Apakah keakraban mereka berdua pada saat ini sebagai cerminan telah terjalin tali cinta? Apakah perasaannya terhadap Dewa sebagai gambaran perasaan itu? Apakah dirinya mencintai Dewa? Apakah Dewa juga punya perasaan yang sama terhadapnya?
Pertanyaan tersebut muncul di benak Lorna saat meninggalkan kantor polisi tempat Dewa ditahan. Lorna merasa berat meninggalkan Dewa lantaran ada perasaan memiliki. Terbawa perhatian Dewa terhadap dirinya. Sehingga apa yang dialami Dewa turut merasakan.
Sebelumnya tidak pernah merasa tertarik pada teman pria. Tetapi belakangan ini perasaan tersebut muncul seiring kedekatannya dengan Dewa. Ataukah ini timbul akibat peningkatan hormonal kedewasaannya?
“Lama sekali?” tanya Rahma dan Grace ketika Lorna kembali ke bangkunya. Keduanya melihat mata Lorna seperti habis menangis hebat.
“Kamu habis dari kantor polisi melihat Dewa?”
“Oh!”
Lantas Lorna memberi penjelasan singkat setiap kali kedua temannya bertanya. Termasuk keinginan Dewa yang tidak menghendaki dirinya melaporkan balik ke polisi tentang perbuatan Timmy soal ban mobilnya.
“Memang kamu mau buat laporan?”
“Itu saran polwan yang ada disana.”
“Jadi apa rencanamu?” tanya Grace.
“Kita siap jadi saksi kalau kamu buat laporan,” kata Rahma memberi dorongan.
Lorna membelalakan matanya.
“Jangan bikin keruh!” sergah Lorna.
“Sori, Na. Kita sama sekali belum menjenguk Dewa,” kata Rahma. “Sebenarnya kita berdua menunggu kamu untuk ke sana.”
Keduanya juga tak berkeinginan pergi menjenguk Timmy di rumah sakit. Keduanya juga tak tahu apakah teman-teman sekelas telah menjenguk Timmy? Sejauh ini keduanya tidak mendengar selentingan niatan itu. Barangkali mereka enggan bila mengetahui ujungpangkal peristiwanya. Mereka menyadari perilaku Timmy yang salah.
Begitu pula teman-teman sekelas Dewa. Sejauh ini hanya Beny dan Ndari yang sudah beberapa kali membesuk Dewa. Barangkali sikap diambil teman sekelasnya yang lain sebagai akibat ketidakikutsertaan Dewa membela tim kelasnya di ajang Pentas Seni.
Itulah kenapa sepulang sekolah dengan ditemani Rahma saat ke rumah Dewa menjumpai Ndari sudah berada di sana.
Lorna yang telah merasa akrab dengan Ibu Dewa. Sembari meletakan makanan yang sengaja dibawanya langsung diterima dengan senang hati Ibu Dewa.
“Kang Masmu sudah tiga hari dua malam belum pulang. Katanya ada pekerjaan mendadak. Tapi kok yo aneh ora pamit Ibu.” kata Ibu Dewa pada Lorna.
“Iya, Ibu. Lorna juga dua hari tidak masuk sekolah. Kena flu.”
“Ibu buatkan minuman jahe ya?”
“Biarlah Lorna yang akan buat sendiri.”
“Terus bagaimana sekolahnya?” tanya Ibu seraya pergi ke dapor memaksa membuatkan minuman jahe buat Lorna.
Ndari memperhatikan Lorna sejak kedatangannya.Lalu menghampiri.
“Ibu tahu?” tanya Lorna kepadanya.
Ndari menggeleng.
“Jangan diberitahu.” kata Ndari.
“Ya. Lorna sudah tahu karena itu yang diminta Dewa.”
“Malam ini Dewa pulang.” kata Ndari.
Lorna terkesiap lalu memandangnya.
“Tahu dari mana?”
