014. Bertemu Di Perpustakaan

Saat jam pelajaran berlangsung Rahma bertanya; kenapa Lorna datang tak seperti biasa. Namun Lorna mengistaratkan padanya agar tidak berisik dengan menempelkan ujung telunjuk ke bibirnya.
    “Kita belum konfirmasi ke Ndari bagaimana bisa ketemu Dewa di rumahnya,” kata Rahma.
    Lorna tersenyum lalu bertanya.
    “Kapan kita ke rumahnya?”
    “Itu yang akan kita tanyakan ke Ndari, kapan waktunya b isa bertemu Dewa.”
     “Kenapa bukan kita yang putuskan waktunya, lalu kasih tahu ke Ndari untuk disampaikan ke Dewa.’
    “Ngaco kamu ah!”
    “Sudahlah putuskan saja. Nanti sore? Besok? Terserah! Soalnya kamu yang akan jadi tukang riasnya.”
    “Ih, kamu yakin Dewa langsung bisa ditemui?”
    Lorna mengangguk.
    “Aku sudah ketemu dengannya.”
    Rahma tersentak. Grace berpaling pada Lorna.
    “Ketemu Dewa?” tanya Rahma dan Grace bareng.
    Lorna mengedipkan sebelah mata.
    “Kapan?” tanya Grace.
    “Barusan!”
    “Dimana?”
    “Di pintu gerbang seturun dari mobil.”
    “Terus?” tanya Rahma.
    “Dewa yang minta kita ke rumahnya kalau kita perlu itu.”
    Wajah Rahma dan Grace seketika ceria.
    “Putuskan!” desak Lorna.
    “Kalau nanti sore bagaimana?” tanya Rahma.
    “Terserah. Beri tahu Ndari untuk menyampaikannya.” kata Lorna perlahan. Takut pembicaraannya ada yang menguping.
    “Kenapa kamu tak sekalian minta nomer teleponnya?” tanya Rahma.
    “Lho, katamu dia nggak ada telepon. Kamu kan sudah pegang alamatnya. Coba aku salin nanti ke hapeku.” timpal Lorna dengan berbisik.
    “Ntar saja jam istirahat.”
    Waktu istirahat Lorna menyalin alamat rumah Dewa ke hapenya. Rahma menelpon Ndari setelah tak berhasil mencarinya di kelasnya.
    “Nanti sore kita bertiga sepakat ke rumahnya. Tolong sampaikan padanya ya.”
    “Nanti kusampaikan. Dia ada di perpustakaan mengurusi pembagian majalah sekolah.” jawab Ndari di telepon.
    Rahma memandang Lorna.
    “Bagaimana?” tanyanya.
    “Apakah kita temui disana?” tanya Grace.
    “Sebaiknya begitu biar pasti.” Lorna meyakinkan.
    “Tapi dia sibuk.” Rahma menjelaskan.
    “Paling sebentar hanya menyampaikan itu.” Lorna menegaskan lantaran terdorong keinginan mengetahui rumah Dewa.
    Maka ketiganya menuju perpustakaan. Mereka ragu begitu melihat pintu perpustakaan tertutup. Apalagi hari ini bukan jadwalnya buka. Tapi melihat jendela kaca di atas pintu nampak terang akibat lampu dari dalam. Yakin ada kegiatan di dalamnya, dan itu pasti Dewa seperti yang diberitahukan Ndari.
    “Sebaiknya kamu yang menyampaikan sendiri, Na.” kata Rahma.
    “Kenapa mesti aku. Aku kan sudah membantu kalian memastikan kesediaannya ditemui.”
    “Karena kamu sudah bertemu dan bicara sendiri dengannya.” Grace membela Rahma.
    Lorna tersudut.
    “Kita berdua tunggu di luar sini.”
    “Hei!” Lorna protes.
    “Sudahlah! Masuk saja!” Grace mendorong.
