039. Kumpul di Malam Minggu

Dewa mengambil duduk di sebelah Ndari. Dia melihat ada rona kecewa di wajahnya. Demikian pula wajah semua teman-temannya yang merona sedih. Dan tak seperti Dewa yang biasa saja.
    Untunglah ruangan itu cukup luas. Dengan beralas tikar mereka duduk diatasnya membentuk lingkaran. Di depan mereka ada yang sengaja membawa gorengan yang sudah disajikan di atas beberapa piring yang dilakukan Ndari sebelum Dewa kembali.
    “Kita semua sebenarnya datang kemari mau meminta maaf atas sikap kita semua kepadamu.”
    Dewa tertawa datar.
    “Sudahlah. Tak ada yang perlu meminta maaf. Lagi pula minta maaf perihal apa? Kalian tak ada yang punya kesalahan padaku. Justru sebaliknya aku yang harus minta maaf pada kalian karena bersikap egois. Tak membantu kelas kita disaat membutuhkan.”
    “Ah, enggak. Itu hakmu, De. Kami memang terlalu berharap padamu. Tapi lebih baik kita bersikap sportif. Mengakui kelas lain lebih punya niat berusaha.”
    “Sudahlah! Kita lupakan persoalan yang sudah berbulan yang lalu. Berkumpul seperti ini sesungguhnya sulit dilakukan. Tapi aku senang kalian bisa kompak. Sebaiknya kita makan malam dulu.” kata Dewa mengalihkan pembicaraan. Karena dia melihat Lorna dari balik pintu memberi isyarat mau mengantar makanan yang tadi dibelinya bersama Dewa.
    Dewa memberi isyarat dengan anggukan. Tak lama kemudian Lorna masuk ke ruangan bermaksud membagikan koncumsi.
    “Kenalkan Si Mata Biru.” kata Dewa.
    Semua yang ada di ruangan tertawa.
    “Kita sudah kenal kok!” kata Dini.
    “Kamu tak mau membantu?” kata Dewa pada Ndari yang ada di sebelahnya.
    Ndari beranjak masuk ke dalam untuk mengambil makanan yang lain yang perlu diusung ke ruang pertemuan.
    Dadanya terasa sesak menyadari betapa Dewa dan Lorna kembali dari belanja. Dan sepertinya cukup membelanjakan duit yang banyak.”
    Ndari dan Lorna nampak berdekatan saat mengurus makanan dan minuman. Keduanya terlihat canggung. Namun Lorna berusaha menepiskan perasaan itu.
    “Kamu baik-baik?” tanya Lorna pada Ndari.
    Ndari mengangguk seraya membawakan botol minuman dan gelas plastik.
    “Sorry, Lorna tak bermaksud...”
    “Kalian dekat?”
    “Maksudmu?”
    “Dekat dengan Dewa...”
    Lorna memandangnya dan berusaha untuk memahami ucapan Ndari sebelum mengangguk.
    Anggukan gadis bermata biru itu terasa melukai hatinya.
    “Bukankah kamu sudah berjanji tak masuk dalam persaingan?”
    “What?!” Lorna keheranan.
    Keduanya saling memandang yajam.
    “Oh, itu maksudmu?” tiba-tiba Lorna seperti baru memahami. “Lorna dekat dengan Dewa tidak bedanya Lorna dekat denganmu.”
    “Aku dan kamu tak sedekat itu!” jawab Ndari pendek.
    Tiba-tiba Dewa muncul dan menyeruak di antara kedua gadis itu.
    “Ada Apa?” tanyanya. 
    “Ah, nggak!” jawab Ndari.
    “Tidak ada apa-apa! Mungkin teman-teman perlu mangkuk buat cuci tangan.” kata Lorna mengalihkan perhatian.
    “Di luar, dekat pintu ada kran, bisa cuci tangan di situ.” jawab Dewa.
    “Kalau begitu Dewa yang memberitahu mereka.”
    Ndari berlalu masuk ke ruang pertemuan. Membiarkan Dewa dan Lorna mengawasinya berlalu dari hadapan keduanya.
    Saat semua menikmati makan malam, Lorna tertahan diajak ngobrol Ibu Dewa saat mengantar roti yang sengaja Lorna beli untuknya. Ibu Dewa sedang duduk beristirahat sembari mendengarkan siaran radio berbahasa Jawa dari sebuah radio tua yang memiliki mata kucing. Radio itu tentu usianya lebih tua dari umurnya.
    “Bunda mau rotinya dilapisi selai?” Lorna menawarkan saat Ibu Dewa mengambil selembar potongan roti.