Ndari menjelaskan dengan singkat, berbisik takut didengar Ibu Dewa, bahwa ada yang menjamin Dewa keluar dari tahanan. Dia pensiunan pejabat polisi ketua group keroncong di mana Dewa sebagai anggotanya.
“Pulang sekolah tadi aku habis dari sana. Beliau sedang mengurus keluarnya Dewa saat aku ke sana tadi. Beliau menjaminkan dirinya. Aku yang ceritakan padanya ketika bertanya padaku perihal Dewa yang tak datang latihan keroncong.”
Ada perasaan lega tercermin di wajah Lorna. Namun juga ada perasaan cemburu bila melihat Ndari terlihat familiar dengan Ibu Dewa. Lorna baru menyadari bahwa Ndari terlebih dulu akrab dengan keluarga itu karena Dewa teman sekolah mulai dari sekolah dasar sampau sekolah menengah pertama.
“Bapak yang membantu Dewa itu siapa? Kok kamu tahu?” tanya Lorna penasaran.
“Tetanggaku. Kadang aku membonceng Dewa kalau dia ada latihan di sana sepulang sekolah.”
Lorna jadi mengerti. Itulah jawaban dari alasan kenapa melihat keduanya berboncengan sepeda. Lalu membuntutinya.”
“Apakah kamu mau menunggu Dewa?” tanya Ndari. “Aku harus pulang. Mungkin sebentar lagi Beny datang. Beny sering tidur di sini di kamar Dewa.”
“Ayo minum dulu,” ajak Ibu Dewa yang membawa nampan berisi minuman.
Rahma membantu membawakan makanan yang dibawa Lorna.
“Nak Ndari, minum dulu dan makan kue sebelum pulang.” Ibu Dewa memintanya duduk disempingnya. Terapit Lorna yang duduk di bangku sebelah kiri dan Ndari yang mengambil kursi di sebelah kanan. Rahma mengambil tempat di seberangnya.
“Salam ke Ibumu ya. Katakan, pesanannya belum selesai, tinggal nglorot. Ibu masih menunggu Dewa yang mengerjakan itu.”
“Tidak apa, Bude. Nanti Ibu saya beritahu. Pelan saja Bude. Tak perlu buru-buru.”
“Untung ada kalian. Tak ada Dewa rumah terasa sepi.”
“Tapi saya harus pulang Bude. Nanti keburu kemalaman. Keburu tak ada angkot,” kata Ndari seraya sungkem pada Ibu Dewa.
“Ya sudah begitu lebih baik. Ibu tidak bisa mengantar ke depan ya.”
“Kamu pulang naik apa?” tanya Lorna pada Ndari.
“Angkot.”
“Biar diantar mobil. Yuk kuantar ke depan. Ibu, Lorna mengantar Ndari ke depan dulu sebentar.”
“Ya ya ya cah ayu!”
“Aku disini saja menemani Ibu,” kata Rahma pada Lorna.
Ibu Dewa tersenyum.
“Diminum, Nak!” katanya pada Rahma.
Rahma mengangguk lalu mengambil cangkir di atas meja dihadapannya.
Lorna mengantar Ndari ke depan menemui Pak Karyo yang menunggunya dalam mobil.
“Pak Yo. Tolong antarkan teman Lorna pulang. Nanti dia sendiri yang akan menunjukan arahnya.” kata Lorna seraya membukakan pintu buat Ndari.
“Baik, Non!”
“Masuklah, Ndar!”
“Sebelum balik kemari. Tolong beli nasi di tempat langganan biasa untuk porsi tujuh orang.” kata Lorna seraya memberi uang untuk kebutuhan itu. Dia merasa perlu memesan makanan karena malam ini Dewa akan kembali pulang.
“Baik Non!”
“Makasih. Na!” kata Ndari sebelum jendela mobil ditutup.
Lorna tersenyum melambaikan tangan. Setelah itu kembal masuk ke dalam seraya menelpon Mami untuk memberitahukan situasinya.
“Jangan lupa makan dan minum obat.”
“Ya, Mommy. I love you, Mom!”