    Lorna berdiri ragu di depan pintu berpelitur coklat. Tangannya yang membawa bungkusan berisi makan siangnya diletakkan di belakang pinggangnya. Wajahnya menatap daun pintu warna gelap dihadapannya.
    “Ketuk...” Rahma memberi isyarat dengan tangan.
    Lorna lantas mengetuk. Menunggu beberapa saat. Belum ada reaksi dari dalam. Lalu diulangi lagi dengan ketukan agak lama. Lalu ditunggunya lagi.
    Rahma dan Grace perlahan menjauh menjaga jarak.
Lorna membeliakkan sepasang matanya kepada mereka lantaran mengambil jarak.
    “Hihhh...” gerutunya.
    Rahma dan Grace menahan ketawa lalu menempatkan diri di balik pilar tembok berdinding batu.
    Saat Lorna kembali menghadapi pintu dan bermaksud mengulangi ketukannya. Daun pintu tiba-tiba terbuka.
    “Oh...” Dewa sedikit tertegun.
    “Hai!” sapa Lorna.
    “Hai! Masuk!”
    Lorna menggeleng. Belum sempat dia bicara, tiba-tiba Dewa memegang pergelangan tangannya dan menariknya ke dalam ruangan. Dewa segera menutup pintu kembali.
    Kini Lorna yang tertegun. Dia tidak menyadari kalau sikap Dewa itu hanya bermaksud menghindari ada yang melihat keduanya dalam ruang perpustakaan. Baru disadari Lorna kalau di dalam ruang perpustakaan ternyata hanya ada mereka berdua.
    “Maafkan sikapku!” Dewa meminta maaf setelah melepaskan pegangannya.
    Lorna menggeleng tak keberatan, meski masih timbul tanda tanya atas sikap Dewa yang mengejutkannya.
    “Ada apa?”
    “Lorna mengganggumu?” tanya Lorna lembut.
    Dewa menggeleng seraya berpaling sejenak memandang tumpukan-tumpukan majalah di atas meja perpustakaan.
    “Kamu urus sendiri itu semua?” tanya Lorna kalem.
    Dewa tak menjawab. Sebaliknya lantas menatapnya tajam. Kali ini Lorna tak berani menghadang tatapan itu. Tajam. Tajam sekali. Karena itu pandangannya dilemparkannya ke atas lantai kelabu.
    “Ada perlu apa?” Dewa mengulangi pertanyaannya.
    Setelah berusaha meredakan debaran perasaannya. Lantas mencoba memberanikan diri memandang lurus pada mata Dewa.
    “Nggh....Lorna sudah memutuskan akan datang ke rumahmu nanti sore.” jawab Lorna lirih.
    Dewa diam tak bergeming. Mencoba menelusuri wajah di depannya yang belakangan ini ramai dipergunjingkan. Apalagi kornea matanya yang biru seperti warna biru saphire itu, nampak jernih berkilauan, menandakan bahwa mata itu begitu indah dan sehat.
    Melihat Dewa diam Lorna segera bertanya.
    “Dewa keberatan?”
    “Ah...” Dewa tergagap lalu menggeleng-gelengkan kepala, “Datanglah...datanglah.”
    “Lorna yakin kamu belum makan.” kata Lorna memandang Dewa yang tak lagi memandang matanya. Sebaliknya pandangannya terpaku pada bungkusan di tangan Lorna yang diarahkan kepadanya agar dirinya menerimanya.
    Kali ini Dewa baru berani memandang sesekali ke mata Lorna yang tak lagi segan memandangnya.
    “Terimalah!”
    Dewa ragu.
    “Terimalah!”
    “Oh...nggak...nggak!”
    “Terimalah! Ini makan siangku. Aku masih ada satu lagi.”
    Akhirnya Dewa menerima bungkusan itu.
    “Bukalah!”
    Dewa memandangnya sejenak.
    “Tak mengandung racun.” Lorna mencoba bercanda.
