Meski udara mendung tak mengurungkan niat Lorna, Rahma dan Grace ke rumah Dewa. Ketigamya tiba terlebih dulu disana sebelum Dewa. Mereka tak menyadari bahwa Dewa mengalami halangan dengan sepedanya yang membuatnya pulang terlambat.
Kehadiran ketiga gadis itu membuat ibunda Dewa keheranan. Karena tak seperti biasanya Dewa masih belum pulang.
“Seharusnya sudah pulang, nduk.” Ibu Dewa menjelaskan. “Lha ya bagaimana ini. Kalian satu sekolah sudah pulang. Dia masih belum pulang juga.”
“Mungkin masih sibuk menyelesaikan tugasnya mengurus majalah sekolah.” Lorna berusaha menjelaskan.
Ibu Dewa memandang Lorna.
“Kowe iku kok ayu tenan to, nduk.”
Lorna tersenyum melemparkan pandangan kepada Grace dan Rahma bergantian. Lorna tak mengerti.
“Kamu kok cantik sekali...” Rahma mencoba mengartikan pada Lorna. Lorna tersipu.
“Lorna tak mengerti bahasa jawa, Bu De.” kata Rahma.
Wanita tua itu tersenyum. Menggeleng dan berdecak mengagumi kecantikan Lorna.
“Kecantikanmu koyo dewi Sembodro.” tambah Ibu Dewa.
“Lha ya bagaimana masmu Dewa itu.” kata Ibu Dewa pada Lorna.
Sanubari Lorna terasa adem saat Ibu Dewa menyebut Dewa sebagai mas baginya.
Lantas Ibu Dewa bercerita perihal Dewa. Meski usianya sudah sepuh. Namun masih nampak tegar. Bicaranya masih tegas. Menciptakan keakraban dan polos. Bicaranya tanpa tedeng aling-aling. Terlebih saat menceritakan sifat karakter dan tabiat Dewa. Apa yang dilakukan Dewa dalam keseharian. Mengurus rumah. Mengurus Ibunya. Melukis, membatik, membuat patung relief. Seabreg kegiatan seperti latihan ilmu beladiri. Bermain musik juga gamelan. Selalu bangun pagi dan pergi tidur menjelang pagi.
Ketiga gadis itu terpukau saat Ibu Dewa bercerita dengan rinci perihal anaknya. Yang begitu patuh pada orangtua. Yang tak pernah mengenal bapaknya. Yang tak memiliki saudara kandung. Yang hormat pada siapa saja. Yang tak ingin menyakiti hati siapapun. Yang rajin. Yang ulet. Yang ringan tangan. Mau membantu siapa saja.
“Masmu itu nriman, Nduk.” kata Ibu Dewa seraya menatap Lorna. “Kowe ngerti artinya nriman? Nriman itu artinya mau menerima apa adanya. Maafkan Ibumu ini ya? Bukan maksud Ibumu ini ngelem Dewa. Ngelem itu menyanjung, ngerti?”
“Lorna mengerti, Bu De. Lorna merasakan itu, karena Lorna pernah menerima kebaikannya.” sela Lorna.
“Tapi masmu selalu besar hati menerima nasib. Tak pernah mengeluh, meski hidup selalu dalam kesulitan seperti ini, yang semua harus diperjuangkan.”
Ucapan itu menikam lubuk gati Lorna. Bola matanya berkaca-kaca.
Semakin lama Ibu Dewa bercerita tentang banyak hal. Semakin membuat Lorna merasakan makna seorang Ibu dan anak. Semakin membuatnya mengerti arti kesulitan hidup, makna perjuangan hidup, makna kepatuhan, makna kesetiaan, pokoknya beribu makna yang belum pernah dipahaminya selama ini. Dan itu semua adalah petuah yang belum pernah didapatkannya dari kedua orangtuanya.
Sampai kemudian Ibu Dewa mohon diri dulu karena ada sesuatu yang ribut di samping rumah. Menyuruh ketiga gadis itu tetap duduk menunggu.
“Dari tadi kita hanya bicara saja. Ibumu akan buatkan minum dulu ya? Di sini tidak ada siapa-siapa. Hanya Ibumu dengan kangmasmu.”
“Tidak usah repot-repot,Bu De” kata Rahma.
“Ora opo-opo sing repot kan Ibumu gudu kowe.” jawabnya seraya tertawa terkekeh.
Lorna memandang Rahma minta diartikan.
“Tak apa-apa yang repot kan Ibumu bukan kamu.”
Lorna tersenyum.
Suara ribut di samping rumah adalah kedatangan Dewa yang membawa sepeda dengan beck. Dewa mulai menurunkan sepeda dari atas becak. Ibunya yang datang mendekat terperanjat.
“Lho..lho ada apa ini?”
“Bannya kempes, Bu!” jawab Dewa cepat menjelaskan, tak ingin membuat cemas.
“Kok bisa kempes lalu dinaikkan becak. Memang tak bisa ditambal di jalan.”
“Sebenarnya bisa, Bu. Tapi Dewa tak membawa duit. Ongkos becak ini saja Dewa harus bayar disini.”