“I love you too, Honey!”
Untuk sesaat Lorna menengadah. Terbersit kelegaan pada wajahnya. Memandang langit yang kali ini cerah setelah beberapa hari diguyur hujan terus menerus. Bintang bertaburan menghias kegelapan. Belakangan suasana hatinya diselimuti kemurungan. Berharap masalah Dewa segera berakhir. Udara dingin terasa menggigit. Lorna sudah mengantisipasi mengenakan celana panjang, baju hangat dengan syal melindungi leher, serta sarung tangan berbahan wol.
Hal yang paling membahagiakan adalah saat melangkah di pintu masuk. Terdengar suara mobil berhenti di jalan depan. Dan tertangkap di telinganya suara Dewa dari dalam kendaraan itu.
Lorna berbalik dan melangkah mendekat untuk memastikan. Dugaannya benar. Untuk sesaat Lorna tertegun melihat Dewa turun dari dalam kendaraan. Menyusul kemudian sepasang suami isteri yang sudah berusia lanjut.
Dalam keremangan penerangan jalan yang temaram dekat pintu masuk. Keduanya lantas terkesiap saling memandang. Terlebih Dewa saat Lorna berdiri di hadapannya.
“Hai!” sapa Lorna.
“Oh, hai!” balas Dewa.
Lorna tersenyum terharu. Menganggukkan kepala memberitahu keberadaan di rumah bermaksud menemani Ibunya.
Dewa lantas memperkenalkan Lorna.
“Ini Lorna teman sekolah saya,” Dewa memperkenalkan. “ Lorna. Ini Bapak dan Ibu Bari.”
Lorna segera menyalami Pak Bari dan isterinya.
“Selamat malam!” sapa Lorna.
“Lho, bisa bahasa Indonesia? Saya kok baru melihat,” kata Bu Bari seraya memandang Lorna dengan seksama seraya memegang lengan Lorna.
Dewa tertawa renyah. Lorna tersipu.
“Lorna baru dua kali kemari, Bu Lik!” Dewa menjelaskan.
“Pantas! Kamu turunan Belanda ya? Matamu biru. Hidung mancung. Rambut keemasan. Sangat cantik!”
Lorna tersipu terus.
“Lorna lahir di sini. Ibunya asli Malang sini. Hanya bapaknya Australia,” Dewa menambahkan.
“Pantas...pantas. Gadis blasteran wajahnya selalu cantik,” Bu Bari memandang Lorna seperti tak ingin menyudahi.
“Monggo mlebet!” kata Dewa mempersilahkan Pak Bari dan Bu Bari.
“Bagaimana Ibu?” tanya Dewa,
“Keadaannya baik, De.” jawab Lorna dengan mata berkaca-kaca masih merasakah keharuan.
Pak Bari dan Bu Bari memandang Lorna seksama.
“Lho, Ibu tidak tahu?” tanya Bu Bari.
Lorna memandang Dewa yang langsung menjelaskan dengan singkat rencana dan alasan yang akan diberikan pada Ibunya kenapa beberapa hari tidak pulang.
“Pak Bari akan beralasan ketidakpulanganku diajak beliau ada acara main keroncong ke Semarang secara mendadak.”
Lorna mengangguk berusaha tersenyum, namun bola matanya berkaca-kaca.
“Terserah Dewa. Bagaimana baiknya.”
“Terimakasih, Na.”
Lorna tersenyum lagi.
“Lorna senang kamu bisa pulang. Terimakasih Bapak dan Ibu Bari yang mau menolong,” kata Lorna.
“Ah, sudahlah. Mas Dewa itu sudah kuanggap anakku sendiri. Itu sudah menjadi kewajiban,” sela Bu Bari.
Maka perjumpaan mereka dengan Ibu Dewa berlangsung dengan ceria. Pak Bari menjelaskan dan meminta maaf pada Ibu Dewa.
“Nyuwun pangapunten Mbak Yu!” kata Pak Bari kepada Ibu Dewa.