    “Biar Ibumu sendiri yang mengambil.”
    Ketidakmunculan Lorna di saat semua sedang makan membuat mereka menanyakan hal itu kepada Dewa. Lorna sendiri merasa tak perlu ikut nimbrung,  disamping mereka bukanlah teman-teman sekelasnya, keberadaannya tentu akan mengganggu.
    Dewa melihat Ndari yang nampak enggan menyantap makanannya. Memang seharusnya Lorna ikut nimbrung di dengan mereka. Karenanya Dewa bangkit meninggalkan mereka untuk menemui Lorna yang saat itu tengah asyik berbincang dengan Ibunya.
    Saat keduanya berhadapan lantas saling melempar senyum.    
    “Kenapa disini?”
    “Bunda tak ada yang menemani.”
    “Ibu sudah biasa sendiri. Kamu harus makan bersama mereka.”
    Ibu Dewa mendorong Lorna menuruti permintaan Dewa. Lorna mematuhi.
    “Ya sudah. Turuti Kangmasmu kumpul dengan yang lain. Makanlah seperti yang Kangmasmu minta.”
    “Ya, Bunda!”
    Dewa tetap nampak tegar walau pertemuan dengan semua teman sekelasnya yang bermaksud menunjukkan rasa solidaritas terhadapnya lantaran terkena skorsing bahkan ancaman dikeluarkan dari sekolah, sudah di depan mata.
    Dewa selalu menepis pertanyaan yang bermaksud menyinggung persoalannya. Keberadaan Lorna di tempat Dewa menguatkan pendapat semua teman sekelasnya bahwa antara Dewa dan Lorna terjalin hubungan yang demikian dekat. Namun apakah hubungan itu merupakan hubungan khusus seperti berpacaran? Ataukah jalinan keakraban itu hanyalah bersifat persahabatan? Hanya Dewa dan Lorna yang bisa menjawab.
    Mengingat persoalan Dewa terkait dengan Lorna tidak disangsikan lagi. Kedekatan keduanya ternyata telah membuat ada pihak yang tidak senang dan terganggu kepentingannya. Peristiwanya dengan Timmy sudah menjelaskan itu semua.
    “Nanti kuantar pulang.” kata Dewa kepada Lorna yang duduk di beranda di bawah penerangan yang temaram. “Aku antar mereka ke depan dulu.”
    Lorna mengangguk memberikan keleluasaan Dewa. Apalagi mereka telah berpamitan padanya termasuk Ndari yang bersikap enggan, Lorna tak ingin mengikuti agar Dewa bisa bebas menghadapi semua temannya termasuk saat sedang serius berbicara dengan Ndari.
    “Dia sering kemari?” tanya Ndari.
    “Memangnya kenapa?”
    “Ah, nggak cuma tanya saja. Mungkin itu alasan kita jarang lagi bersama.”
    Dewa memandang wajahnya yang diterangi sinar bulan.
    “Aku sibuk menghadapi masalahku.”
    “Masalahmu karena dia.”
    “Jangan menyalahkan dia.”
    “Kalau bukan karena dia lalu apa? Karena hubunganmu dengannya menciptakan musuh buatmu. Ada yang tak suka kamu menjalin hubungan dengannya.”
    Dewa diam mencoba mencerna ucapan Ndari. Dia memandang wajah Ndari yang nampak sayu. Wajah yang tak seperti biasa yang dia hadapi.
    “Maksudmu ada yang cemburu?”
    “Coba pikir sendiri. Lagi pula Lorna juga tak konsisten dengan ucapannya. Dia pernah bilang tak akan jadi saingan teman-teman wanitanya dalam memperebutkan teman lelaki. Itulah kenapa kemudian Lorna berantem dengan Ratih karena berpikir Lorna telah merebut lelaki yang disukai Ratih.”
    Dewa mengangkat alis sedikit terkejut.
    “Lorna berantem dengan Ratih?” Dewa bertanya untuk meyakinkan. “Memangnya lelaki yang diperebutkan Lorna dengan Ratih siapa?”
    “Tanyakan sendiri pada Ratih.”
    “Ceritamu ini serius?”
    “Selama ini memangnya pernah aku tak serius?” Ndari balik bertanya.
    Dewa terdiam.
    “Sebaiknya aku pulang sekarang.”
    “Apa maksudmu Lorna tidak konsisten?”
    “Ini masalah perempuan.”
    “Kalau masalah perempuan, kenapa kamu bicarakan dengan lelaki?”
