menyuapi Dewa.
    “Kudengar kamu terpandai di kelasmu.” kata Dewa.
    “Sudahlah, kita nikmati bakso ini. Dewa juga seperti itu. Bahkan lebih dari itu karena Dewa punya kelebihan. Hanya ada yang bilang Dewa angkuh.”
    Dewa tersenyum memandangnya menggigit bakso.
    “Aku suka kamu jujur. Menurutmu aku begitu?”
    Lorna mengangguk untuk menggoda.
    Dwa tertawa.
    “Mungkin karena Dewa sulit diajak bicara yang tak perlu. Suka menghindar suka soliter. Barangkali mereka tak bisa membedakan mana angkuh dan mana apatis.”
    “Aku memang angkuh, sombong, apatis, egois, kusadari kalau banyak teman sekelasku membenciku.”
    “Bukan membenci, mereka marah karena kepentingan mereka tidak Dewa dukung waktu Pentas seni. Tapi pak Sumadi tukang becak bilang kalau Mas Dewa orangnya baik, ramah, sopan, selalu menegur.”
    “Aku tak tanya pendapat mereka, aku tanya pendapatmu. Itu yang penting.”
    Lorna menatap. Hatinya berbunga karena pendapatnya begitu penting bagi Dewa. Tapi Dewa tak tahu apa yang dirasakannya.
    Dewa tersenyum menatap tak kalah serius.
    “Pendapat Lorna seperti pendapat pak Sumadi.” jawab Lorna kemudian.
    “Aku sering menyakiti hatimu.”
    “Ih!”
    Lorna berpura-pura ngambek dengan berhenti menyuap. Lalu Dewa mengambil alih sendok dari tangannya lantas menyuapinya. Tapi Lorna menolak karena mulutnya masih ada yang dikunyah.
    “Dewa tak pernah menyakiti hatiku!”
    “Tapi kerap membuatmu menangis.”
    “Menangis bukan karena itu, Dewa!”
    “Lalu apa?”
    “Barangkali lantaran cengeng, ya?” Lorna menyalahkan dirinya sendiri.
    “Ah, ya bukan begitu. Kamu selalu terbawa perasaanmu. Itu lumrah pada perempuan. Aku tak nyaman bila kamu nampak bersedih.”
    Hati Lorna berbunga dengan ucapan itu. Lalu menyibakkan rambut di atas telinganya. Memperhatikan Dewa mulai menyudahi makannya. Lorna pun ikut.
    “Bagaimana pulangmu dari sini?” tanya Dewa.
    Lorna membersihkan mulut dengan tisu serta memberi Dewa selembar yang lain, lalu menjawab.
    “Lorna akan telepon minta dijemput. Bagaimana Dewa pulangnya?”
    “Aku membawa kendaraan.”
    Lorna mengerenyitkan kening memandangnya. Dewa membalas, melakukan hal serupa. Untuk beberapa saat saling memandang sebelum tersenyum bersama.
    “Tentu dibenakmu terbersit, kenapa aku tak ganti saja sepeda itu dengan motor?”   
    “Ih! Lorna tak punya pikiran seperti itu!” sergah Lorna.
    “Itu peninggalan almarhum Ayahku. Sepeda itu telah meringankan beban langkahku.”
    “Lorna paham!” meski dalam hatinya ucapan Dewa terasa menikam perasaannya. Ada kepahitan dalam makna ucapannya itu.
    “Kalau ada rejeki, aku pingin motor, tapi bukan model mutakhir, aku lebih suka motor antik tua.”
    “Semacam Harley Davidson?”
    “Ya, tapi itu masih jadi sepenggal mimpi.”
    “Siapa tahu nanti bisa terbeli”
    Dewa meliriknya.
    “Kalau rumah Lorna dekat sini, apakah Dewa mau mengantarkan pulang pakai sepeda?”
    “Sekarang pun kalau kamu mau?” Dewa menantang.
    Lorna membelalakan matanya yang biru.
    “Tapi rumah Lorna jauh!”
    “Tak masalah!”
    “Lorna tak pernah dibonceng!”
    “Itu masalahnya!”
    “Dewa nanti kecapaian.”
    “Kita bisa berhenti sejenak di perjalanan.”
    “Nanti kehujanan.”
    “Aku ada mantel hujan.”
