Sesungguhnya sikap Lorna dipicu sikap Dewa yang tak terduga dalam mengambil alih persoalan yang membuatnya sedih dan marah. Dewa yang tak disangka-sangka muncul di tengah kebingungannya, dimana sebelumnya dia telah mencari meski tak ketemu. Namun kemunculannya membuatnya merasa terlindungi, karena diam-diam menurutnya lelaki itu mengawasi dan memperhatikan, dan selalu ada disaat dirinya butuh bantuan. Dirasakannya kehadirannya ibarat lelaki begitu dewasa, sosok seorang kakak yang begitu dia dambakan selama ini, meski juga mustahil diwujudkan. Dan itulah kenapa kemudian membuatnya menjadi kolokan.
Apalagi saat tiba di rumah Dewa. Segala sesuatu yang diperlukannya sudah Dewa siapkan, termasuk menyediakan seorang wanita setengahbaya bernama Lastri, yang akan membantu dirinya dan kedua temannya untuk mengajari tatarias busana tradisional secara instan.
Mbak Lastri demikian mereka panggil akan memulai mengajari mereka bila mereka selesai makan siang.
“Ayo, nak, dahar dulu. Nanti Yu Lastri akan mengajari setelah selesai makan.” kata Ibunda Dewa yang ikut makan.
“Dewi Sembodro, kangmasmu minta Ibumu menyiapkan makan siang ini, apa kamu tidak diberitahu kangmasmu Dewa, kok kamu membawa makanan macam-macam demikian banyak?”
Lorna yang merasa jengah ditatap terus oleh Mbak Lastri yang kagum dengan kecantikannya, tersenyum dan menggeleng perlahan.
“Kemana Kangmasmu?”
Lorna tak bisa menjawab, pasalnya dia juga ingin bertanya dimana Dewa.
“Pergi sebentar, Yang.” sela Mbak Lastri.
“Kemana?”
“Katanya mau menyelesaikan garapan relief taman di rumah kapten Rahmat. Mas Dewa pesan untuk memakai kamarnya kalau mau ganti pakaian.”
“Ya, semalam aku turut membantunya menyiapkan jarit dan yang lainnya. Pakailah saja, atau bisa pakai kamar Ibumu. Kamar sebelah juga luas kalau mau disana. Terserah mau yang mana.”
“Maaf, mengganggu dan merepotkan Ibu.” kata Lorna lembut.
“Ora opo-opo. Ibumu ini malah senang sekali kalian yang masih muda-muda ini mau belajar tata busana adiluhung.”
Rahma dan Grace tak banyak bicara, sebab Ibunda Dewa lebih suka berceloteh dengan Lorna, gadis cantik bermata biru, berambut coklat keemasan dan berkulit bersih bersinar.
Saat di meja makan, kesempatan itu dimanfaatkan Lorna membicarakan keinginan Maminya memesan aneka jenis kain batik kebaya. Ibunda Dewa menanggapinya bersemangat. Apalagi manakala Lorna meminta agar pesanannya tidak perlu dikerjakan buru-buru, karena hal itu hanya untuk dikoleksi. Tahap pertama dia pesan lima kain kebaya. Dan Lorna pun langsung melunasi semua pembayarannya setelah mereka selesai makan.
“Kowe iku temenanan to, Nduk. Duh, gusti matur sembah nuwun dipun paringi rejeki. Sampaikan ucapan terimakasih Ibu pada Ibumu ya?”
“My Mommy...”
“Mommy?
Lorna mengangguk.
Ibunda Dewa lantas mencium kedua pipi Lorna yang bersemu merah.
“Mamimu pasti juga cantik seperti kamu.”
Lorna tersenyum.
“Sampaikan terimakasih pada Mamimu ya.”
“Sama-sama, Ibu.”
“Coba to Lastri...” kata Ibunda Dewa pada Mbak Lastri mengagumi kecantikan Lorna.
“Nggih Eyang.”
“Bocah kok ayu tenan, tur patrape apik, alus, sopan. Huh, cik tenan, ayune koyo Dewi Sembodro.”
Lorna tidak ingin terjebak pada situasi membicarakan dirinya, maka dia menyela agar latihan tatarias segera dimulai.
Bertempat di kamar Drewa ketiga gadis itu kemudian menyimak dan mengikuti setiap petunjuk dan arahan Mbak Lastri. Mereka melakukannya hingga hari sudah mulai petang. Mereka tak tahu kalau Dewa juga sudah pulang dan selesai mandi. Dan menggunakan kamar lain yang sudah dia antisipasi bila kamarnya masih dipakai.