    “Sudahlah. Kasihan dia sedang menunggumu. Aku pulang dulu.”
    Dewa tetap berdiri memandang Ndari hingga sepedamotor yang dikendarainya tak terlihat olehnya.
    Dewa kembali menemui Lorma.
    Pembicaraan dengan Ndari belum lama berselang mengusik pikirannya. Tak ada alasan baginya untuk tidak mempercayai ucapan Ndari yang sudah dikenalnya bertahun-tahun, tetapi juga tak cukup alasan baginya untuk mempercayai.
    “Jadi mengantar Lorna pulang? Atau Lorna akan pulang sendiri?” tanya Lorna sembari memperhatikan Dewa yang mengambil duduk di sebelahnya.
    “Aku akan mengantarmu.”
    “Dewa akan repot pulangnya.”
    “Aku bisa pakai taksi. Sudah telepon Mami lagi?”
    Lorna mengangguk.
    “Kamu tunggu di sini atau ikut ke dalam? Aku akan menengok Ibu di dalam dan menutup semua pintu.”
    “Lorna ikut...”
    Dewa mendapati Ibunya sudah berangkat tidur. Setelah mengganti penerangan dengan lampu tidur, Dewa menutup kamar Ibunya. Kemudian mengecek pintu-pintu yang lain.
    Lorna bertanya sendiri. Bila Dewa tidak ada, betapa kasihan Ibunya yang sudah nerusia lanjut tinggal sendiri. Kecemasan dan perasan gelisah kembali menyergapnya.
    “Apakah Bunda harus ditinggal sendiri tidak ada yang menjaga?” Lorna bertanya.
    “Ibu sudah terbiasa.” jawab Dewa seraya meminta kepadanya kunci kontak mobil. “Kenapa kamu tak pakai jaket?” Dewa bertanya  saat melihatnya melipat tangan merasakan hawa dingin.
    Dewa lantas melepaskan jaket yang sedang dipakai lalu mengenakan pada Lorna. Apa yang dilakukan Dewa seperti itu semakin memupuk perasaan cinta dan hormatnya pada Dewa. Dewa tak perlu menunggu mengambil sweternya yang ditinggalkan di mobil.
    Perasaan nyaman yang diterimanya atas perlakuan Dewa, menjadi dilema ketika Ndari mempertanyakan komitmennya untuk tidak mengusik lelaki yang diperebutkan teman-temannya. Lotna masih terngiang pembicaraan mereka saat berada di warung bakso di stasiun kereta api Kota Baru.
    Namun Lorna menepis pikiran yang tiba-tiba menjadi gangguan. Lebih baik membiarkan hubungannya  dengan Dewa mengalir. Sebaiknya harus lebih berhati-hati menjaga kedekatannya dengan Dewa agar tak mengusik teman-teman yang berniat mendekati Dewa.
    “Kenapa diam?”
    Lorna terkesiap.    Pertanyaan Dewa menyadarkannya dari lamunan.
    “Nanti Lorna minta Pak Karyo mengantarkan Dewa pulang.”
    “Aku akan pulang sendiri. Aku bisa gunakan taksi. Aku masih ingin ngobrol denganmu di rumahmu nanti kalau tak keberatan.”
    Lorna menatapnya senang.
    “Tentu tidak!”
    “Kamu tidak makan tadi.”
    “Dewa juga tidak. Hanya makan kacang. Mau makan di rumah atau kita cari makanan di luar?”
    “Ini sudah malam.”
    “Lorna bisa menelpon Mommy kalau Dewa ingin kita makan di luar.”
    “Aku tak lapar. Hanya ingin ngobrol.”
    “Apakah Dewa ingin ngobrol di luar? Bawalah Lorna kemana kalau mau ngobrol di luar.”
    “Lain kali saja. Kita ngobrol di taman belakang rumahmu atau di ruang tamu. Mami tentu menunggu.”
    “Ya, tapi tak cemas karena Lorna bersamamu. Lorna sudah bertelepon berkali-kali dengan Mommy.”
    “Di rumah ada minuman apa?” tanya Dewa.
    “Dewa mau minum apa? Anggur?”
    “Aku tak minum yang beralkohol.”
    “Mau dibuatkan kopi?”
    “Ada jahe?”
    “Nanti Lorna minta pembantu membuatkan.”
    Maka saat sudah berada di taman belakang rumah. Dewa menghadapi minuman jahe panas yang disuguhkan pembantu Lorna.
    “Mami sudah tidur?” tanya Dewa.