    Usahanya berhasil mencairkan suasana yang membuat Dewa tersenyum. Lorna memperhatikan Dewa membuka makanan yang terbungkus kertas alumuniumfoil dengan hati-hati. Isinya roti lapis dan buah jeruk.
    “Dalamnya daging sapi lapis keju, salad dan tomat.” Lorna meyakinkan Dewa.
    “Halal!”
    Dewa tersenyum.
    “Thanks...”
    “Makanlah!”
    “Nanti saja, kecuali kita bagi dua.”
    Lorna tersenyum.
    “Itu buatmu.”
    “Thanks.” 
    Dewa membungkus kembali makanan itu.
    “Sudah ya begitu dulu. Sampai ketemu lagi nanti.” kata Lorna bermaksud menyudahi. Sesungguhnya dia masih ingin berbincang seperti itu sampai istirahat berakhir. Ada pertimbangan lain yang membuatnya harus melakukannya adalah; Pertama, tak ingin menyita waktu Dewa lebih lama lantaran masih harus menuntaskan tanggungjawab mempersiapkan majalah sekolah yang akan didistribusikan. Kedua, ingin Dewa segera menghabiskan makanan siang yang baru saja diberikannya. Ketiga, Rahma dan Grace menunggu di luar.
    Saat bermaksud membuka pintu. Dewa berusaha mencegah dan mengambilalih membukanya.
    Lalu bertanya dengan nada nyaris berbisik.
    “Kamu tak mencoba menyuapku kan?”
    Lorna tersentak. Namun melihat wajah Dewa dengan senyumnya yang teduh itu, memastikan bahwa Dewa bermaksud bercanda.
    “Bye, Dewa!”
    “Bye, Lorna!”
    Saat Dewa hendak menutup pintu. Lorna menahan sejenak daun pintu. Dewa tidak jadi menutup. Melalui celah sempit daun pintu yang terbuka. Berkata,
    “Lorna bukan tukang suap. Cepatlah makan siang, sayurannya keburu basi.”
    Daun pintu pun segera tertutup.
    Lorna bernafas lega. Sesaat berdiri dan bersandar pada daun pintu yang baru saja tertutup dengan pelupuk mata terkatup. Senyum manis menghias bibirnya. Akan ada banyak catatan yang harus dibuat di buku harian hari ini.   
    Rahma dan Grace yang geregetan menunggu, saling memandang melihat Lorna berdiri seperti itu.
    “Hei!” Grace memekik memanggilnya.
    Lorna tersentak.
    “Sudah?” tanya Rahma.
    Lorna tersenyum lalu mengangguk.
    “Beres!”
    “Kenapa pintu mesti ditutup?” tanya Rahma setelah mereka berlalu dari depan perpustakaan.
    “Mana aku tahu.” jawab Lorna seraya mengedikkan bahu.
    Sementara itu. Ronal yang kemarin hatinya terbakar melihat keakraban Lorna dengan Dewa, kini kian membara saat melihat Lorna masuk ke dalam ruang perpustakaan yang tertutup menemui Dewa.
    Apa yang terlintas dalam kepalanya untuk meredam kekecewaan adalah melampiaskan dengan menyobek ban sepeda Dewa yang berada di tempat parkir dengan menggunakan cutter.
    Ronal melakukannya saat jam pelajaran berlangsung dengan berpura-pura ijin ke kamar kecil, namun nyasar ke tempat parkir dan melakukan niatnya.
    Ronal tahu sepeda yang dipakai Dewa. Dan tempat parkir lebih banyak diisi sepeda motor, memudahkannya menemukan sepeda tersebut, apalagi sepeda pancal yang ada di tempat itu kebanyakan keluaran model baru, seperti sepeda gunung, bmx, sport, rata-rata harganya tidak murah.
    Hanya sepeda milik Dewa jenis jadul, jenis satu-satunya yang ditemui di tempat itu. Tempat duduknya terbuat dari kulit tebal, bel analog dari logam, serta lampu dimana listriknya berasal dari dinamo yang ditempelkan ditepi roda sebagai penghasil listrik.