Ibu Dewa lalu berbincang dengan tukang becak.
“Duduk dulu di dalam, nak. Nanti kubuatkan minum sekalian.”
“Matur nuwun, Bu.”
“Ayo ojo isin-isin. Anggep omahmu dewe.”
Ibu Dewa mencoba meneliti ban sepeda Dewa yang bocor. Sepeda itu merupakan peninggalan suaminya. Dia ingin melihat kebocorannya seperti apa. Saat melihat kondisi ban segera bergegas mencari Dewa dan berpapasan di ruang tengah.
“Sepedamu kena apa kok putus seperti itu? Itu tidak bocor lagi. Apakah kamu melindas pisau atau apa kok bisa seperti itu. Atau menabrak sesuatu?”
Dewa yang tak ingin berbohong lantas berterus terang. Menceritakan apa adanya. Cerita itu yang membuat Ibunya marah, tapi bukan kepada Dewa, melainkan kepada yang melakukan itu.
“Kamu tidak punya musuh to?”
Dewa menggeleng.
“Ora slamet yang melakukan itu padamu, nak.”
“Sudahlah, Bu. Besok Dewa carikan ban baru.” Kata Dewa berusaha menenangkan.
“Sepeda itu peninggalan Ayahmu, nak”
“Bekasnya akan Dewa simpan, Bu.”
“Ibumu tak mengerti. Masih saja ada yang berniat mencelakaimu. Kebangetan..kebangetan. Yang sabar ya nak. Yang sabar. Uripmu mengko mulyo..mulyo...”
Dewa mengusap-usap lengan Ibunya.
“Sudahlah, Bu. Dewa berikan ongkos becak dulu.”
“Ya, nak. Ibumu akan buatkan minum. Jangan boleh pulang dulu nak becak itu sebelum minum.”
“Inggih, Bu.”
“Setelah itu temui temanmu di ruang depan.”
Dewa tersentak.
“Siapa, Bu?”
“Bocah ayu katanya sudah janjian denganmu.”
Dewa menggaruk kepalanya.
Sebenarnya pembicaraan antara Dewa dan Ibunya di ruang tengah tertangkap telinga ketiga temannya yang berada di ruang depan.
Rahma berusaha menerjemahkan ucapan Ibu Dewa bila menggunakan bahasa jawa karena Lorna minta. Seperti “...Uripmu mengko mulyo..mulyo..”
“Hidupmu nanti mulya atau makmur.”
Pembicaraan Dewa dan Ibunya membuat hati Lorna terenyuh. Bola matanya yang sejak tadi mulai berkaca-kaca lantas menciptakan genangan airmata di bawah pelupuk matanya.
Ketiga gadis itu saling bertatapan dan membisu.
“Ada apa sih?” Grave bertanya dengan berbisik.
“Mereka bicara tentang sepeda...” balas Rahma.
“Ada apa dengan sepedanya?”
Lorna mengedikan bahu.
“Sepertinya ada yang menjahilinya...”
Sementara di luar hari merangkak gelap. Hujan mulai turun rintik-rintik. Lampu antik yang menggantung di atas mulai dinyalakan. Tak lama kemudian Dewa muncul dari balik penyekat ruangan.
Dewa mengenakan kaos t-shirt hitam dan celana jean hitam. Gaya penampilannya menampakan bentuk tubuhnya yang atletis. Dewa nampak habis mandi sebelum menemui ketiga temannya. Penampilannya membuat ketiga gadis itu terkesima. Nampak dewasa. Tak seperti saat berseragam sekolah.
Dewa masuk seraya membawa nampan berisi empat gelas minuman teh.
“Silahkan diminum. Sori, kalian menunggu lama.”
Dewa menatap Lorna sejenak dan menyapa.
“Hai!”
Lorna tersenyum dan membalas.
“Hai!” Suaranya halus.
Untuk sesaat suasana agak kaku. Lorna yang telah mengeringkan matanya yang basah enggan memandang Dewa. Sesekali menatap ke arah Grace dan Rahma. Kedua temannya juga hanya tersenyum-senyum saja.
Dewa lantas mengambil cangkir di hadapannya dan mulai minum perlahan.
“Aku akan masuk ke dalam kalau kalian tak minum. Lebih baik Ibuku yang menemui kalian.”
Ketiga gadis itu lantas bergegas mengambil gelas minum masing-masing, mulai minum mengikuti Dewa.
Setelah itu.
“Aku minta maaf telah membuat kalian menunggu lama.” kata Dewa kemudian.
“Tak apa-apa Dewa.” kata Rahma.
“Tak apa-apa bagaimana. Aku harus pergi keluar dulu untuk memanggil orang yang akan membantu kalian. Dan itu akan membuat kalian menunggu lagi.”
Ketiga gadis itu bengong Dewa berbicara sengit seperti itu. Dewa masih terbawa kekesalan dengan peristiwa yang bekum lama dialami.
“Soal kebaya. Ibuku bisa mengajari bagaimana berkebaya yang benar.”
Lorna mengangguk. Dalam perhatiannya, Ibu Dewa terlihat berkebaya. Sepertinya hal itu dilakukan dalam keseharian.
