008. Buku Harian

Akibat perasaan kecewa tak berkesudahan, membuatnya kini suka menulis di buku harian. Awalnya, corat-coret di buku sebagai pelampiasan kekesalan akibat selalu gagal bertemu Dewa. Lalu timbul keinginan menumpahkannya ke dalam catatan khusus buat segala uneg-unegnya.
    Akibatnya, Mami tak mampu mencegah keinginannya malam itu untuk pergi keluar membeli buku harian, apalagi sekedar ke toko buku sekalipun hari mulai larut. Untungnya masih ada yang belum tutup, dan Lorna berhasil menemukan apa yang dicarinya.
    Maka dalam kamar di atas tempat tidur, mulailah menuliskan segala yang mengganjal perasaannya belakangan ini, terlebih masa orientasi saat dirinya dihadapkan Dewa yang sengaja dijebak para senior agar mengatakan dirinya jelek.
    Lorna tersenyum bila mengingatnya. Lorna tahu, Dewa tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia hanya menuruti kemauan senior. Namun, yang tak habis dia mengerti, kenapa Dewa tak berusaha melakukan pendekatan pada dirinya. Berbeda dengan kebanyakan teman barunya laki-laki getol melakukannya.
    Dicobanya membuat catatan tentang profil Dewa .

“Nama: Dewa blablablabla! Tempat dan tanggal lahir: Belum tahu! Bintang: Belum tahu! Hobi: kayaknya seni. Keahlian: (Sementara kulihat) menguasai gitar, biola,saksofon. Suaranya merdu saat nyanyi. Tinggi badan: Belum tahu! Warna kulit: Sawo matang! Rambut: Hitam lebat panjang bergelombang! Mata: lebar, kornea hitam, sorot tajam, teduh. Alis: Hitam tebal! Bibir: Bagus, dingin! Wajah: Ganteng! Kepribadian:misteri! Penampilan: Tak acuh! Sifat: baik!

    Coba saja kalau ada fotonya, catatannya akan terasa lebih lengkap. Ah, besok-besok kekurangan itu akan dilengkapi.
    Saat mendengar pintu kamarnya diketuk, segera ditutupnya buku hariannya, lalu bangkit membuka pintu. Dia yakin pasti Mami yang datang.
    Benar. Saat pintu terbuka, sejurus Mami tersenyum di hadapannya.
    “Belum tidur, Honey?” tanya Mami seraya membentangkan tangan. Lorna menghambur memeluk.
    “Come in, Mom!”
    Mami lantas masuk. Di atas tempat tidur, tergeletak buku harian yang belum lama dibeli. Cermin dari gadis yang tengah beranjak dewasa. Suka menulis-nulis dalam buku harian.
    “Mami, mengganggumu?” tanya Mami saat sudah duduk di tepi pembaringan.
    “Nggak Mom!” jawabnya seraya memeluknya lagi.
    “Bicaralah kalau ada yang mengganggu pikiranmu.”
    Lorna menggeleng.
    “Sudah bertemu teman yang memberimu obor?”
    Pertanyaan Mami membuatnya mengerenyitkan kening.
    “Belum! Tadi tidak masuk. Barangkali, sakit akibat pulang kehujanan semalam.”
    “Ou, kasihan! Kalian satu kelas?”
    “Nggak, Mom!”
    “Aduh, sayang ya kalian tidak satu kelas?”
    Ucapan Mami menenteramkan hatinya.
    “Berapa lama Mommy dan Daddy pacaran sebelum menikah?”
    Mami tersenyum, menyentil dagunya, lalu membelai wajah dan rambutnya.
    “Tiga bulan!”
    “What? Sesingkat itu?”
    “Papimu yang maksa! Takut Mami berubah pikiran!”
    “Memangnya ada yang lain.”
    Mami tersenyum.
    “Hei, nakal, banyak pacar ya?”
    “Ah enggak. Mami cocok dengan Papi mu. Keputusan Mami ternyata nggak salah.”
    “Apa alasan Mommy meninggalkannya?”
    “Dia masih terikat waktu ikatan dinas lama. Tugasnya berpindah-pindah kota!”
    “Nggak sabaran sih Mommy!”
    “Kalau nggak begitu, matamu nggak biru!”
    “Ah, Mommy! Cinta pertama ya?”
    “Nggak juga. Cinta pertama Mami, cinta monyet!”
    Lorna tertawa.
    “Papimu setia. Apalagi sejak kehadiranmu!” kata Mami seraya mencium lembut pipi Lorna, lalu melanjutkan, “ Kamu cantik.”
    “Seperti Mommy!”
    “Sungguh beruntung lelaki yang kamu cintai...”
    “Ah, Mommy!”
    “Pilihlah pacar dengan hati-hati. Buatlah cinta pertama jadi terakhir!” ucap Mami lembut sembari mendekap kedua pipi anak gadisnya, lalu mengecupi bibirnya.
    “Lorna belum memikirkan, Mom!”
    “Di seusiamu, Mami sudah tertarik punya pacar! Tapi dilarang Nenekmu. Karenanya, Mami tak melarangmu, tapi bilang Mami bila punya pacar, biar Mami menilai tabiatnya.”
    “Lorna belum merasakan apa pentingnya pacaran, jadi belum mikirin!”
    Mami tersenyum.
    “Mami tak pandai berbahas soal cinta. Terlebih Papimu, lebih suka langsung berterus-terang, tidak mau bertele-tele, tidak mau ruwet-ruwet. Pacaran itu cermin romantika jatuh cinta. Bila jatuh cinta, hatimu yang merasakan. Saat kamu merasakan suatu perasaan pada seseorang yang menyita perhatianmu, bersiap-siaplah kamu sesungguhnya mulai jatuh cinta.”
    “Ah, Mommy!”
    Apakah seperti perasaan yang kini sedang kurasakan, Mom? Perasaan yang bertubi-tubi tertuju pada lelaki itu, akankah berkibat seperti itu, Mom? Soalnya, sejak pertama berhadapan dengannya, perhatianku jadi tersita memikirkannya. Demikian pertanyaan yang timbul di pikiran Lorna.
    “Kenapa?” tanya Mami saat melihatnya merenung. Lalu menduga, puterinya tengah dilanda perasaan semacam itu.
    “Hari sudah larut. Sebaiknya kita tidur. Mami akan memelukmu, Mami merindukanmu, bidadariku!” bisik Mami lembut.
    Lorna mengecup bibir Mami.
    “I love you, Mommy!”
    Mami membelai rambutnya dan melekatkan pipi ke pipi Lorna yang halus.
    “Mami juga mencintaimu, Sayang!”
    Meski telah beranjak dewasa, Lorna suka tidur dalam pelukan Mami. Nyaman.
    Sementara di luar rumah, udara dingin menyergap bintang yang bertebaran di langit. Tak seperti malam kemarin, yang gelap berhujan.