    “Ada dalam kamar. Dewa mau makan apa?”
    “Lorna lapar?” Dewa balik bertanya.
    Lorna menggeleng.   
    “Kamu harus makan. Makanlah nanti kutemani.”
    “Lorna akan minta dibuatkan makanan ke pembantu. Kita bisa makan disini.”
    Melalui hape Lorna minta kepada pembantunya makanan yang diinginkannya.
    Belakangan ini langit tak berawan. Langit cerah yang membuat udara terasa dingin. Lorna masih mengenakan jaket Dewa dan berniat melepaskan karena dirinya bisa menggantinya dengan pakaian hangat.
    “Pakai dulu sampai aku pulang.”
    “Dewa nanti kedinginan.”
    “Aku bisa tahan.”
    Tak lama kemudian pesanan makanan Lorna sudah diantarkan. Selanjutnya seperti yang pernah mereka lakukan di Taman Senaputra keduanya makan bersama di satu piring yang sama. Karena Lorna tak ingin perutnya banyak terisi bila malam segera menyudahi.
    “Kamu diet?”
    “Bukan diet. Menjaga dari kegemukan.”
    Setelah membersihkan mulut dan tangan keduanya duduk bersanding. Pertama memandang langit dengan bulan yang tak penuh. Lalu sekeliling yang terasa lengang dan sepi. Hanya suara katak dan jangkerik yang beraturan.
    Lorna menunggu suara Dewa yang dilihatnya tengah memikirkan sesuatu. Saat Dewa berpaling kearahnya, Lorna segera berpaling membalas. Keduanya lantas saling memandang.
    Lorna mengerenyitkan kening mengisyaratkan bahwa dirinya sedang menunggunya mengatakan sesuatu seperti yang tadi diutarakan ingin mengajaknya bicara.
    Keduanya masih saling memandang. Dewa menikmati wajah Lorna yang bersinar, dan Lorna bisa melihat wajah Dewa dari dekat hingga tahu persis kalau Dewa  memang memiliki wajah tampan dengan alis mata tebal, mata besar, hidung bangir, bentuk bibir yang bagus yang didukung dagu yang terbelah. Rambut yang panjang bergelombang yang sengaja dibiarkan untuk melindungi lahernya dari sergapan udara dingin.
    “Ada persoalan apa kamu dengan Ndari?”
    “What?” Lorna tersentakheran, meski suaranya lemah namun cukup menyiratkan rasa heran dengan pertanyaan Dewa seperti itu.
    “Aku hanya ingin tahu.”
    Lorna lantas menghubungkan pertanyaan itu dengan ketika Dewa memergokinya berdua berbicara di pertemuan di rumah Dewa tadi. Namun Lorna tak segera menanggapi. Ingin tahu maksud dari pertanyaan Dewa.
    “Aku hanya ingin memastikan.”
    “Memastikan apa?”
    “Tak ada yang ditutupi di antara kita.”
    “Apakah ada yang tertutupi antara Dewa dengan Ndari?”
    Dewa menggeleng.
    “Lalu apa yang dikatakan Ndari hingga membuat Dewa curiga ada persoalan antara Lorna dengannya?”
    “Aku tak bermaksud mencampuri dan mengganggu privasimu. Karena apa yang dimaksud Ndari menyangkut perebutan lelaki.”
    “What?”
    Lorna bingung.
    “Berebut lelaki?” tanyanya masih tak mengerti.
    “Dia bilang kamu bertengkar dengan Ratih.”
    Mata Lorna terbelalak sesaat sebelum meredup dan menghindari sorot mata Dewa. Namun Dewa menahan dagunya agar tetap dalam jangkauan tatapannya.
    “Apakah kamu enggan berterusterang?”
    Lorna diam beberapa saat sebelum menjelaskan hal sebenarnya yang terjadi antara dirinya dengan Ratih.
    “Lorna tak bertengkar. Semua itu salah paham saja. Saat itu Lorna hanya tak mengerti Dewa mengabaikan sapaan Lorna ketika Dewa bermaksud menemui Ratih di kelasnya. Lorna membuntuti Dewa. Menunggu di luar kelas di balik pintu. Lorna hanya mendengar apa yang terjadi pada saat itu. Selang kemudian Dewa keluar. Dewa tetap tak tahu Lorna dekat situ. Ratih keluar berniat menyusul Dewa. Tapi tertahan saat melihat Lorna. Lalu marah-marah. Beruntung datang Grace dan Rahma hingga tak berkepanjangan.”
