Selesai mandi, Lorna duduk menghadapi meja tulisnya. Lalu menyalakan komputer hanya untuk menyetel lagu mp3 melalui program winamp. Dia pilih musik instrumentalia dari Richard Clayderman.
Musik pun memberinya suasana kedamaian di temaramnya senja hari.
Mami di kamarnya sedang bertelepon dengan Papi yang berada di rumahnya Barossa Valley Australia.
Dari balik kaca jendela Lorna termangu menikmati suasana di luar. Angin tak lagi bertiup menggerakkan dedaunan. Di hadapannya terbuka buku harian yang akhir-akhir ini selalu menemaninya. Mengisi waktu yang belakangan ini kian merasa sepi. Ballpoint yang dijari tangannya hanya digerakkan menunggu sesuatu yang akan ditulis. Meski pun banyak hal yang ingin ditulis, tapi tak tahu akan memulai dimana.
Pikirannya menerawang kembali saat berada di rumah Dewa. Rumah yang di dalamnya banyak berisi perabotan tua dan antik. Sofa dari kayu jati yang dipelitur beralas anyaman rotan dengan bantal duduk berlapis kain warna merah tua yang dihiasi motif bunga mawar dari benang yang disum. Dinding putih tanpa pelur. Beberapa lukisan ukuran besar. Meja yang berlapis batu marmer putih. Lampu gantung antik. sekat ruangan dari kayu jati. Masih banyak lagi perabotan antik yang sempat tertangkap matanya.
Apakah itu yang akan kuawali tulisanku? Demikian pikiran Lorna. Bola matanya yang jernih dengan kornea berwarna biru seakan menggambarkan ada mentari senja terbit di dalamnya.
Kepalanya menggeleng lemah. Karena yang melintas kemudian adalah wajah dan tatapan mata Dewa yang kerap menghujam memandang tajam ke matanya. Dan dia tak mampu melawannya.
Tatapan itu demikian tajam dan dingin, namun memberinya keteduhan. Alis mata yang tebal. Mata yang lebar dengan bulumata yang lebih cocok dimiliki wanita. Hitam panjang menyebar ke atas. Hidung bangir dan bibir tebal yang membentuk lekukan di bawah hidung. Wajahnya yang jika diamatinya mengguratkan garis dan struktur ketampanan.
Lorna tersenyum. Apakah aku harus menulisnya dari situ? Ah. Bukankah hal itu sudah beberapa kali aku tulis? Oh. Kenapa aku tak menulis karakter, tabiat dan sifatnya seperti yang kemarin diceritakan oleh Ibunya?
Ah. Lorna mengeluh. Mengingat karakter. Lantas teringat kembali peristiwa tadi siang saat istirahat sekolah. Dia merasa bergidik dan ketakutan bila melihat Dewa sampai jadi berkelahi gara-gara Ratih menyebarkan peristiwa ban sepedanya yang dirusak seseorang.
Dirinya merasakan kemarahan Dewa yang sampai tak melihat dirinya berada dekat dengannya. Apakah dia tak sadar ataukah sengaja mengabaikannya?
Lampu taman di belakang rumah mulai dinyalakan.
Lorna tersenyum teringat penjelasan Ibunya kalau Dewa juga anak tunggal seperti dirinya. Apalagi setiap bicara Ibunya selalu memposisikan Dewa sebagai kakak terhadap dirinya. Kangmas kan maknanya kakak atau mas, saudara lelaki tua. Ah, Dewa memang seperti itu menurut perasaannya. Lorna merasa terlindungi dan nyaman berada di dekatnya. Meski baru beberapa kali berjumpa namun sikapnya familiar.
Tok! Tok! Tok!
Lorna terkesiap dan cepat menyelipkan ballpoint yang dipegang ke lipatan buku hariannya yang langsung ditutupnya. Dia tahu yang mengetuk pintu kamarnya adalah Mami.
“Lho, belum siap?” tanya Mami saat pintu terbuka.
“Oh, ya ampun, Mommy. I am sorry. Lupa...lupa...”
Mami tersenyum.
“Bukankah kita janji akan makan malam di luar?”
“Bersiaplah. Mami tunggu di depan ya. Mobil sudah disiapkan pak Yo.”
“Okey Mom!”
Sesungguhnya yang menghendaki makan malam di luar adalah dirinya. Untuk membunuh perasaan sepi yang belakangan membuatnya gundah. Kalau tidak diingatkan Mami tentu pikirannya akan tetap terhanyut memikirkan seorang Dewa. Ah. Kenapa kamu selalu masuk ke dalam pikiranku, Dewa?
“Makan dimana kita?” Mami bertanya padanya saat diperjalanan.
“Seperti biasa, Mom.”
Lalu Mami memerintahkan pak Karyo supirnya ke tempat biasa makan malam.
“Tak ingin pergi ke tempat lain?”
“Crowded!”
Mami tersenyum.
“Hari minggu kita jalan-jalan?”
“Kemana?”