    Mata Lorna berbinar-binar. Rupanya Dewa tak menyerah dengan jawabannya.
    ‘Tapi nanti akan lama waktunya, dan Mommy akan mencari dan mengkawatirkan Lorna.”
    “Itu masalahnya.”
    Lorna suka pertemuan ini. Dan berharap akan terulang lagi. Lorna juga jadi tahu selera Dewa terhadap barang antik dan bernilai seni. Kekecewaannya belakangan  ini akibat tak bisa bertemu sekian lama jadi terobati. Apalagi hari ini bisa makan sandwich berdua. Bisa makan semangkuk bakso berdua. Bisa merasakan genggaman tangan Dewa. Bisa saling bicara hati ke hati. Bisa mendengar pengakuannya; yang senang mendampinginya, yang merasa tak nyaman bila melihatnya nampak bersedih, yang memberi jalan bagaimana bila ingin saling bertemu.        
    Semua itu membuatnya tak merasa tersinggung bila Dewa memintanya pulang. Sebaliknya hal itu ditanggapi sebagai bentuk perhatiannya, meski terasa mengatur. Tapi menurutnya tak apalah, biasa seorang kakak selalu mengatur adiknya.
    “Kita bisa ngobrol lain waktu. Sekarang teleponlah minta dijemput.”
    Lorna menurut lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas sekolahnya.
    “Terimakasih mengajak bertemu Lorna di sini.”
    “Maafkanlah bila harus bertemu seperti ini. Aku tak ingin ada anggapan....”
    Lorna memandangnya karena Dewa tak melanjutkan ucapannya, lalu bertanya.
    “Anggapan apa Dewa?”
    “Anggapan mereka.”
    “MAksud Dewa, anggapan teman=teman?”
    Dewa diam namun diartikan Lorna sebagai jawaban ya.
    “Kenapa Dewa peduli pada mereka sedangkan mereka tidak.”
    “Aku tak peduli pada mereka...”
    “Lalu?”
    “Sudahlah!” 
    Pak Karyo tiba di lokasi penjemputan dan segera memberitahukan lewat telepon bahwa dirinya sudah sampai.
    Dewa mengantarkan ke mobil. Membukakan pintu buat Lorna.
    “Kalau ingin kita bertemu. Kamu tandai tulisan ‘KL’ di dinding di bawah majalah dinding. ‘K’ artinya ‘ketemu’ dan ‘L’ inisial namamu. Kalau sudah terhapus artinya pesanmu sudah kubaca, begitu sebaliknya. Bagaimana?” kata Dewa dengan suara pelan namun cukup jelas.
    Lorna mengangguk tersenyum. Menatap dengan sinar kebahagiaan.
    “Kenapa nggak beri saja nomer hape Dewa?” tanya Lorna.
    Dewa mengangkat alis.
    “Aku nggak punya.”
    Jawaban itu membuat wajah Lorna memerah. Kalau dia tahu Dewa tak punya hape, pertanyaan itu tak akan dilontarkannya.
    “Maafkan Lorna...”
    “Kenapa minta maaf. Aku memang tak punya hape.”
    Namun Lorna tak ingin memperpanjang persoalan itu karena akan membuat keduanya tak nyaman.
    “Terimakasih, Dewa. Besok lihat saja di bawah Majalah Dinding apakah ada tulisan yang Dewa maksud?” kata Lorna lembut.   
     “Besok akan kulihat. Salam buat Mami.”
    Lorna mengangguk.
    “Jaga dirimu ya?”  ucapnya lembut.
    Dewa tersenyum mengangguk untuk melegakannya.
    “Bye, De!”
    “Bye, Na!”
    Lorna masih memandangnya sekalipun mobilnya semakin menjauh, sebab hatinya seakan tertinggal di sana. Begitu pula Dewa mengawasi hingga mobil Lorna hilang dari pandangan karena masuk ke jalan Kahuripan.
    Sepeninggal Lorna, Dewa menatap langit. Mengamati awan di atas yang masih seperti saat dia datang, meski khawatir hujan bisa saja turun setiap saat, karena saat ini awan sedang mengumpulkan enerji membuat hujan selanjutnya.
    Tak lama kemudian Dewa bergegas memacu sepeda berkejaran dengan hujan dalam mencapai rumah.