024. Lorna Sakit

Mami cemas melihat putih bola matanya memerah.  Dia pikir hal itu akibat demam, karena saat memeluk dan merasakan badan puterinya terasa hangat.
    Lorna sendiri berusaha menutupi apa yang tengah terjadi. Enggan makan. Memilih membenamkan diri di dalam kamar.
    Mami mencemaskan sakitnya.
    “Mami panggil dokter ya?”
    “No..Mommy! Lorna minta dibuatkan minuman ginger hangat.”
    “Okey, Mami buatkan, tapi Mami suapin sup hangat dulu ya?”
    Lorna tak menolak.
    Maka Lorna makan sup yang dibawa ke kamarnya. Mami menyuapi perlahan.
    “Apakah besok ada ulangan?”
    Lorna menggeleng.
    ”Kalau begitu tak usah masuk. Nanti Mami buatkan surat ijin, biar Pak Yo besok yang akan mengantarkan ke sekolahmu.”
    Lorna lalu bermaksud meredakan kegalauan hatinya dengan membenamkan wajah ke dalam bantal. Bayangan Dewa di luar jendela kendaraan yang terguyur hujan masih terasa jelas di pelupuk matanya.
    “Tidurlah, Honey. Kamu memang harus beristirahat,” bisik Mami saat melihatnya memeluk bantal. Lantas menyelimuti dan mencium samping pipinya dengan lembut, "Perlu Mami temani?"
    Lorna menggeleng.
    “I love you, Honey.”
    “I love you Mommy.”
    Dirinya ingin privasi. Dirinya ingin menyendiri. Dirinya benci dirinya sendiri saat membiarkan Dewa berdiri kehujanan mengawasinya berlalu dari hadapannya. Jadi saat sendiri, tidak ada Mami di sampingnya bisa bebas menumpahkan kesedihannya.
    Memasuki jenjang SMA dirasakannya memasuki riak kehidupan sebagai gadis yang berangkat dewasa.  
    Dia rasakan betapa perasaanya tak bisa dimanipulasi sesungguhnya menginginkan kehadiran seseorang yang bisa menjadi hal yang spesial. Perasaan yang tak pernah hadir sebelumnya, yang kini kian terasa. Tapi sejak kapan perasaan itu pertama kali muncul.
    Setelah berusaha dirunutnya. Perasaan itu terbit pada masa orientasi berlangsung. Sejak dipertemukan dengan lelaki berwajah dingin yang kemudian seolah jadi takdir, dipertemukan di kala dirinya butuh sesuatu. Takdir itu sepertinya ada pada sosok Dewa.
    Tak bisa diingkari bila setiap hari seperti tak pernah terlewati bayangan Dewa melintas dalam pikirannya, entah sengaja atau teringat akan sesuatu dengannya.
    Banyak kejadian yang memunculkan bahan yang bisa ditulisnya ke dalam buku hariannya. Ada banyak bahan yang bisa dicatat agar suatu saat bisa menerbitkan kerinduan setiap kali membacanya kembali, hingga bisa merenungkannya berlama-lama, atau tersenyum sendiri, bahkan tak jarang membuatnya digenangi airmata.
    Seperti malam ini. Saat hujan telah berhenti, saat udara dingin membeku melengkapi sunyinya malam, dan suara serangga di permukaan tanah menyeruak teratur, menggenapi kesepian yang mencekam.
    Matanya kembali basah bila mengingat upaya Dewa dalam meminta maaf. Seiring senyum dibibir bila mengingat upaya Dewa menarik tangannya ke samping rumahnya, dimana dirinya tak berdaya menuruti. Lalu mendengarkan pendapat Dewa yang tak suka dirinya memakai make up. Lalu keduanya saling menatap lama. Lorna tertawa sendiri, demikian gila mau saja setiap hari membawakan bekal makan siang berlebih, yang sengaja dia peruntukan Dewa. Entahlah apa yang mendorongnya bersikap seperti itu. Apakah lantaran perasaan kasihan selama ini memperhatikannya tak pernah terlihat pergi ke kantin seperti yang dilakukan teman-temannya untuk makan siang atau beli minuman. Setahunya, Dewa tak pernah membawa bekal makan siang, tidak sebagaimana kebiasaanya menghindari jajan sembarangan.
    Lorna turun ke ruang makan yang berada di bawah. Meminta pembantunya membuatkan spagetty. Sisa sup yang tak dihabiskan saat disuapi Mami diletakkan di atas meja.
