023. Kesal Melihat Pertikaian

Hari keberuntungan kini telah berubah menjadi mengesalkan. Selama ini dirinya telah mencoba bersikap baik dan penuh perhatian, namun pada kenyataannya kian membuat hatinya terpuruk.
    Betapa tidak, Dewa yang diharapkan akan berpihak padanya dalam kenyataan tak seperti keinginannya, bahkan membuatnya kemudian mengambil sikap untuk menjaga jarak dan menghindar.
    Kenyataan itu yang kemudian dirasakan Dewa. Lorna tak pernah datang mengunjungi rumahnya yang ingin mengembalikan sanggul. Apalagi beberapa kain kebaya yang dipesannya sudah rampung diselesaikan Ibunya.
    Dewa berusaha menemui Lorna, namun Lorna nampak enggan menemuinya. Dan Dewa merasa ada kemarahan pada diri gadis itu.
    Hujan kecil masih turun sejak pagi hari. Biasanya hujan rintik-rintik seperti itu berlangsung lama.
    Saat istirahat Dewa mendatangi di kelas Lorna untuk menjumpainya dan berbicara empat mata, mengurai ketidaknyamanan hubungan keduanya belakangan.
    Rasa bosan mengalahkan ketidaknyamanan berada di luar yang serba basah dengan udara dingin dari pada terus menerus berada di dalam kelas saat istirahat.
    Grace dan Ragma memutuskan pergi kekantin untuk memncari makanan. Keduanya tahu Lorna selalu membawa perbekalan sendiri dari rumah. Karena itu memutuskan meninggalkannya di dalam kelas.
    Lorna terpana saat Dewa muncul dari balik pintu. yang terlebih dulu berpapasan dengan Rahma dan Grace. Kedua gadis itu mengerti ada persoalan antara keduanya maka memberikan keleluasaan keduanya bisa saling bicara tanpa ada yang mengganggu.
    “Hai!” sapa Dewa lunak.
    Lorna yang tak menyangka Dewa mendatangi kelasnya menjadi salah tingkah.
    Dewa masuk ke dalam kelas Lorna yang mulai kosong. Dewa sempat berpapasan dengan Ronal dan gangnya tanpa menegur.
    “Hai!” Dewa menyapa Lorna lagi.
    “Hai...” Lorna membalas tanpa memandang. Suaranya lunak.
    “Bisa kita bicara sebentar?”
    Lorna nampak enggan menjawab.
    Dewa menarik nafas.
    “Maafkanlah aku bila membuatmu kesal.”
    “Kenapa Lorna harus kesal?”
    “Aku sendiri juga tak tahu. Hanya aku merasakan sikapmu belakangan....”
    Lorna menggeleng. Matanya melihat ke luar jendela. Hujan masih turun. Dewa melihat bola mata Lorna yang jernih berkilatan memantulkan cahaya. Gadis itu nampak berusaha menahan agar matanya tidak basah.
    “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Dewa lembut.
    “Lorna baik-baik, Dewa.”
    “Aku tahu kamu sedang sedih.”
    Lorna menggeleng.
    “Mungkin marah.”
    Lorna menggeleng.
    “Lalu apa?”
    Lorna berpaling perlahan memandangnya. Keduanya lantas saling memandang lurus.
    “Tolong tinggalkan aku sendiri, Dewa?” ucapnya lirih.
    “Sori. Kalau aku menyita waktu istirahatmu. Atau kita pergi mencari makanan dan minuman ke kantin sambil bicara?”
    Lorna memaksakan diri tersenyum seraya menggeleng. Senyum itu sesungguhnya memaknai ucapan Dewa yang menurutnya aneh, karena tak biasa Dewa pergi ke kantin, terlebih Lorna selalu menyiapkan makanan sendiri dari rumah.
    “Atau kamu buka bekalmu kita makan berdua disini” kata Dewa memaksa.
    Lorna menggeleng.
    “Pergilah, De!”
    Namun Dewa enggan beranjak. Dia memaksakan diri untuk mencari tahu alasan sikap Lorna.
    “Pergilah De...tinggalkan Lorna...”
    Ucapan Lorna yang bersikeras agar Dewa meninggalkannya direspon Timmy dan Ronal yang kembali ke dalam kelas.
    Keduanya tanpa panjang lebar, juga lantaran sudah terpicu perasaan tidak senang terhadap Dewa memaksa Dewa keluar kelasnya sehingga memancing keributan.
    Lorna terpukau seperti yak berdaya saat ketiganya terlibat baku hantam, dimana nampak Ronal dan Timmy mengeroyok Dewa. Dilihatnya Dewa mampu menghadapi keduanya sebelum Lorna tersadar lalu berteriak melerai. Dewa dalam posisi mempertahankan diri. Dia tak memulai keributan.
    “Hentikan!” teriak Lorna.
    Dewa tercengang melihat ke Lorna yang silih berganti memandang dirinya, Ronal dan Timmy. Sesaat kemudian berlari kecil keluar kelas. Dewa bergegas mengejar.
    “Lorna!”
    Lorna tak menanggapi panggilan Dewa.
    “Lorna, tunggu! Maafkanlah aku!”
    Namun Lorna tetap berlari menjauh. Hatinya kacau. Apakah dia marah pada Dewa? Apakah dia marah pada Ronal dan Timmy yang didepan matanya sengaja mendorong tubuh Dewa agar menjauhinya, kenapa kedua teman sekelasnya itu tiba-tiba mencampuri urusannya dengan Dewa? Padahal apa yang terjadi antara dirinya dengan Dewa masih dalam batas kewajaran.