“Apakah kamu baik-baik saja hari ini Dewa?” Lorna bertanya.
Dewa menatapnya.
“Maksudmu?”
“Barangkali Dewa harus melakukan hal lain. Dan belum siap membantu kita. Lorna mengerti kalau Dewa baru pulang. Yang penting kita sudah datang dan tahu rumah Dewa.”
“Kamu pikir aku keberatan kedatangan kalian?”
“Oh..no no no no!” sela Lorna. Untuk sesaat Lorna diam, lalu melanjutkan.
“Sorry! Lorna pikir, Dewa perlu waktu mempersiapkan apa yang menjadi keperluan kita. Lorna mengerti Dewa. Lorna minta maaf terlalu memaksakan diri. Lorna sangat berterimakasih padamu.”
Dewa menghela nafas.
“Barangkali lain waktu bisa datang kemari lagi.”
Lorna menunduk, tak berani menatapnya. Tatapan Dewa begitu menusuk.
“Masih ada waktu kan?” tanya Dewa.
Ketiga gadis itu mengangguk. Rahma dan Grace sengaja membiarkan Lorna yang bicara. Mereka pikir Lorna terlihat familiar dengan Dewa, meski sikap keduanya seperti memperlihatkan kecanggungan.
“Aku hanya tak ingin kalian kemalaman pulang. Kalau kalian tak keberatan, lebih baik dilakukan sepulang sekolah. langsung kemari agar waktunya lebih lama. Nanti akan kupersiapkan semuanya.”
“Kapan, Dewa?” tanya Lorna kembali.
Dewa diam merenung memandang lantai. Sedang berpikir mengatur waktu.
“Kalau perlu biaya tolong beritahu ya.”
Dewa mengangkat wajah, menatap Lorna tajam.
Lorna mengedikan bahu, mengerenyit kening seraya tersenyum. Takut Dewa salah paham.
“Siapa yang mau dirias?”
“Me.” jawab Lorna tanpa sadar dengan bahasa Inggris sembari menunjuk dadanya sendiri.
“Tim riasnya?”
Grace dan Rahma mengangkat tangan.
“Lorna bisa pakai kebaya Ibuku. Ada banyak kain kebaya. Nanti kita pilih dan padukan mana yang cocok buat Lorna. Jangan kuatir. Kebaya yang akan kamu pakai belum pernah digunakan. Itu koleksi Ibu.”
Tentu saja, Dewa!. Komentar Lorna dalam hati. Sebab Ibumu pembatik.
“Boleh Lorna beli dan pesan?” tanya Lorna.
Dewa kembali menatap Lorna. tatapan itu membuat Lorna harus meluruskan ucapannya.
“Maksud Lorna. Tadi Ibu Dewa sudah cerita tentang batik. cerita bagaimana Ibu Dewa membatik. Mommy Lorna ingin punya koleksi kain batik. Barangkali Dewa bisa membantu.”
“Bicaralah sendiri dengan Ibu lain waktu. Sebaiknya fokus ke kebutuhan kalian.”
“Atau kalau ada kain batik yang bisa dibeli. Biarlah untuk keperluan itu Lorna akan beli.”
Dewa kembali memandangnya.
Lorna mengangkat kening, merasa bersalah akan maksud baiknya. Tidak menyadari bahwa yang diucapkan nya membuatnya tersinggung. Sebab dalam pikiran Dewa, dia tidak ingin ada anggapan, bahwa yang dia lakukanbya punya maksud bisnis.
Dewa menahan perasaannya.
“Bicaralah sendiri dengan Ibu.” katanya kalem.
Tentu Lorna tidak akan berbicara dengannya saat ini. Isyarat yang dia berikan untuk dilakukan lain waktu sudah cukup. Apalagi terbuka peluang ke rumahnya setiap saat pamit pulang, Ibu Dewa memeluk dan mencium lembut pipinya dan mengatakan.
“Kamu kok cantik tenan to, nduk. Main-main kemari kapan saja, tidak harus ada keperluan dengan kangmasmu Dewa. Kamu bisa kemari menemani Ibumu membatik.”
Hati Lorna diselimuti kebahagiaan.
Rahma dan Grace iri melihat sikap Ibu Dewa pada Lorna.
“Ya, Bu.” jawab Lorna lembut.
“Bocah kok ayu tenan koyo dewi Sembodro.”
Lorna tersipu melirik Dewa melempar pandangan ke kejauhan. Lorna tahu Dewa mendengar itu. Sudah dua kali Ibunya mengatakan dirinya mirip Dewi Sembodro. Siapakah Dewi Sembodro? Lorna tidak tahu karena dia tidak mengerti tentang wayang.
Hujan telah reda. Dewa mengantar ketiga gadis itu memasuki mobilnya.
“Lusa kita kemari ya?” kata Lorna meyakinkan Dewa lagi saat berada di belakang kemudi.
Dewa mengangguk.
“Thank you.” kata Lorna tanpa suara.
Dewa mengangkat tangan.
“Daaa, Dewa!” teriak Grace dan Rahma.
Dewa membalas lambaian tangan mereka.