Selama Lorna tidak masuk sekolah lantaran demam flu. Banyak kejadian berlangsung menyangkut Dewa. Dan itu membuatnya shok saat mengetahuinya. Betapa tidak. Selama dirinya tidak masuk sekolah. Selama itu pula waktunya lebih banyak dihabiskan memikirkan Dewa. Membuat rencana untuk menormalkan kembali hubungan mereka selama ini yang dirasakan ada kesalahpahaman.
Tapi saat istirahat. Saat ada keinginannya untuk menemui Dewa. Saat itulah kedua temannya itu memberitahukan kalau Dewa dibawa ke kantor polisi dan ditahan disana lantaran terlibat perkelahian dengan Timmy yang berakibat Timmy harus dirawat di rumah sakit.
“Benarkah, Rah?” tanya Lorna dengan mata berlinang berusaha menahan isi dadanya yang tiba-tiba terasa mau meledak.
Rahma mengangguk.
“Kapan kejadiannya?”
“Sejak kamu tak masuk. Dua hari lalu.”
“Dia juga akan diskors dari sekolah.”
“Oh, no no no...”
Lorna lantas meledak tangisnya. Terisak-isak. Rahma dan Grace berusaha menenangkan. Tak mengerti kenapa sikap Lorna berlebihan sampai menangis segala.
“Apa masalahnya ?” tanya Lorna. Berusaha menahan tangis dan mengeringkan matanya yang basah.
“Sebaiknya kamu ke BP menjelaskan duduk perkara. Sebelum kamu dipanggil kesana. Mereka belum tahu kalau kamu sudah mulai masuk sekolah.”
Lalu Rahma menjelaskan singkat karena berita itu juga dia dengar dari cerita yang beredar. Bahwa pertikaian timbul sebagai akibat Dewa mengetahui kalau yang menggembosi mobil Lorna adalah Timmy. Dan itu membuat Dewa berpikir bahwa yang melakukan penyobekan pada ban sepedanya juga Timmy.
Setelah istirtahat berakhir. Dan semua sudah masuk ke dalam kelas. Tak lama kemudian Lorna mendapat panggilan ke ruang BP.
Jantung Lorna berdebaran saat melangkah menuju ruang Bimbinbgan dan Penyuluhan.
“Oh, Lorna. Ayo masuk. Silahkan duduk.” kata Bu Kani penanggungjawab BP.
Lorna lantas duduk. Putih matanya masih menyisakan warna merah akibat tangisnya. Tapi Bu Kani menyangka itu akibat belum sehatnya Lorna.
“Ibu tahu kamu belum sehat benar. Surat Mami mu sudah Ibu baca. Tapi demammu sudah lewat kan?”
Lorna mengangguk lemah.
“Ibu tahu kamu belum sembuh benar. Dan kamu masuk karena kamu tak ingin ketinggalan pelajaran.”
“Yang penting demam Lorna sudah lewat. Dan Lorna bisa mengatasi setelahnya.” sela Lorna.
“Masih minum obat kan?”
“Masih, Bu.”
Bu Kani tersenyum. Menatap Lorna sejenak. Lalu menghela nafas sebelum menjelaskan sesuatu yang baginya terasa sulit untuk memulai karena gadis cantik di hadapannya selama ini tak pernah mempunyai masalah di sekolah.
Lorna memandang sayu menunggu dengan sabar.
“Begini LOrna...”
“Lorna sudah mengerti alasan Ibu memanggil Lorna kemari.” sela Lorna tegas.
Ibu Kani mencoba tersenyum.
“Jadi kamu sudah tahu ada persoalan apa?”
“Sedikit dari teman-teman tentang Dewa.”
Bu Kani diam sesaat.
“Untunglah Mami kamu mengirim surat pemberitahuan kalau kamu sakit. Kalau tidak. Dua hari lalu saya akan pergi ke rumah kamu bersama anggota kepolisian untuk meminta keterangan masalah...”
“Ban mobil saya yang digembosi!” Lorna menyela lagi. Bola mata Lorna mulai berkaca-kaca. Jantungnya yang berdebaran sejak tadi kian terasa memukul-mukul dadanya.
Ibu Kani memandangnya.
“Kenapa kamu tidak menceritakan itu pada saya?”
Lorna tak langsung menjawab. Ada dilema yang dirasakannya. Tak ingin menyudutkan Dewa. Lalu mencoba mencari alasan.
“Karena sudah diatasi Dewa. Dia yang membantu menggantikannya dengan ban serep. Jadi Lorna pikir masalah sudah teratasi.”
“Kamu tahu siapa yang melakukan itu?”
Lorna menggeleng.
Lalu Ibu Kani beralih duduk di sampingnya. Membelai rambutnya. Lalu memegang punggung tangannya.
“Seandainya Ibu minta tolong kamu memberikan penjelasan ini kepada polisi, bersediakah kamu?” Bu Kani bertanya dengan lembut.
Airmata Lorna jatuh.