“Tidak apa-apa. Hanya saja, kok tak biasanya Dewa pergi kok tidak pamitan.”
“Saya mohon dimaafkan. Saya mau mandi dahulu,” kata Dewa di tengah pembicaraan mereka yang akrab.
“Silahkan terus dilanjutkan.”
Setelah acara Dewa selesai mandi. Lorna dan Rahma mempersiapkan makan malam yang dibeli Pak Karyo. Awalnya Dewa tidak mengerti melihat banyak makanan di atas meja. Lorna lalu menjelaskan dengan hati-hati agar tak menimbulkan kecurigaan Ibu.
“Lorna sengaja siapkan makan malam ini karena tahu Dewa malam ini akan pulang. Ndari yang memberitahu Lorna,” suara Lorna pelan.
Rahma menatap Dewa. Menurutnya sikap Dewa memperlihatkan seperti orang tak terlibat masalah.
“Sebaiknya segera kita makan malam. Mumpung masih panas,” kata Dewa.
Maka mereka makan malam bersama. Selain Ibu Dewa, semua yang hadir menutupi masalah yang sedang dihadapi Dewa. Ibu Dewa sudah akrab dengan keluarga Pak Bari. Apalagi Dewa jadi anggota grup keroncong Pak Bari sejak grup itu berdiri tiga tahun lalu. Dewa anggota satu-satunya paling muda. Pak Bari juga sering bertandang ke rumah itu. Selalu berhubungan dengan Dewa. Pak Bari tertarik dengan aktifitas Dewa di bidang kesenian. Apalagi belakangan sedang belajar melukis dari Dewa untuk mengisi waktu senggang di masa pensiunnya.
Setelah acara makan, Dewa memberi keleluasaan Ibunya bercengkerama dengan Pak Bari dan isterinya. Sementara dirinya duduk berkumpul bersama Rahma dan Lorna di ruangan lain.
Dewa tak lagi bercerita tentang kepulangannya. Dia menganggap Lorna sudah memahami. Hanya saja Dewa tak bisa menjawab ketika Lorna menanyakan bagaimana dengan sekolahnya. Sebab Lorna tahu akan ada sangsi dari sekolah terhadapnya seperti yang dikatakan Bu Kani. Apakah sangsi itu sudah dijatuhkan?
Dewa berusaha menjawab.
“Besok aku akan masuk. Bila tidak, Ibu akan bertanya. Lagi pula, kalau pun ada sangsi tentu ada surat pemberitahuan. Besok aku akan menghadap Bu Kani meminta kejelasan.”
Rahma diam mendengarkan. Biarlah Lorna dan Dewa saling bicara. Keduanya punya keterlibatan.
Lorna memperhatikan Dewa menunduk menatap lantai. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi wajahnya, masih nampak belum kering benar karena habis keramas. Aroma shampo terasa menyebar hingga lubang hidung Lorna.
Dewa menghela nafas.
“Na...” Dewa memanggilnya.
“Ya, De!”
“Terimakasih sudah menjengukku.”
Lorna tersenyum.
“Kamu masih belum sehat benar. Apa tidak sebaiknya kamu pulang. Kamu masih harus banyak beristirahat.”
Rahma memandang melihat reaksi Lorna .
“Kalau itu yang Dewa mau...” jawab Lorna.
“Aku tak mengusirmu.”
“Lorna tahu, Dewa.”
“Sungguh!”
“Iya, Lorna tahu. Lorna paham!”
Dewa ragu untuk mendebat.
“Kalau Lorna masih betah di sini, silahkan saja. Aku menyadari sakitmu. Penyakitmu bisa lekas sembuh kalau kamu banyak istirahat.”
“Ataukah Dewa yang mau istirahat?”
Dewa menatapnya tajam sejenak, kemudian bangkit keluar rumah. Berdiri di luat teras yang gelap. Lorna bangkit menyusulnya.
“I am sorry, Dewa.”
Dewa memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
Lorna mendekat. Berdiri mendampingi. Memandang iba.
