020. Giliran Ban Lorna Kempes

Untuk kelas Lorna yang ditunjuk jadi ketua timnya adalah Ronal. Dia selalu berusaha memastikan kelompok bandnya siap tampil, sebab dia yang bertanggungjawab. maka dia terus memonitor sampai sejauh mana kesiapan timnya yang akan mewakili kelas mereka. Tim yang masuk di tiga peringkat atas akan dilibatkan pada parade pentas seni sekolah menengah atas di tingkat kota.
    Pagi itu Ronal menemui Rahma sebelum bel masuk.
    “Timmu siap, Rah?”
    “Yo i!” jawab Rahma pendek.
    “Seberapa siap?”
    “Ya siap saja. Nanti pulang sekolah kita bertiga pergi untuk kesiapan tatarias.”
    “Tumben Lorna belum datang?”
    “Itu Grace baru datang!” kata Rahma seraya melihat ke arah pintu.
    “Mana Lorna?” tanya Grace juga menanyakannya.
    “Belum datang,” jawab Rahma.
    “Waduh, pulang sekolah bisa nggak jadi ke rumah Dewa kalau sampai tak masuk.”
    Ucapan Grace langsung menyengat kepala Ronal.
    “Mau apa kalian ke rumah dia?” tanyanya heran.
    “Ya, belajar tata rias busana,” jawab Grace cepat.
    “Bukankah dia di kelas lain dan kompetitor kelas kita?” tanya Ronal merasa tak senang.
    “Memangnya ada aturan yang melarang berhubungan dengan kelas lain?” tanya Rahma.
    “Maksudku mereka menjadi kompetitor kita.”
    “Seharusnya mereka yang rugi bukan kita. Kamu nggak perlu cemas kita kalah, Bal.” sergah Grace.
    Tiba-tiba Lorna menyeruak masuk kelas.
    “Hai! Selamat pagi semua!” sapanya lembut.
    “Pagi, Na! Tumben jam segini baru datang,” kata Rahma.
    “Bukankah kita sepakat pergi bersama?”
    “Yo i!” jawab Grace dan Rahma bareng.
    “Kalian bawa kendaraan?”
    Rahma dan Grace menggeleng.
    “Sebelum tempat parkir dipagari, aku jadi takut ada yang ngempesin ban motorku.” kaya Rahma.
    “Tapi bukan lantaran itu kan?”
    Rahma dan Grace mengangguk.
    “Kita kan sepakat pakai mobilmu, “Kamu bawa kan?” tanya Rahma.   
    “Ya. Kuparkir di depan!” jawab Lorna.
    Ronal mengangkat alis. Saat itu merasakan gemuruh dalam dada. Perasan yang sama seperti saat melihat Lorna menyelinap ke ruang perpustakaan untuk bertemu Dewa, yang kemudian pintunya tertutup rapat.
    “Jangan cemas, Nal. Kita cuma mau kursus kilat. Kalau tim kita menang kamu juga yang dapat nama?” kata Grace seraya mengedipkan sebelah mata kepada Lorna.
    Sesungguhnya bukan persoalan yang dikatakan Grace. Tapi persoalan kelelakian Ronal yang kian terusik.
    “Kenapa nggak ngomong. Aku punya tante yang bisa bantu kalian soal itu. Pulang sekolah bisa langsung kuantar kesana,” kata Ronal.
    Lorna berusaha memahami maksud Ronal, tapi Grace cepat menimpali seraya mencibir.
    “Terlambat!”
    “Sudahlah. Tuh, bel masuk sudah bunyi,” tambah Rahma.
    Sebelum beranjak menuju bangkunya sendiri, Ronal menyempatkan berkata perlahan di depan Lorna.
    “Boleh aku ikut?”
    Rahma menangkap ucapan Ronal yang nyaris berbisik langsung menyergah.
    “Ini urusan perempuan. Urusanmu musik!”
    Grace tertawa.
    Lorna tersenyum.
    Ronal segera berlalu ke bangkunya. Timmy rekan sebangkunya melemparinya sebungkus permen. Ronal menangkap membuka bungkusnya dan memasukannya ke dalam mulut. Sesaat kemudian keduanya nampak berbicara serius.
    Ketika datang dan memarkir mobilnya. Lorna sempat melihat Dewa membonceng motor Beni. Apakah Dewa sengaja tidak bersepeda ke sekolah? Kali ini hari kedua dia ke sekolah tidak menggunakan sepeda. Apakah dia sengaja agar bisa bersama-sama dengan mobilku karena tujuannya sama ke rumahnya? Mudah-mudah begitu. Ah, tapi bagaimana bila tidak? Haruskah kutawarkan agar pulang ikut dengan mobilku?
    Saat mengunci pintu mobil, Dewa memandanginya dan tersenyum, ya hanya tersenyum, tak ada sapaan, tapi matanya mengawasi mobilnya, barangkali mobil yang kupakai hari ini bukan mobil biasanya untuk antar jemput.