“Sesungguhnya Pak Polisi yang ingin meminta keterangan darimu. Tapi saya mencegahnya dengan alasan kamu sedang sakit. Pak Polisi percaya setelah kuperlihatkan surat dari Mamimu.”
Lorna menghapus airmatanya.
“Sedemikian rumitkah persoalannya sampai Lorna harus kesana?”
“Apakah kamu perlu menelepon Mami mu untuk ikut mengantar ke kantor polisi?”
Lorna ragu sesaat.
“Hanya untuk memberi keterangan saja kan, Bu?” tanya Lorna untuk menghilangkan kecemasan.
“Kamu menjadi tanggungjawab saya, tanggungjawab sekolahan. Kamu korban, Lorna. Keterangan kamu diperlukan untuk meringankan tuduhan pada Dewa.”
Lorna terhenyak.
“Apakah...”
“Ya, Dewa ditahan di kantor polisi.”
“What! Oh!”
Lorna kembali menangis. Ibu Kani berusaha menenangkannya.
“Keteranganmu yang bisa meringankan Dewa dari ancaman tuduhan melakukan kekerasan terhadap Timmy.”
“Lorna pikir Dewa tidak bersalah.”
Bu Kani meremas kembali pungung tangannya.
“Dewa telah membuat wajah Timmy babak belur. Dan membuat tulang keringnya mengalami retak.”
“Oh!”
“Apakah kamu telah siap pergi ke sana memberikan keterangan?”
Lorna mengangguk lantaran ingin meringankan beban Dewa. Bila perlu keterangannya bisa menjadi bahan pembelaan.
“Hapuslah airmatamu. Saya akan menelpon dulu ke petugas yang menangani kasus ini sebelum menemuinya, sekalian meminjam mobil kepala sekolah buat pergi kesana.”
Ini adalah saat yang membuat hatinya mengalami perasaan paling sedih selama hidup. Betapa lelaki yang demikian baik terhadap dirinya mengalami lagi kepahitan seperti ini. Timbul kecemasan saat memikirkan bagaimana keadaan Ibunya dalam menghadapi masalah yang menimpa anaknya. Lalu siapa yang akan mengurus Ibunya saat Dewa ditahan?
Pikirannya benar-benar berkecamuk selama perjalanannya ke kantor polisi dalam rangka untuk memberikan keterangan yang diminta polisi.
“Biar urusannya lekas selesai.” kata Bu Kani.
“Tapi bila Dewa ditahan kenapa masih harus diskorsing?” tanya Lorna.
“Itu tuntutan orangtua Timmy. Disamping sekolah juga harus menerapkan peraturan.” jawab Bu Kani dengan nada berat.
Maka di hadapan petugas yang ramah Lorna memberikan semua keterangan yang diperlukan.
Saat dirinya dimintai keterangan. Lorna menjadi menarik perhatian banyak polisi karena kcantikannya. Terutama beberapa polwan yang berusaha membantu.
“Bolehkan saya melihat teman saya, Bu?” tanya Lorna pada seorang polwan di dekatnya setelah acara pemberian keterangan selesai.
“Saya mau memberikan ini.” Lorna menunjukkan bungkusan.
“Apa itu?” seorang polwan bertanya.
“Makan siang.” jawab Lorna.
Polwan tersebut lantas membuka untuk memeriksa sebentar. Lalu membungkusnya kembali.
“Roti lapis, buah dan sebatang coklat.” kata polwan yang berusaha ramah pada Lorna. Lalu mengajak Lorna ke ruangannya. Meninggalkan Bu Kani masih berbicara dengan petugas yang menangani kasus Dewa.
“Adik tunggu disini. Saya akan panggilkan.”
Lorna lantas menunggu Dewa dipanggil. Meski para petugas yang dihadapinya sudah bersikap ramah dan santun, dirinya masih terasa tidak nyaman berada di kantor polisi.
Dirinya hanya mencemaskan Dewa dan Ibunya yang sudah tentu tinggal sendiri di rumah. Lorna harus pergi ke sana untuk melihat Ibunya.
Tak lama kemudian polwan yang memanggil Dewa telah kembali. Dibelakangnya menyusul Dewa yang untuk sesaat terkesima melihat Lorna berada dalam ruangan itu.
Lorna berusaha bersikap tenang meski hatinya terenyuh melihat keadaan Dewa yang tetap menunjukkan sikap tegar.
“Hai!” sapa Lorna lembut dengan suara parau akibat tercekat. Airmata yang berusaha dikeringkan tumpah lagi.
“Hai...” Dewa membalas. Suaranya terdengar lunak. Memandang Lorna yang berusaha menyembunyikan kesedihan dengan senyum. Tapi airmata yang bergulir di dinding pipinya tak bisa menyembunyikan itu.
Polwan Nani pemilik ruangan tak bisa pergi dari ruangan karena harus mengawasi keberadaan Dewa, yang menjadi tanggungjawabnya. Namun keberadaanya tidak ikut campur pada pertemuan kedua remaja itu.
“Maafkanlah aku...” kata Dewa.