Lorna melihat kamar Dewa terasa luas, bersih, terawat dan tertata artistik. Nyaman di dalamnya. Tapi tidak seharusnya mereka berada dalam kamar Dewa. Setidaknya bisa menggunakan ruangan lain. Tapi semua itu tinggal mengikuti yang menjadi keinginan yang punya rumah.
Di beranda belakang Dewa menemani Ibunya duduk sambil minum teh.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Ibunya.
“Sudah selesai, Bu.”
“Makanlah. Di meja banyak makanan. Adikmu yang membawakan.”
Dewa tahu yang dimaksud Ibunya adalah Lorna. Walau merasa tak nyaman dengan sikap Ibunya yang menyebut Lorna sebagai adiknya. Dia juga tak memahami, kenapa Ibunya pandangan seperti itu. Namun dia tidak ingin bertanya, dia biarkan, demi menjaga perasaannya.
“Saya sudah makan, Bu.”
“Kamu bekerja sendiri?”
“Saya kerjakan dengan Pak Lik Padmo.”
Apa yang dikerjakan Dewa juga diceritakan oleh Mbak Lastri kepada ketiga temannya pada saat mereka sibuk merias. Sehingga mereka semakin tahu tentang Dewa. Terlebih Lorna yang kemudian memahami bahwa Dewa bertindak selaku kepala keluarga meski hanya berdua dengan Ibunya. Mengambil peran bila ada persoalan. Menjaga Ibunya yang usianya beranjak senja agar tetap sehat.
Ketika Ibunya membicarakan pesanan kain kebaya Lorna membuat perasaannya tak nyaman. Setelah itu berlari ke kamarnya untuk menemui gadis itu, lalu menarik pergelangan tangan gadis itu dari sana secara tiba-tiba yang membuatnya terkesima. Dewa tahu perempuan-perempuan yang ada dalam kamarnya sudah selesai dengan acaranya. Rahma dan Grace saling menatap kala Dewa menggapai pergelangan tangan Lorna. Mbak Lastri tersenyum melihat kelakuan Dewa. Lorna merasa jengah tak mengerti sikap Dewa, dan tak kuasa melawan.
“What happened Dewa?”
Dewa tak menjawab. Tetap menuntunnya ke samping rumah.
Lalu di samping rumah. Di bawah keremangan lampu wolfram lima watt. Keduanya kini berdiri berhadapan. Dewa lalu melepaskan pegangan tangannya.
Lorna menunduk enggan memandang tatapan Dewa yang tajam. Diam melipat tangan.
Dewa sesaat diam menengadah menghadap langit yang gelap, memandang bulan yang merangkak perlahan di balik pohon belimbing, menahan nafas sejenak lalu menghela panjang, berusaha menghalau kegundahan.
Hati Lorna cemas.
Dewa menatap kembali Lorna yang masih enggan memandangnya.
“Kau marah padaku?” tanya Dewa perlahan.
“What?”
Lorna memberanikan menatap. Matanya yang biru jernih berkilat itu menghujam membalas.
“Kenapa kamu diam saja? Apa karena aku perbaiki ban mobilmu?”
“Nghh...”
“Kenapa kamu bersikap begitu pada Ibu?”
Kening Lorna mengerenyit.
“What?”
“Apa maksudmu melunasi pembayaran pesanan yang belum dikerjakan?”
Lorna bingung dicecar pertanyaan bertubi-tubi. Tak tahu mana yang harus dijawab dulu. Belum sempat menjelaskan, Dewa meminta maaf.
“Maafkanlah soal itu...”
Lorna bingung tak tahu harus bicara apa. Lalu beranjak meninggalkan Dewa.
“Hei...!” Dewa menahannya.
Lorna menahan langkahnya dan berbalik.
“Lorna bingung, tak tahu mana yang harus Lorna jawab.” ucapnya sedikit sengit.
Dewa melangkah mendekat. Lorna berusaha melakukan pembelaan.
“Bukankah untuk pesanan kain kebaya, Dewa yang meminta Lorna agar membicarakanmya sendiri dengan Ibu? Ini hanya bisnis, Dewa. Ini Lorna punya urusan. Kalau pun Lorna membayar lunas, Lorna juga bilang pada Ibu untuk mengerjakannya dengan santai, tidak perlu terburu-buru, Lorna juga meminta Ibu mendahulukan pesanan lainnya.”
Wajah Lorna mencerminkan perasaan kecewa, sekalipun ada ketakutan di matanya melihat sikap Dewa yang menurutnya sedang gusar. Tapi Dewa tak ingin ada ketakutan dalam diri gadis itu. Kemudian berusaha b ersikap tenang.
“Maafkanlah aku.” kara Dewa lembut.
“Lorna diam bukanlah marah padamu, Dewa.” ucap Lorna lirih.
Dewa mengangguk pelahan.