    “Mau dihangatkan sosis, Non?”
    “Boleh, Bik.”
    “Mau minum jahe lagi, Non?”
    Lorna mengangguk. Ingat minum jahe jadi teringat Dewa karena dia yang menyarankan agar dirinya minum itu sepulang sekolah tadi siang. Dewa seperti tahu dirinya akan mengalami demam sebagai gejala flu.
    “Sweetheart!” Tiba-tiba Mami sudah berada di belakangnya dan memeluknya dengan hangat. Membelai rambutnya.
    “Bikin apa?” tanyanya.
    “Nonik minta spagetty, Nyonya.”
    “Tolong bikinkan aku juga!” Mami menyibakkan rambut Lorna ke belakang telinga.
    “Baik, Nyonya!”
    “Minum bodrex ya, Sayang?”
    Lorna diam artinya tidak menolak.   
    “Mom...” Lorna menatap keluar jendela menghadap taman belakang rumah. Lampu-lampu sudut menerangi suasana taman. Pohon dan dedaunan nampak basah.
    “Ya, Honey?”
    “Lorna pingin di belakang ada kolam ikan. Ada bunga teratai di tengahnya. Ada perdu. Ada ikan yang berkeliaran di dalamnya.”
    “Lalu siapa yang akan mengerjakan? Mungkin bisa minta pendapat Pak Yo.”
    Lorna menatap Mami.
    “Lorna sudah tahu orang yang bisa mengerjakan.”
    “Siapa?”
    “Temanku. Dewa!”
    Mami mengerenyitkan kening.
    “Kamu yakin?”
    “Itu salah satu pekerjaannya.”
    Mami membantu menyiapkan piring untuk spagetty yang sudah selesai dimasak sembari mencari tahu alasan puterinya kenapa mesti temannya itu yang harus mengerjakan.
    “Nyonya juga mau dibuatkan wedang jahe?” tanya Bik Inah.
    “Aku mau wine. Biar kuambil sendiri.”
    Keduanya lantas mulai menyantap spagetty sambil berbincang. Lorna makan dengan perlahan. Sikapnya yang lembut membuat Mami mengikuti iramanya.
    “Kapan bisa mulai dikerjakan?” tanya Mami.
    “Ini masih banyak hujan. Lagi pula dia mengerjakannya tak bisa penuh. Barangkali waktunya akan menyesuaikan kegiatan sekolahnya.”
    Mami menuangkan redwine ke dalam gelasnya.
    “Mami ingin tahu maksudmu memberikan pekerjaan itu padanya.”
    Lorna tak menjawab, hanya tersenyum sesaat seraya menatap sejenak.
    “Dia tak punya Ayah. Tinggal dengan Ibunya. Dia sebagai kepala keluarga, tak punya saudara.”
    Mami memandang Lorna dengan mata sayu.
    “Maksudmu sepertimu?”
    Lorna mengangguk.
    “Ya! Seperti Lorna tak punya saudara kandung.”
    Wajah Mami mencerminkan perasaan sedih.
    Lorna tidak bermaksud menyinggung persoapan kenapa Maminya tak bisa lagi melahirkan.
    “I am sorry, Mommy!” Lorna meminta maaf.
    “Ah, Honey. Mami yang harus minta maaf padamu,” sela Mami.
    “Kalau kolam itu selesai, Lorna pingin mengadakan pesta kebun, mengundang teman-teman,” kata Lorna mengalihkan pembicaraan.
    Mami tersenyum.
    “Mami pikir itu gagasan yang baik. Bagaimana kalau direncanakan kolamnya selesai menjelang ulang tahunmu?” Mami memberi saran.
    Lorna menggeleng.
    “Ulang tahun masih dua bulan lagi. Sedang Lorna belum bisa memastikan, karena belum menghubungi Dewa.”
    “Kalau dia tidak bisa, coba cari orang lain.”
    Lorna menatap Mami. Mami tak tahu pikirannya. Dia inginkan kolam agar Dewa bisa punya pekerjaan. Pembuat kolam hanya bila Dewa yang mengerjakan. Selain dia, tidak. Tujuannya membantu Dewa. Disamping ingin karya Dewa. Ingin bisa lebih dekat dengan Dewa.
    “Okey. Up to you!” kata Mami seakan memahami keinginan puterinya.