Ada hal yang masih sulit dipahami Lorna, kenapa Dewa tidak mau berurusan dengan Pesta Seni di sekolah? Bila melihat kelebihan yang ada padanya sesungguhnya tidak ada alasan siapa pun untuk tidak menyertakannya dalam setiap kegiatan mengenai seni. Dan setelah dia cari tahu alasannya, ternyata jawabannya karena itu keinginan Dewa sendiri, tapi apa pun alasannya. Banyak yang sangat menyayangkan tak hanya siswa maupun para guru, sebab mereka ingin tahu Dewa tampil.
Hasil Pentas Seni menempatkan Lorna sebagai favourit, menyisihkan tim yang berasal dari kelas Dewa, dan itu yang membuat teman-teman satu kelasnya sangat kecewa terhadapnya. Terlebih saat mereka tahu bahwa kesuksesan yang diraih tim Lorna berkat bantuan Dewa. Sehingga hal itu menimbulkan prasangka bahwa Dewa berusaha menarik perhatian gadis bermata biru itu dengan memberi bantuan berupa pelatihan instan. Lorna pun kini merasakan akibat kepopulerannya membuat privasinya terganggu. Berkali-kali harus berganti nomer karena ada banyak SMS cinta yang nyasar padanya. Sehingga dia putuskan untuk mencari ponsel lain khusus mempertahankan nomer yang sifatnya pribadi.
Hingga hari itu hari Sabtu. Mendung berlangsung sejak gelap pagi. Tanah dan pepohonan basah karena hujan gerimis yang turun merata. Memaksa setiap mereka yang bepergian harus membawa payung. Ditambah udara dingin yang terasa menyergap, bagi yang tak tahan harus mengenakan jaket.
Lorna mengenakan sweter abu-abu berbahan wol terbuat dari bulu domba asli hasil dari peternakan milik keluarga di Australia.
Hampir dua Minggu dirinya tak bertemu dengan Dewa. Seperti biasanya, waktu dan kelas yang berlainan yang membuat seperti itu. Hanya keberuntungan saja keduanya bisa bertemu tanpa sengaja. Lantaran Sudah beberapa kali Lorna mencoba menemuinya namu tetap tak berhasil. Padahal Dewa telah menjanjikan akan bertemu dengannya keesokan hari saat dirinya berada di rumahnya.
Barangkali inilah hari keberuntungan keduanya bisa bertemu meski agak berjauhan. Tapi tepatkah dikatakan beruntung bila kemudian dia melihat Dewa tengah bicara serius dan akrab dengan Ratih, gadis yang pernah mencacimakinya tanpa alasan, dan kini semakin membuat hatinya panas saat melihat keakraban mereka berdua?
Dewa tak melihat Lorna memperhatikannya dari kejauhan. Lorna pun tak biasa melihat Dewa berbicara di tempat terbuka dengan seorang gadis diluar teman gadis sekelasnya. Lorna tak mengetahui bahwa teman-teman gadis sekelas Dewa sedang uring-uringan pada Dewa.
Sesungguhnya pada saat itu Dewa berusaha meminta maaf pada Ratih atas peristiwa beberapa minggu yang lalu di kelasnya.
“Aku tak pernah bicarakan ini pada orang lain, Dewa. Aku hanya bicarakan itu dengan adikku saja.”
Itu penjelasan Ratih padanya. Dewa jadi tahu bahwa Ratih memiliki seorang adik yang baru masuk tahun ajaran namun tak sekelas dengan Dewa. Dan Dewa tak berusaha lebih tahu tentang hal itu. Pikirannya langsung pada kesimpulan bahwa yang menyebarkan berita yang merusak ban sepedanya tentu berasal dari pelaku, dan jelas bukan Ratih.
Permintaan maaf Dewa membuat Ratih nampak leluasa bersikap manja pada Dewa. sesekali memegang lengan Dewa. Menggodanya dengan melepaskan ikatan rambut Dewa yang panjang hingga terurai.
“Biarkan begitu. Ganteng sekali kamu...”
Dewa harus membetulkan lagi ikatan rambutnya.
Sikap Ratih pada Dewa terlebih tangan Ratih yang nampak liar, mencubit lengan dan pipi Dewa membuat Lorna yang melihatnya dari kejauhan jadi enggan.
Kenapa Dewa bisa bersikap begitu di depannya yang pernah disakitinya? Lorna memperhatikan bungkusan makanan yang tak pernah lupa dibawanya yang diperuntukan buat Dewa meski resikonya tidak bertemu.
Hari ini sesungguhnya Lorna geram dan tidak ingin mengabaikan kesempatan. Lorna hanya ingin mengingatkan janji Dewa yang ingin bertemu dengannya. Karenanya pagi menjelang masuk itu dia segera bergegas menemui Dewa, dan tak ingin kehilangan peluang bila bel masuk berbunyi.
“Hai! Pagi Dewa!”
Dewa tergagap.
“Oh..hai. Pagi Lorna...”
“Janjinya mau bertemu. Ini sudah berapa minggu.”
“Sorri..aku..”
“Kalau Dewa sibuk sekali. Lorna hanya mau bilang berterimakasih atas segala bantuanmu. Lorna juga mau mengembalikan sanggul Ibu yang kita pinjam kemarin.”
“Nggak usah..”
“Maksud, Dewa?”
Belum sempat Dewa menjawab, Ratih lekas menyela dan menarik tangan Dewa untuk menjauh.
“Kamu curang membiarkan kelasmu kalah.” kata Ratih.
Ucapan itu jelas membuat daun telinga Lorna memerah karena ada tendensi menyindir dirinya.
“Dewa...” panggil Lorna lembut menahan kesal.
“Aku dengar banyak teman di kelasmu tak suka gara-gara kamu membantu kelas lain. Ketidakikutanmu di pentas seni mereka anggap kamu sengaja agar kelasmu kalah.”
Ucapan Ratih yang bernada menuduh terasa seperti masuk akal. Dan itu membingungkannya.
“De...” Lorna mengulangi panggilan dengan nada lembut.
Dewa berpaling dan Lorna mengulurkan bungkusan makanan kepadanya. Sorot mata dan mimik wajah Lorna memaksanya harus menerima. Sekilas menangkap ada kekesalan dalam sorot mata Lorna, meski bersikap tenang.
“Lorna tak bermaksud menganggu. Lorna cuma ingin menyampaikan itu saja.” Setelah menyampaikan itu kemudian beranjak pergi meninggalkannya.
Dewa tak bergeming saat Lorna cepat berlalu dari hadapannya. Bertepatan dengan bel masuk berbunyi.