    “Apakah Dewa akan pulang bersama kita?” tanya Rahma di sebelahnya saat jam pelajaran berlangsung.
    “Itu yang sedang kupikirin,” jawab Lorna sembari tetap mencatat dibukunya.
    “Sepedanya mau dikemanakan kalau dia ikut?”
    “Dia nggak bawa sepeda.”
    Rahma berpaling menatapnya. Lorna membalas tatapannya dan menjawab.
    “Aku melihatnya tadi dibonceng Beni.”
    “Kalau begitu istirahat kita hubungi agar bisa bareng ke rumahnya.”
    Tapi pada saat istirahat mereka tidak melihat Dewa. Sudah dicoba mencari dan menanyakan ke teman-temannya, tak ada yang mengetahui.
    Hanya Lorna enggan bertanya pada Ndari, karena menjadi teringat ketika melihatnya dibonceng Dewa, dan itu membuat perasaannya tidak nyaman. Lorna yakin Ndari banyak tahu tentang Dewa, lalu akankah dia mengabaikannya saat dirinya butuh informasi tentang dimana keberadaan Dewa?
    Akhirnya ego mengalahkan keinginannya. Hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang nampak konyol begitu memaksakan diri agar bisa berhubungan dengan Dewa. Apalagi saat menatap bungkusan berisi makan siang di tangannya. Entahlah perasaan apa lagi yang mendorongnya begitu giat membawakan makan siang untuknya.
    Hingga timbul pertempuran untuk mendekat atau menjauhi Dewa. Lalu manakah yang lebih kuat. Kalau mendekat, alasannya apa? Apa lantaran kebaikan yang telah diberikan. Apa lantaran merasakan Dewa seperti sosok seorang kakak baginya? Apa lantaran budibahasa Dewa terhadapnya? Apa lantaran postur badannya yang atletis? Apa lantaran kelebihan yang ada pada dirinya? Apa lantaran wajahnya tampan? Masih banyak lagi apakah-apakah yang timbul dalam pikirannya.
    Lantas bila harus menjauhi, apa alasannya? Barangkali lantaran sulit menemuinya yang membuatnya seperti mengejar-ngejar? Ataukah barangkali lantaran begitu dekat dengan Ndari sampai berboncengan sepeda seperti yang dilihatnya kemarin? Barangkali keduanya pacar. Ataukah barangkali lantaran timbul perasaan cemburu? Ah, masih banyak lagi barangkali-barangkali yang membuat perasaannya benar-benar kian tidak nyaman.
    Saat jam pelajaran berakhir. Lorna diapit Grace dan Rahma keluar dari kelasnya. Menyusuri koridor, sementara Ronal bersama tiga orang dekatnya mengekor di belakang. Mereka nampak bercanda dan tertawa.
    “Kita pesan dulu makanan buat disana,” kata Lorna.
    Dalam perjalanan ke mobilnya, pandangan Lorna berusaha mengedar ke sekeliling, siapa tahu melihat Dewa. Dia tak melihatnya. Barangkali dia masih ada di tempat parkir sepedamotor karena tadi berangkatnya dibonceng Beni.
    Ketiga gadis itu sudah berada dalam kendaraan. Yidak bertemu Dewa membuat perasaannya gelisah. Perasaannya kian menjadi saat nerada di belakang kemudi merasakan ada yang tidak beres.
    Rahma melihat kegelisahannya lalu bertanya.
    “Ada apa?”
    “Sepertinya...”
    “Kenapa?” ganti Grace yang bertanya.
    “Ban belakang bagian kanan kayak kuirang angin.” jawab Lorna mematikan kembali mesin mobil yang baru saja dinyalakannya.
    “Kamu jangan turun! Biar aku yang lihat?” kata Grace.
    Sesaat kemudian terdengar teriakan Grace.
    “What?!” tanya Lorna.
    “Kata Grace kempes!”
    “Kempes?” tanya Lorna tak mengerti.
    Keduanya lantas bergegas turun dan melihat apa yang terjadi.
    Begitu melihtat roda mobilnya Lorna menutup muluitnya dengan telapak tangan dengan pandangan mata terbeliak.
    “Bagaimana bisa?” tanyanya heran karena melihat tutup katuip pengisi angin nampak terlepas dan tergeletak tak jauh dari ban roda yang benar-benar kempes.
    Yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah ada yang sengaja menggembosi roda mobilnya.
    Rahma dan Grace untuk beberapa terkesima melihat Lorna kebingungan. Ketiganya saling bertatapan.
    “Ada yang jahat di sekolah ini.” kata Lorna lirih.
    “Jadi ada yang sengaja melakukan ini?” tanya Rahma.
    Lorna mengangguk.
    “Siapa? Kemarin sepeda Dewa, kini mobilmu,” kata Grace nampak ikut resah.
    Saat ketiganya dalam kebingungan, tiba-tiba datang Ronal mendekati.
    “Ada apa?” tanyanya.