    Dewa terkesima. Penjelasan Lorna membuatnya merasa bersalah. Meski kemudian langsung meminta maaf namun tak mengurangi perasaan itu.
    “Maafkan. aku hanya bermaksud mengklarifikasi keterangan Ndari.”
    Lorna mengangguk.
    “Ndari benar kalau Ratih-marah-marah padaku.”
    “Ya, tapi apa alasannya?” tanya Dewa kembali.
    “Lorna tak tahu.” jawabnya seraya melipat tangan dan mengangkat alis.
    “Ndari pikir kamu dan Ratih berebut lelaki.”
    “Kalau itu yang dia maksud. Dewalah lelaki yang Ndari maksudkan barangkali. Lantas siapa lagi?”
    Dewa menatapnya dalam.
    Lorna membalas lalu mengangguk untuk meyakinkan kalau maksudnya seperti itu.
    “Aku tak suka perempuan kasar.”
    Lorna tersenyum.
    “Katanya kamu tidak konsisten dengan pernyataan-mu?”
    “Dalam hal apa?”
    Sebenarnya Lorna enggan menjawab. Tapi pertanyaan Dewa terasa menyudutkan meski sudahminta maaf.
    “Jangan jawab kalau keberatan. Aku hanya ingin tuntas sampai tak ada lagi ganjalan.”    
    Lalu Lorna menjelaskan latar belakang ucapan Ndari kepada Dewa. Setelahnya Dewa kembali menjadi serba salah. Kemudian berdiri. Melemparkan gumpalan kertas tisu yang dipegangnya ke kegelapan sebagai bentuk kekesalan. Lorna terenyuh.
    “Aku salah membuatmu dimaki-maki Ratih...”
    “Tolong jangan diperpanjang masalah itu.”
    Lorna berdiri saat Dewa berpaling kearahnya.
    “Maafkanlah aku.”
    Lorna diam tak menjawab.
    Dewa menghampiri.
    “Maafkanlah aku.”
    Dewa melihat mata Lorna berkaca-kaca.
    “Maafkanlah. Aku tidak ingin Lorna kesulitan karena aku.”
    Lorna menggeleng lemah. Lalu menghapus air yang menggenang di sudut matanya.
    “Lorna senang Dewa sudah mendengar mendapatkan jawaban dari persoalan yang mengganjal perasaan.” kata Lorna dengan suara lembut.
    Dewa mengangguk. Menatap dalam matanya. Posisi berdiri merapat membuat keduanya seakan bisa merasakan gemuruh isi rongga dada masing-masing. Lorna sedang menunggu apakah Dewa akan menarik tubuhnya ke dalam pelukannya, atau dirinya yang akan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Dewa. Keduanya saling ragu untuk melakukan hal sama yang ada dalam pikiran keduanya. Namun hal itu tak terjadi.
    “Sebaiknya aku pulang. Aku akan naik taksi saja.”
    Lorna mengangguk lemah.
    “Apakah dengan demikian Dewa percaya padaku?”
    “Aku tak pernah tak percaya padamu. Aku tak pernah meragukanmu. Justru aku tak ingin ada keraguan di antara kita. Aku merasakan hal baik yang ada padamu yang tak bisa dipengaruhi siapapun. Aku hanya ingin menjagamu, Diajeng.”
    Lorna tersenyum bila Dewa memanggilnya Diajeng meski hatinya tengah terenyuh.
    “Boleh aku pulang, Diajeng?”
    Lorna mengangguk menjatuhkan butiran airmata yang sulit ditahannya.
    “Jangan bersedih.”
    Lorna menggeleng.
    “Diajeng senang Kakangmas sudah mengerti.” 
 jawabnya seraya mengembalikan jaket Dewa yang masih dikenakannya untuk dikembalikan ke pemiliknya.
    “Thank you, Kangmas!”
    Dewa tersenyum sembari memakai jaketnya diiringi tatapan Lorna yang merasa kagum pada ketegarannya.
    Melalui hape Lorna memesan taksi untuk keperluan Dewa pulang.
    “Besok mau kemari?” tanya Lorna saat taksi yang dipesannya datang.
    “Kuusahakan. Aku akan memperkenalkan orang yang akan membantuku nanti. Malam. Bye!”
    “Bye Dewa, makasih!”
    Setelah Dewa pergi. Lorna memandang ke langit yang gelap. Lalu berharap masalah yang dihadapi Dewa tak segelap itu. Karena kegelapan itu juga mempengaruhinya.
    Udara dingin kini baru dirasakan menyergap karena tak lagi memakai jaket milik Dewa.