    Bagi Lorna yang penting pergi menjauh. Tak ingin ada keributan melibatkan dirinya terulang seperti yang pernah terjadi di depan kelas Ratih. Lorna juga tak peduli bila kemudian bakuhantam itu akan terus berlanjut. Namun hatinya lega Dewa lebih mempedulikannya. 
    Karena tidak ingin menarik perhatian, maka Dewa membiarkannya menghilang dari pandangan. Dia pun mengabaikan Ronal dan Timmy yang masih berupaya memprovokasinya.
    “Pengecut!”
    Dewa mendengar memakian Ronal di belakang. Tapi berusaha tak terpancing emosi. Dan hanya berusaha mencari alasan kenapa kedua teman Lorna bersikap seperti itu terhadapnya.
    Hari ini sanubari Lorna benar-benar murung. Dan itu diperhatikan oleh Rahma dan Grace, kemurungan itu kian menjadi setelah Lorna bertemu dengan Dewa.
    “Ada apa sih?”
    Lorna tak menyimak pertanyaan Rahma. Sibuk berkutat mencatat yang diterangkan guru. Walau pikirannya sesungguhnya sedang semrawut.
    Berbeda dengan Dewa yang penasaran atas sikap Lorna yang berubah. Karenanya, saat bel pulang berbunyi, langsung bergegas menghadangnya di gerbang sekolah.
    Lorna sesaat ragu, begitu tahu melihat Dewa berdiri di pintu gerbang, lantas menghentikan langkahnya. Namun kemudian melanjutkan langkahnya kembali dengan langkah perlahan.
    Meski dari kejauhan, Lorna bisa merasakan gambaran wajah yang membuat hatinya terasa tertikam, dan tak sampai hati memandangnya. Apalagi saat hujan gerimis kembali mulai turun, Dewa masih tak beranjak untuk berteduh. Sementara Lorna tak terhalang gerimis karena sudah menyiapkan payung.
    Bola mata Lorna basah berkaca-kaca, Bukan terkena air hujan, namun akibat curah hujan berlangsung dalam sanubarinya.
    Saat berada dekat. Lorna menghentikan langkah karena Dewa tiba-tiba sudah berada di bawah payung bersamanya. Rambut dan wajahnya yang basah juga baju bagian atas tak menyurutkan menghadapi Lorna.
    Kedua wajah keduanya berjarak beberapa senti, Lorna bisa merasakan kebasahan pada wajahnya. Dewa seakan bisa merasakan keharuaman dan kehalusan wajah Lorna.
    “Maafkanlah bila aku bersalah. Aku hanya ingin tahu alasan sikapmu seperti ini terhadapku.”
    Lorna tak berani memandang Dewa dengan berbagai alasan. Terlebih saat bola matanya sudah digenangi airmata membuatnya juga tak dapat dengan baik mencermati ekspresi wajah Dewa.
    “Baiklah. Lorna tak usah memaksa menjawab, biarlah itu akan jadi pertanyaan dalam pikiranku? Yang penting aku mohon maaf bila telah ingkar janji. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku bisa menebusnya bila itu bisa melegakan perasaanmu.”
    Lorna tetap diam tak bergeming. Bulumatanya yang panjang dan tebal, basah digelayuti air mata. Bibirnya nampak gemetar berusaha menahan tangis. Dadanya terasa sesak.
    Lorna tak bisa mengelak saat Dewa mengambil alih payung dan mengiringi langkahnya menuju kendaraan yang sudah menunggunya. Dewa yang membuka pintu kendaraan melindungi Lorna dari hujan saat masuk ke dalam mobil.
    Sementara Dewa Membiarkan dirinya diguyur hujan yang semakin deras.
    “Minum air jahe hangat biar nggak kena flu.”
    Dewa menyempatkan mengatakan itu sebelum menutup pintu mobil setelah Lorna sudah nyaman duduknya. Sembari tetap mengawasi sampai mobil Lorna lenyap ditelan lebatnya hujan.
    Meski tak memperhatikan langsung, namun dari ekor matanya, setidaknya Lorna menangkap wajah Dewa yang tegar berdiri di bawah guyuran hujan.
    Manakala Dewa telah lenyap dari pandangannya, maka tangisnyapun lantas tumpah seperti derai air hujan yang kian lebat. Hanya kabut hujan selayang pandang yang mengguyur bumi menutupi pandangannya.
    Wajahnya dijatuhkan di atas lutut, pada akhirnya Lorna merasakan kepedihan setelah menyadari sikapnya yang berlebihan mengabaikan lelaki itu.
    I am sorry Dewa. Lorna tak bermaksud mendiamkanmu. Lorna tak tahu bagaimana mengambil sikap. Wajahmu Dewa, wajahmu menciptakan kepedihan dalam hatiku. Itu yang membuatku sulit membalas tatapanmu. Kenapa kesialan itu selalu terjadi di depan mataku? Bukanlah Lorna tak mau bicara. Tapi mulutku seperti terkunci, Dewa. Lorna ingin bicara. Ingin menjawab setiap pertanyaanmu. Tapi kenapa semuanya jadi terasa sulit? Kenapa kamu yang harus meminta maaf? Untukmu, tak ada yang perlu dimaafkan, Dewa. Kamu demikian baik. Memberi banyak kebaikan dan perhatian. Lorna seperti jahat padamum dan tak semestinya bersikap begitu.
    Sementara petir di langit sesekali meledak memecah keheningan dalam kendaraan. Suara deru lebatnya hujan tertelan kerapatan jendela kaca. Hanya embun yang memburamkan kejernihannya.