    Ketiganya tidak ada yang menjawab, hanya melihat ke arah ban monil yang kempes.
    Ronal menggelengkan kepala seraya tersenyum.
    “Kempes atau bocor?” tanyanya.
    “Nipple-nya lepas. Tak mungkin bisa lepas seperti itu kalau bukan ada yang sengaja mencopot,” kata Lorna.
    “Terus bagaimana?” tanya Grace.
    “Tenang saja. Sebaiknya kupanggilkan orang bengkel kemari?” kata Ronal.
    “Lama, Nal?”
    “Kenapa sih buru-buru. Mana aku tahu. Aku saja masih disini. Tapi aku usahakan bisa segera diperbaiki.”
    Tak lama kemudian datang motor Beni yang membonceng Dewa yang langsung turun dan bertanya.
    “Kenapa?”
    Grace menunjuk roda ban mobil Lorna.
    Dewa memandang Lorna yang enggan membalas tatapannya.    Sebaliknya Lorna melihat ke arah Ronal yang wajahnya nampak tak senang dengan kedatangan Dewa.
    “Aku carikan bantuan. Kamu tunggu dulu ya,” kata Ronal pada Lorna, kemudian segera bergegas pergi.
    Lorna hanya diam. Nampak seperti merenung. Namun kemudian tergagap saat Dewa bertanya.
    “Boleh pinjam kuncinya?”
    Lorna memberikan tanpa memandang.
Rahma menatap Grace sesaat, tak mengerti atas sikap Lorna yang nampak apastis.
    “Ben!” Dewa memanggil Beni.
    Beni tahu maksud Dewa yang perlu bantuannya untuk mengeluarkan ban cadangan, sementara Dewa memasang dongkrak roda. Setelah itu dengan kunci roda membuka mur untuk melepas roda yang kempes. Keduanya bekerjasama memasang roda cadangan. Tak lebih dari seperempat jam waktu yang diperlukan mengganti roda.
    Setelah membereskan roda yang kempes ke dalam bagasi, Dewa mengembalikan kunci pada Lorna, dan Lorna menerimanya tanpa berucap sepatah katapun.   
    “Kalau masih ada yang mau ditunggu disini, silahkan saja. Aku hanya ingin agar kalian bisa lekas pergi untuk meneruskan rencanamu hari ini. Maafkanlah aku.” kata Dewa datar lalu berpaling dan mengajak Beni beranjak dari tempat itu, “Ben!”
    Lorna mengerti maksudnya pergi ke rumah Dewa seperti yang telah disepakati.
    Setelah Dewa pergi. Rahma dan Grace memekik pada Lorna yang masih tertunduk. Keduanya tak mengerti akan sikapnya.
    “Bagaimana kamu ini? Kenapa diam?”
    Lorna tak menjawab lalu masuk ke dalam mobil yang diikuti Grace dan Rahma.
    “Kamu marah pada Dewa?” tanya Rahma.
    Bola mata Lorna nampak berkaca-kaca.
    “Jadi nggak kita ke rumah Dewa?”
    Lorna mengangguk.
    “Tapi kamu...”
    “Kita mampir dulu cari makanan buat disana.”
    “Ada apa denganmu?” Rahma penasaran.
    Lorna tak menimpali.
    “Kenapa, Na? Ada apa?” desak Grace.
    “Karena Dewa atau karena ban?” tanya Rahma.
    “Kalau jadi kita ke rumahnya, kenapa nggak kamu ajak bersama kita?” tanya Grace.
    “Dia sudah dengan Beni.” timpal Lorna.
    “Ih, baik bener lho Dewa,” kata Rahma, “Bisa juga dia kerjakan dengan cepat.”
    Grace dan Rahma menatap Lorna yang tak bisa menyembunyikan matanya yang basah dari kedua temannya, lalu menyekanya dengan tisu, dan karena merasa diperhatikan kemudian mencoba tersenyum. Rahma dan Grace paham kalau hati Lorna sedang gundah.
    Memang benar bahwa dirinya sedang dikacaukan berbagai perasaan, sedih, kesal, geregetan dan marah, yang mengaduk-aduk jadi satu. Inginnya melampiaskan, namun tak tahu pada siapa perasaan itu akan dilampiaskan.
    “Sorry...” kata Lorna. Suaranya lirih.
    “Aneh, kamu Na. Mana lagi kamu nggak bilang terima kasih padanya.”
    “Dia sudah tahu,” sela Lorna.
    “Tahu dari mana?”
    “Dia kan kakakku.”
    “Yeeeee siapa bilang?” ledek Grace.
    “Ibunya!” jawab Lorna geli.
    Rahma dan Grace tertawa. Keduanya teringat dan membenarkan, sebab berkunjung ketika di rumahnya kemarin. Ibu Dewa menganggap Lorna sebagai adik Dewa.
    “Ucapan Ibunya biar kamu tak merasa asing di sana,” Rahma mencoba menjelaskan.
    “Aku tahu,” jawab Lorna.
    Grace mencibir.