Meski Dewa tidak mempersoalkan terjadinya tidak pengrusakan pada sepedanya. Esok hari rumor tersebut cepat berkembang. Memicu terjadinya protes dikalangan murid yang membawa kendaraan, khususnya sepeda.
Terlebih saat Dewa ke sekolah tidak lagi bersepeda. Banyak yang mendatanginya menanyakan kebenarannya. Namun Dewa tak menanggapi karena tidak tahu siapa yang melakukan.
Hanya saja saat istirahat Dewa diminta datang ke kantor Bimbingan dan Penyuluhan untuk dimintai keterangan. Dan Dewa mendapat teguran lantaran tidak melaporkan apa yang dialaminya. Hal itu mendapat perhatian serius karena akan dibawa ke rapat guru.
“Ini tidak hanya cukup merugikanmu, tapi juga bisa menimpa yang lain. Setiap peritiwa sekecil apa pun akibatnya akan menjadi tanggungjawab sekolah. Tolong ya, Dewa. Saya minta kerjasamanya.” kata Ibu BP.
Rumor yang berkembang pasti sumbernya berasal dari Ratih. Karena hanya Ratih yang tahu apa yang dialaminya kemarin. Tetapi dia tidak melihat Ratih karena itu dia mencari Ratih.
Saat mencari Ratih, Dewa berpapasan dengan Lorna yang menyapanya, namun Dewa tak bergeming. Pikirannya fokus menemui Ratih. Lorna merasa tak nyaman melihat sikap Dewa. Lorna sudah mendengar rumor yang menimpanya. Karena itu dia bermaksud mendatangi menanyakan kebenarannya. Saat berada di rumahnya kemarin Lorna sempat mendengar Ibunya sempat marah soal sepeda.
Lorna berdiri terpaku memandang Dewa yang bergegas melewatinya begitu saja. Apakah dia sedang marah?
Lorna lantas menguntit karena penasaran. Akhirnya melihat Dewa masuk ke sebuah ruang kelas. Dari balik pintu dia mengintip Dewa menghampiri seorang gadis. Lorna mengenal gadis itu adalah kakak kelas yang jadi seniorita waktu masa orientasi.
“Kamu sudah dipanggil BP?” tanya Dewa dingin.
“Soal apa?”
“Soal yang sedang dibicarakan anak-anak.”
Ratih menggeleng.
“Jadi kamu yang menyebarkan masalahku?”
Ratih tergagap.
“Aku tak bermaksud...”
“Hei hei hei!” tiba-tiba ada yang berteriak dan mendorong tubuh Dewa agar menjauh dari Ratih.
Dewa segera menuding dada lelaki yang mendorong badannya.
“Jangan ikut campur urusanku.” sergah Dewa.
“Ini akan menjadi urusanku!” kata lelaki teman Ratih.
Dewa memandang Ratih yang nampak kebingungan memandang Dewa dan temannya bergantian.
“Kalau berani jangan dengan perempuan...”
Dewa menatap lelaki itu.
“Kamu pikir aku akan memukul dia. Lalu apa urusanmu menjadikan urusanku dengannya menjadi urusanmu.”
“Dia pacarku!”
Dewa memandang Ratih tajam untuk beberapa saat. Lalu berusaha menurunkan tensi darahnya. Dan sesaat kemudian menatap pacar Ratih sebelum berbalik meninggalkan keduanya.
Ratih memukuli dada temannya itu.
“Sialan kamu! Sejak kapan kita pacaran!” kata Ratih kesal padanya lalu mengejar Dewa.
“Dewa!”
Dewa tak menyadari Lorna ada di balik pintu dan melewatinya. Yang dikejar Ratih berusaha menggapai pergelangan tangannya.
“Tunggu, Dewa! Dengar dulu! Kamu salah paham!”
Namun Dewa menepiskan pegangan Ratih, dan tetap berlalu meninggalkannya.
Ratih nampak kesal. Lalu berbalik kembali ke dalam kelasnya. Saat di depan pintu dia bertatapan dengan Lorna yang terpana memandangnya.
“Apa lihat-lihat? Memangnya kamu yang merasa paling cantik sendiri di sekolah ini. Dasar bule!” kata Ratih kepadanya ketus.
Bola mata Lorna yang lebar menyalang lantaran terbelalak.
“Mau ikut campur urusan orang!” Ratih lantang meneriakinya hingga mengundang perhatian. Ratih sepertinya sedang dilanda emosi hebat. Dan Lorna jadi tumpahannya.
“Heeeeei!” terdengar teriakan.
Itu suara teriakan Grace yang berlari mendatanginya bersama Rahma.
“Kenapa? Ada apa Lorna?” tanya Grace.
“Nggak tahu kenapa dia marah-marah seperti itu.”
Grace dan Rahma memandang tajam pada Ratih. Emosi Grace dan Rahma ikut terpancing lantaran keduanya teringat perilaku Ratih saat menjadi seniorita di masa orientasi.
“Apa?” kata Grace berkacak pinggang menantang Ratih.
Namun Ratih ditarik teman-temannya ke dalam kelas. Lorna segera mengajak kedua temannya beranjak dari tempat itu.
“Kucari kamu. Ada apa?” tanya Rahma
“Nggak tahu!” jawab Lorna.
“Nggak tahu, tapi kamu ada disitu, gimana sih.” kata Grace sengit.
“Lorna mengikuti Dewa.”
Grace dan Rahma memandangnya tak paham. Lantas Lorna pun menceritakan awal peristiwanya agar keduanya paham.
“Dewa tanya ke Ratih siapa yang menyebar rumor. Tapi Lorna jadi tak mengerti karena Dewa langsung menuduh seperti itu. Lalu apa maksud Dewa menemui Ratih kalau memang tahu Ratih yang menyebarkan?” kata Lorna
“Itu artinya Ratih yang paling tahu.”
“Tapi kenapa dia jadi marah padamu seperti itu?” tanya Rahma.
“Mana Lorna tahu. Lorna berdiri di balik pintu. Melihat Dewa menghampiri Ratih mengajaknya bicara. Tahu-tahu ada anak lain mengajaknya ribut. Anak yang mengaku pacarnya Ratih.”
“Oooo begitu!” tukas Rahma dan Grace.
“Jadi pacarnya tidak terima perlakuan Dewa.”
Lorna mengangguk. Tiba-tiba terlintas di benaknya akan sepeda Dewa. Lalu mengajak kedua temannya mengikutinya ke tempat parkir kendaraan. Di tempat itu tak melihat sepeda Dewa.
“Kasihan dia datang tidak bersepeda.” kata Rahma.
Hal itu membuat Lorna penasaran. Sehingga ketika pulang dia sengaja menunggu dalam mobil di tepi jalan, berharap melihat Dewa pulang yang menurutnya bila berjalan kaki, akan mengajak naik mobilnya dan mengantarkannya pulang kerumah.
Namun ternyata Dewa pulang dibonceng Beni. Lorna sedikit kecewa. Lantas memandang bungkusan yang ada ditangannya. Bungkusan itu berisi makan siang yang tak sempat diberikan pada Dewa. Bungkusan yang sengaja sudah dipersiapkan dari rumah buat Dewa.
“Langsung pulang, Pak Yo.” kata Lorna memerintahkan supirnya.
“Baik, Non.”