“Aku yang membuatmu takut. Sorri.” tepis Dewa.
Lorna tersenyum lega.
“Lorna tak takut padamu, Dewa. Cuma cemas.”
Keduanya saling memandang dalam diam.
“Kamu cantik.”
Lorna tersipu.
“Thank you. Tapi dulu kamu bilang aku jelek.”
“Itu karena dibawah tekanan.” kelit Dewa.
“Lorna tahu” jawab Lorna dengan senyum.
“Aku lebih suka yang alami.”
“Maksud Dewa?”
“Tanpa make up.”
Lorna memincingkan mata.
“Maaf, itu pendapatku.”
“No no no. Lorna kuga tak suka di make up. Lorna hanya pakai pelembab wajah. Make up yang Lorna bawa hanya koleksi. Itu Mommy yang beli.” Lorna berusaha melakukan pembelaan.
Dewa tersenyum.
“Lorna belum pernah pakai make-up. Kecuali saat ini, tapi ini untuk keperluan itu.”
“Aku tak bermaksud menilaimu...”
“Lorna tak suka make up, Dewa.” kata Lorna tegas.
Dewa menatapnya tajam. Lorna membalasnya.
Keduanya saling berpandangan. Lama dan lama sekali. Mencoba mencari tahu apa yang ada di balik makna tatapan itu. Ada perasaan hangat yang merambati dari tatapan hingga merambah ke dasar sanubarinya. Ada perasaan damai dan indah yang hanya mereka berdua rasakan. Hingga keduanya tersadar saat dikejutkan oleh kelebat bayangan seekor kelelawar di atas mereka yang mengelilingi pohon dekat mereka.
Lorna lantas menunduk demikian pula Dewa.
“Lantas ada apa maksudmu membawaku kemari?” tanya Lorna. Suaranya pelan dan lembut.
“Soal kejadian yang menimpa mobilmu, aku hanya ingin kamu membantuku merahasiakannya. Tolong juga beritahukan kepada dua temanmu itu.”
“Kenapa?” tanya Lorna seraya menatap.
“Aku sedang berusaha mencari tahu pelakunya.”
“Tapi Ronal kan tahu...”
“Abaikan!”
“Lorna prihatin yang menimpa sepedamu. Itulah yang membuat kenapa Lorna diam padamu. Lorna ingin tahu apa yang terjadi. Kini Lorna memahami perasaanmu setelah mengalami peristiwa serupa. Ini sudah keterlaluan, Dewa. Ini sudah kriminal.”
Dewa memandang wajah Lorna yang nampak sengit.
“Aku tahu, Na.” ucap Dewa menenangkan.
“Lalu apa langkahmu?”
“Aku sedang pikirkan.”
Lorna jadi tahu alasan Dewa membawanya ke samping rumah. Untuk membicarakan masalah itu. Semula ada penolakan, namun kini sebaliknya. Ada keinginan mengajaknya berbicara lebih banyak tentang banyak hal, terlebih pada sikap Dewa, sulitnya menemuinya di sekolah.
Namun Lorna kecewa saat Dewa lalu memintanya pulang.
“Mamimu tentu mencemaskanmu.”
”Mommy tahu Lorna ada disini.”
“Iya, tapi ini sudah malam. Kamu sudah sejak siang berada di sini. Aku tak keberatan kamu disini. Tapi kamu harus istirahat.”
“Baiklah kalau itu mau Dewa!”
Akhirnya Lorna menyerah disamping dirinya juga perlu membersihkan badan.
Lorna tak membantah atas sikap Dewa yang terkesan mengatur, dan memperhatikan, karena itu membuatnya merasa seperti adiknya yang menerima kecemasan seorang kakak.
“Pulanglah. Besok kita ketemu lagi.”
“Oh, ya? Ketemu di mana?”
Dewa tak menjawab.
“Sulitnya menemuimu.”
“Apa?”
“Ah, nggak!”
Lorna memandang Dewa lembut. Dewa membalas.
Memandang wajah Lorna bekas riasan yang belum dihapus. Rambutnya yang lebat bergelombang berwarna coklat gelap berkilau keemasan, diikat ke belakang bekas disanggul, memperlihatkan lehernya yang putih dan jenjang dipenuhi bulu-bulu halus.
“Lorna tak punya sanggul...”
“Pakai punya Ibu.”
“Warnanya?”
“Kamu bisa ke salon untuk mewarnai sesuai warna rambutmu.”
“Tapi nanti warnanya jadi berubah.”
“Tak apa-apa. Ibu punya banyak. Kalau pulang jangan lupa dibawa sekalian, biar besok bisa kamu bawa ke salon.”
“Ijin Ibu dulu, nanti Ibu marah.”
Dewa tersenyum.