“Dewa marah?”
“Aku hanya mau kamu terlihat sehat kembali,” jawab Dewa dengan suara lirih. Ucapannya terasa sejuk di hati Lorna.
“Jangan mencemaskan Lorna, Dewa.”
“Maksudmu aku harus mencemaskan diriku?”
Lorna tak langsung menjawab.
“Lorna yang mencemaskanmu.”
Dewa berbalik hingga keduanya berhadapan. Lalu saling memandang. Lama, saling membisu. Yang dilihat Dewa adalah wajah sendu dengan bola mata indah berkilat basah. Dan yang dilihat Lorna adalah wajah tegar dengan tatapan teduh dingin.
Ada getaran yang berjalan dari mata yang merembes ke dasar sanubari Lorna. Getaran yang ditimbulkan oleh berbagai unsur perasaan yang bercampur menjadi satu. Yang terasa demikian menyenangkan. Terasa demikian menenteramkan. Terasa demikian indahnya.
Apalagi saat jemari Dewa hendak bermaksud menyibakkan rambut yang mengganggu wajahnya. Jemari itu kemudian hanya tertahan beberapa senti dari kulit wajahnya. Membuat hati Lorna menjerit.
Teruskan Dewa. Sibakkan rambut yang lengket di pipi akibat airmata. Apa lagi yang kamu tunggu Dewa. Belai wajahku bila itu yang kamu mau. Rasakan betapa lembut kulit wajahku. Aku juga ingin merasakan kelembutan belaianmu. Ah. Tapi kenapa berhenti. Kenapa kau tahan.
“Pulanglah. Sudah malam,” suara Dewa berdesah seraya menurunkan tangannya yang tak jadi melakukan yang diinginkan Lorna.
Lorna menarik nafas. Kecewa. Wajahnya menunduk saat Dewa menunduk. Lalu menengadah saat Dewa melakukan hal yang sama. Saling memandang.
“Baiklah Lorna akan pulang...” ucap Lorna, suaranya halus.
“Terimakasih. Kamu baik sekali terhadapku.”
“Kamulah yang baik sekali kepadaku.”
“Aku tak berniat mengusirmu.”
“Lorna tahu. Dewa benar. Ini sudah larut malam. Lorna juga harus beristirahat. Dewa juga perlu istirahat.Apakah besok di sekolah kita bisa bertemu?”
“Besok jadwal perpustakaan buka. Aku akan menunggu di sana. Kamu tak perlu mencemaskan aku. Besok Pak Bari akan mendatangi sekolah membantu menyelesaikan permasalah yang kuhadapi.”
“Beliau baik sekali.”
“Ya, beliau baik. Meski sudah pensiun. Beliau punya banyak hubungan di kepolisian terutama banyak bekas anak buahnya berada pada posisi penting. Sesungguhnya aku tak ingin beliau melakukan ini. Aku hanya di posisi bertahan. Ah...”
“Ceritakan kejadiannya, Dewa.”
Dewa menggeleng dan memandang dengan senyum sejenak. Lalu berkata dengan suara berdesah.
“Kamu cantik.”
“Ah, Dewa. Apa maksudmu mengatakan itu?”
“Sudahlah! Pulanglah!”
“Dewa membuat Lorna tak bisa tidur.”
“Kenapa?”
“Dewa tak menjawab pertanyaan Lorna.”
“Sudahlah. Ayo, kuantar pamit ke Ibu. Rahma juga menunggu. Dia nanti curiga kita ada apa-apanya.”
“Memangnya kenapa kalau memang ada apa-apanya.”
“Aku bisa dimarahi Ibu,” suara Dewa lirih, nyaris berbisik.
Lorna tertawa kecil. Dewa suka tawanya. Giginya yang seperti mutiara, rapi berjajar enak dilihat. Lorna mengikuti langkah Dewa masuk ke dalam. Meninggalkan udara luar yang dingin berselimut keheningan.
Malam kian larut.