Hal yang membuat Lorna penasaran adalah sejak sekolah dimulai hingga seminggu kemudian tak pernah berhasil bertemu dengan Dewa. Selalu ada saja halangan yang membuatnya tak bisa bertemu dengan Dewa. Waktu yang tidak tepatlah, atau memang ada saja hal yang membuat keduanya tak pernah bertemu. Seakan seperti ditakdirkan untuk tidak bertemu. Padahal sudah beberapa kali sengaja pergi melintas di depan kelas Dewa atau berpura-pura menemui Ndari karena Ndari satu kelas dengan Dewa.
Lorna berusaha tidak memperlihatkan sikapnya terhadap Dewa dihadapan teman-teman dekatnya seperti Rahma dan Grace.
Saat berada di pintu gerbang menunggu jemputan bersama Rahma dan Grace.
“Na, bukankah kamu diundang rapat pemilihan pengurus majalah?” tiba-tiba Ronal datang menghampiri.
“Aku tak punya kompetensi.”
“Tapi kamu kan diundang untuk mewakili kelas kita.”
“Kan sudah ada Vina dan Anuf. Kurasa keduanya cocok karena keduanya punya hobi yang sama suka menulis.”
“Setidaknya mereka memerlukanmu untuk mengasuh rubrik berbahasa Inggris. Bahasa Inggrismu kan jago.”
“Ah!” Lorna menepis.
“Sebaiknya kamu datang. Mereka tentu menunggumu.”
“Sudah kutitip pesan ke Vina kalau aku tak berminat.”
“Kamu tahu siapa saja yang diundang?” tanya Rahma.
“Ndari bilang, selain dirinya dari kelasnya ada Dini dan Dewa diundang dalam rapat hari ini.”
Mendengar nama Dewa disebut ikut rapat pergantian periode kepengurusan majalah sekolah dan majalah dinding, hati Lorna seperti tersengat listrik seribu voltage. Betapa tidak, kesempatan yang diharapkannya bisa bertemu dengan Dewa, kini malah terbuang akibat penolakannya sendiri. Dan untuk membatalkan apa yang sudah diputuskannya sendiri adalah tidak mungkin. Karena itu bukanlah sifatnya yang akan menjilat ludahnya sendiri.
Namun Lorna berusaha menyembunyikan penyesalan dan kekecewaan dengan bertanya. “Dewa kebagian apa dalam kepengurusan itu?”
“Mana kutahu.” jawab Ronal. “Besok baru bisa kita baca susunan kepengurusan itu di Majalah Dinding.”
“Kenapa bukan kamu yang diundang, Ron?” tanya Grace.
“Aku tak punya kompetensi.” jawab Ronald seraya tertawa meminjam istilah yang digunakan Lorna.
Lorna tersenyum dan memandang Ronal sepintas. Dipandang seperti itu membuat wajah Ronald berbunga.
“Ok, mobilku sudah datang. Sampai ketemu besok lagi.” kata Lorna kepada teman-temannya.
Rahma dan Grace ke pintu gerbang hanya bermaksud mengantar Lorna. Keduanya bersama-sama akan kembali ke dalam ke tempat pakir karena mereka pergi sekolah menggunakan sepeda motor.
Sementara dalam mobilnya Lorna dengan wajah muram menatap keluar jendela. Pandangan matanya kosong. Pikirannya menerawang ke banyak pengandaian. Andai saat ini memilih ikut rapat, maka bisa bertemu Dewa. Andai ikut jadi pengurus maka akan lebih sering bertemu dengannya dan membahas setiap volume majalah. Akan lebih sering bertemu dan bisa lebih mengenal satu sama lain. Terlebih akan menyampaikan terimakasih kepadanya karena telah menolongnya di malam inagurasi.
Ah, tapi semua peluang itu sudah seperti sebutir debu tertiup angin. Lenyap tak pernah ada lagi. Mengingat kepengurusan itu akan disandang hingga tahun ke tiga menjelang kelulusan.
Lorna memejamkan mata, menghela nafas panjang dan berusaha mengusir seribu penyesalan yang mengaduk-aduk rongga dadanya.