“Biar aku saja. Bilang ke Mbak Lastri, pilih sanggul mana yang cocok buatmu.”
“Thank you.”
Saat Dewa mengantarkan Lorna menemui Grace dan Rahma di kamarnya, Lorna berharap Dewa mengandeng pergelangan tangan seperti saat menariknya ke samping rumah. Tapi tak dilakukan Dewa.
Lorna suka berada di rumah Dewa. Suasananya terasa lengang dan damai. Aroma lilin dan kain batik mendominasi ruangan. Di setiap sudut ruangan selalu ada patung ada yang terbuat dari kayu ada yang dari batu. Perabotan antik bertebaran mengiasi setiap ruangan. Piring-piring kuno mengisi di setiap bufet. Lampu gantung antik juga menerangi setiap ruangan. Beberapa alat musik gamelan seperti kendang, gender, siter juga membuat suasana ruangan nampak magis. Lukisan mengisi di setiap dinding. Tak ada ruang kosong.
Lorna memandang sebuah lukisan. Lalu meneliti tulisan di kaki lukisan. Dia membaca nama Dewa dari goresan berwarna merah. Lalu memandang pada Dewa. Tersenyum.
Dewa mengangkat dahi, dan mengangguk.
“Hebat!” ucap Lorna lirih karena tahu semua lukisam yang ada di dinding adalah lukisan Dewa.
“Sudah malam, Na.” Dewa mengingatkan.
“Ih! Sebentar kenapa?” Lorna menyergah.
Dewa menghela nafas panjang.
“Kamu melukis, kamu membuat patung dan ukiran, kamu bermain musik, kamu...”
“Lain kali kita membicarakan itu.” sela Dewa yang sejak tadi terpukau menatap Lorna yang demikian bersinar. Rambutnya yang kemilau lebat. Wajahnya yang anggun. Suaranya yang halus. Terlebih sepasang matanya yang berwarna biru.
“Antarkan Lorna pamit ke Ibu.” pinta Lorna.
Setelah berpamitan dan membereskan barangnya, Dewa mengantar ke mobilnya. Dan berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana, mengawasi teman-temannya di dalam mobil.
“Selamat malam Dewa! Terimakasih! Terimakasih Mbak Lastri!” Ketiga temannya memberi salam.
Setelah mereka pergi.
“Dik, Dewa. Dik Lorna cantik sekali ya?”
Dewa menanggapi dengan senyum.
“Pacar dik Dewa?”
“Huss!” sergah Dewa, “Kedengaran Ibu, saya bisa dimarahi.”
“Akrab sekali dengannya.”
“Dengan teman memangnya dilarang akrab?”
“Gadis itu cantik dan baik hati.”
“Sudahlah jangan membicarakan dia. Tak ada habisnya.”
“Memang, habisnya cantik banget!”
“Mbak Lastri masih mau disini atau langsung pulang?”
“Ya pamit Eyang dulu. Eh, Dik Dewa!”
“Ya Mbak?”
“Tadi, dik Lorna memberiku ini...”
Mbak Lastri memperlihatkan sebuah amplop dan membuka isinya lembaran uang ratusan ribu.
“Banyak sekali, Dik! Untuk apa?”
“Ya buat bantuan yang sudah Mbak lakukan padanya.”
“Tapi banyak sekali!”
“Diterima saja. Dia akan tersinggung bila ditolak. Buat ongkos pulang!”
Mbak Lastri memukul bahunya.
“Yeee, aku kan pulang jalan kaki.”
“Utuh kan jadinya.”
“Yeee...bukan begitu, rumahku kan dekat.”
“Sana pamit Ibu dulu sekalian benahi make up!” kata Dewa seraya beranjak masuk ke dalam rumah.
“Dik Lorna hanya mau pakai make-up nya sendiri.”
Dewa tersenyum. Tentu saja gadis itu tidak mau mengambil resiko dengan make up sembarangan.
Mbak Lastri lebih akrab memanggil Ibu Dewa dengan Eyang, menirukan bagaimana anaknya memanggilnya dengan Eyang, disamping Ibu Dewa memang sudah berusia lanjut.
Di luar kemudian hening. Dari dalam rumah lamat-lamat terdengar alunan gending dari radio RRI yang disetel Ibu.
Sementara di perjalanan. Roman wajah Lorna terlihat berseri. Pertemuannya dengan Dewa melepaskan beban yang melingkupi suasana hatinya hingga terasa sesak akibat demikian banyak peristiwa yang dilaluinya menyangkut dengan Dewa.
Demikian pula Rahma dan Grace. Mereka kini menjadi percaya diri dengan bekal keterampilan yang didapat dari Mbak Lastri untuk menghadapi Pesta Seni di akhir minggu ini.