015. Ban Sepeda Kempes

Dewa geram saat menyadari ban roda sepedanya ada yang menjahili. Dan yang membuatnya tidak mengerti merupakan kesengajaan jika meneliti bekas sobekan yang tajam yang tembus ke dalam. Sobekan itu nyaris memotong lingkaran ban sepedanya. Dan itu harus diganti baik ban luar maupun ban dalamnya. Jelasnya ban itu sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Tetapi siapa yang harus dicurigainya sebagai pelaku.Yang terlintas dalam pikirannya, kini mulai ada yang tidak menyukainya. Ada yang berusaha mengusik. Tapi apa alasannya. Karena merasa tak pernah melakukan sesuatu yang merugikan pihak lain, karena pada dasarnya tak ingin mencari musuh di sekolah. Keinginannya datang ke tempat ini hanya bersekolah. Hanya ingin menimba ilmu. Hanya itu. Titik.
    Dewa berusaha tegar. Hatinya panas mendidih. Ada kemarahan. Tapi semua itu tak diperlihatkan. Berusaha menahan diri sembari berusaha menenangkan perasaanya dengan bersandar pada dinding. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam. Mencoba berpikir mencari jalan keluar.
    Lingkungan sekolah mulai sepi. Beni sudah pulang sejak tadi karena melihat Dewa  masih harus menyelesaikan urusan majalah sekolah di perpustakaan.
    Namun di tempat parkir masih ada satu sepeda motor yang belum diambil pemiliknya. Saat Dewa membuka mata, pemilik motor tersebut sudah berada dihadapannya memandang sayu.
    Gadis yang dihadapannya cukup dikenalnya. Dia adalah kakak kelas yang waktu masa orientasi selaku seniorita. Tatapannya silih berganti dari ban sepeda lalu pada dirinya.
    “Kenapa ban sepedamu?”
    Dewa tak menjawab.
    “Ban sepedamu putus?”
    Dewa tetap tak menimpali.
    “Ada yang sengaja memotongnya?”
    Dewa tetap tak menimpali.
    “Terus bagaimana?”
    Dewa mengangkat bahu. Memandang sepedanya. Tak mungkin menaikinya pulang dengan kondisi seperti itu. Setidaknya harus mencari tukang tambal ban dan membeli ban baru luar dalam. Atau sementara akan dititipkan di sekolah dengan memberitahu penjaga sekolah. Atau bisa dibawa menggunakan becak.
    “Terus bagaimana kamu akan pulang?” tanya Ratih dengan wajah iba.
    “Jalan kaki.” balas Dewa tenang.
    “Boleh aku antar?”
    “Terimakasih. Aku coba pakai becak.”
    “Benar tak mau kuantar? Kamu bisa pakai motor kan?”
    Dewa mengangguk, tapi tetap tak ingin merepotkan. Baginya gadis itu harus lekas pulang.
    “Aku antarkan beli ban?” Ratih menawarkan.
    “Ah, biar sekalian nanti diperjalanan.”
    “Sungguh?”
    Dewa mengangguk.
    Ada alasan Dewa menjawab pertanyaan Ratih seperti itu, karena dirinya tidak membawa uang. Bila ada uang tanpa pikir panjang akan langsung pergi mencari toko yang menjual ban baru sekagus memasangnya. Kalau menggunakan becak setidaknya ongkosnya bisa dibayar saat tiba di rumah.
    Maka Dewa menyewa becak. Banyak pertimbangannya untuk tidak meninggalkan sepedanya di sekolah. Perjalanan yang harus ditempuh ke rumahnya cukup jauh. Dirinya keluar dari perpustakaan sudah melewati jam dua siang. Kemudian waktu keberadaannya di tempat parkir kurang lebih setengah jam memikirkan sepeda dan berbincang dengan Ratih. Dirinya tahu kenapa Ratih juga pulang terlambat, karena ada rapat panitia pentas seni, dan Ratih jadi anggotanya. Karena itu bila sampai di rumah bisa di atas jam tiga sore. Untunglah perutnya sudah terganjal roti lapis pemberian Lorna, meredakan kegelisahan isi perutnya.
    Langit terselimuti awan membuat suasana seperti telah sore. Udara pengap tak berangin pertanda tengah berlangsung kondensasi di atas sana. Hujan diperkirakan akan turun di malam hari.