Lorna menggeleng lemah seraya mengulurkan tangan. Lalu meletakan sebuah bungkusan dihadapannya. Dewa tahu apa isi bungkusan itu.
“Semua ini karena Lorna ya?” kata Lorna.
“Hei! Hei!” sergah Dewa tidak ingin Lorna menyalahkan dirinya sendiri. “Jangan menyalahkan dirimu. Aku berada disini, itu artinya kesalahanku.”
“Tapi, itu akibat Dewa membantu Lorna.” Lorna berkilah. Mengisak. Sesekali menghapus airmatanya yang sulit dibendung. “Lorna minta maaf ya Dewa? Lorna baru mengetahui Dewa berada di sini tadi pagi, baru tahu kejadiannya hari ini. Lorna juga baru masuk hari ini. Dua hari Lorna minta ijin tak masuk sekolah karena demam. Tapi Lorna sudah minum air jahe.”
Setelah mengatakan itu Lorna terisak-isak kembali.Teringat ucapan Dewa tersebut saat mengantarkannya ke mobil di bawah guyuran hujan. Itu saat terakhir keduanya bertemu sebelumnya. Dan Dewa merasa diingatkan kembali ucapannya yang memintanya agar minum wedang jahe hangat biar tak kena flu. Dewa terpaku memandangnya. Karena gadis bermata biru itu masih saja terkena flu. Dan belum sembuh benar. Terlihat masih mengenakan sweter tebal. Dewa Tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan perasaan gadis bermata biru itu.
Sementara Polwan Nani yang menyimak keduanya pada akhirnya tidak bisa menahan emosinya untuk tidak ikut terlibat. Dia berkesimpulan kalau antara dua remaja itu seperti menjalin hubungan khusus. Lalu dia mendekati Lorna. Gadis cantik bermata biru. Lalu mengelus punggungnya. Membelai rambutnya.
“Ban mobil yang digembosi keadaannya bagaimana?” dia bertanya.
“Masih dalam bagasi mobil.” jawab Lorna.
“Ada saksi saat kejadian itu?”
Lorna mengangguk.
“Rahma dan Grace.” jawab Lorna seraya memandang Dewa sebelum menyebut nama Beny.
“Ada Beny, teman sekelas Dewa.”
Polwan Nani memandang Dewa.
“Kalian tidak satu kelas?”
Lorna menggeleng. Itu sudah mewakili jawaban Dewa meski diam tak menjawab.
“Saya sarankan. Adik bisa melaporkan si pelaku yang melakukan itu.”
“Tapi saya tidak melihat pelakunya.” Lorna ragu.
“Ada saksi tukang becak yang melihat pelaku yang menggembosi ban mobilmu. Dia sudah dimintai keterangan.”
“Siapa pelakunya, Bu?” Lorna bertanya penasaran.
“Timmy!”
Lorna memandang Dewa. Ingin tahu reaksi Dewa yan menggeleng pelan. seakan mengisyaratkan agar Lorna tak melakukan itu. Tidak ingin Lorna telibat jauh.
Lorna menggigit bibir bawahnya. Bimbang.
“Jangan...” suara yang keluar dari mulut Dewa lemah sekali.
Tiba-tiba Bu Kani masuk ruangan.
“Bagaimana? Sudah?” tanyanya. Dia diiringi petugas yang menangani kasus Dewa.
“Dewa. Kamu harap bersabar. Kamu murid yang saya nilai baik. Cobalah menahan emosi.” kata Bu Kani.
“Dalam BAP nya, Dia hanya berusaha bertahan, Bu.” kata petugas yang menangani kasusnya.
“Baiklah. Lorna harus kembali ke sekolah. Nanti bisa kemari lagi. Bagaimana Lorna?”
Lorna mengangguk. Airmatanya tumpah lagi saat Dewa mendekatinya dan berbisik ke dekat telinganya.
“Tolong jangan sampai Ibu tahu masalahku.”
Lorna mengangguk memberi keyakinan agar Ibunya jangan sampai tahu masalahnya.
“Ya, De!”
Meski menyayangkan dirinya terlambat mengetahui masalah yang menimpa Dewa. Berharap jangan sampai ada yang memberitahukan hal itu.
“I am Sorry Dewa! Maafkanlah Lorna. Lorna akan ke rumah menemui Ibu. Dewa perlu apa, biar nanti Lorna bawakan?”
Dewa menggeleng.
Lorna memberanikan diri memegang pergelangan tangan Dewa.
“Kamu baik-baik di sini?”
Dewa mengangguk.
“Jangan mencemaskan aku. Kamu masih belum sembuh benar. Kamu masih harus banyak istirahat.”
“Thank you. Lorna harus kembali ke sekolah.”
“Kembalilah!”
Lorna nampak berat meninggalkan tempat itu. Dewa membalas tatapan Lorna yang tak lepas-lepas kepadanya.
“Bye, Dewa!”
“Bye...” balas Dewa tanpa suara.
“Makanlah itu ya?”
Dewa mengangguk.