“Terserah? Ke Selekta? Ke Tretes? Atau ke pantai?”
“Pantai selatan jauh, Mom.”
“Kalau begitu kita ke Batu saja, ke Selekta.”
“Tapi Minggu ini ada pentas seni, Mom.”
“Ya, sudah Minggu depannya kalau begitu.”
Tiba-tiba sekelebat pandangan mata Lorna menangkap bayangan seseorang pengendara sepeda. Menurutnya seperti Dewa. Saat berpaling untuk meyakinkan. Seketika itu minta pak Karyo menghentikan kendaraan.
“Stop! Stop! Ke pinggir pak Yo!”
“Ada apa, Honey?” tanya Mami heran.
Lorna tersenyum.
“Coba Mommy perhatikan anak yang mengendarai sepeda di belakang itu...”
Mami menuruti permintaan puterinya. Lalu mem perhatikan seorang pengendara sepeda yang berada jauh di belakang mobil mereka, dan semakin mendekat.
“Siapa?” tanya Mami.
“Dia temanku yang membantu Lorna dengan obor dan lilin di malam inagurasi.” jawab Lorna dengan wajah ceria.
“Oh ya? Kalau begitu sapa dia.”
“Itulah kenapa kusuruh menghentikan mobil.”
Sesaat kemudian pengendara sepeda itu mendekat. Lorna lantas menyapa dari balik jendela mobil yang sengaja dibuka. Tangan Lorna bersiap membuka pintu mobil.
“Hai! Dewa!” teriak Lorna memanggil.
Pengendara sepeda yang tidak lain adalah Dewa langsung berpaling ke arahnya. Dia mengenali sapaan dan suara itu. Dewa menghetikan sepedanya lalu turun.
Saat bersamaan Lorna keluar dari dalam mobil. Meminta Maminya untuk ikut turun.
“Mau kemana?” Lorna bertanya.
“Pulang! Kamu ada disini?”
Lorna mendekatinya.
“Mommy!” panggil Lorna, “Kemari!?”
Mami mendekat.
“Kenalkan ini Mommy Lorna.” kata Lorna pada Dewa. “Mom, ini Dewa. Dia teman yang baik sekali terhadap Lorna.” Lalu memperkenalkan Maminya.
Dewa menyalami Mami Lorna, membungkuk memberi hormat.
“Dewa.” Dewa memperkenalkan diri.
“Terimakasih, Dewa. Puteriku sudah cerita banyak tentangmu. Beruntung saya bisa bertemu pemuda yang telah berbaik hati pada puteri saya.”
“Ah. Tak perlu berlebihan Tante. Itu biasa saja. Sudah jadi kewajiban harus membantu yang membutuhkan.”
“Hei. Dewasa sekali sikap kamu. Dewa mau kemana?”
“Pulang Tante.”
“Jauhkah rumahmu?”
“Lumayan, Tante.”
Mami diam sejenak memandang Lorna, lalu beralih ke sepeda yang dipegang Dewa. Dan tas yang berisi alat musik. Melihat batang yang mencuat keluar sepertinya stick biola.
Dewa mengisi kediaman dengan bertanya.
“Hendak kemanakah?”
“Makan malam, De.” jawab Lorna cepat, “Ikut yuk!”
“Sepedaku mau dikenakan.”
Itulah yang baru saja dipikiran Mami. Karena itu tak menawarkan.
“Lain kali saja.” kata Dewa menolak halus.
Penolakan itu menyenangkan Lorna, sebab Dewa tak berniat menolak, hanya memberi kesempatan lain waktu.
“Besok sungguh ya, kita ketemu pulang sekolah?”
Dewa mengangguk tersenyum. Lorna suka senyumnya. Yang dingin tapi menyegarkan.
“Mommy. Besok sepulang sekolah, Lorna langsung pergi ke rumah Dewa dengan beberapa teman untuk belajar tatarias busana tradisional.”
Mami tersenyum senang.
“Oh ya?”
Lorna mengangguk-angguk.
“Lorna juga mau pesan kain kebaya, tapi tidak ke Dewa, melainkan ke Ibunya. Ibunya juga baik sekali pada Lorna, Mom. Soalnya Dewa sepertinya tidak suka bicara bisnis dengan Lorna.”
Ucapan Lorna membuat Dewa membeliakkan matanya dengan sorot tajam pada Lorna.
Lorna tertawa kecil.
“Benarkan?”
Dewa tersipu, memandang Mami Lorna sesaat.
“Oke Lorna. Aku tak ingin menghambat jam makan malammu. Selamat menikmati makan malam.” kata Dewa bermaksud menyudahi.
“Thank you, Dewa! Sepedamu yang membuatmu tak bisa ikut ya.”
Dewa tak menjawab hanya tersenyum
“Sepedamu sudah baik?” tanya Lorna dengan wajah menunjukkan keprihatinan.
Dewa mengangguk. Sesungguhnya Lorna ingin tanya perihal sepedanya dan peristiwa yang dialaminya, tapi situasinya tidak tepat.
Lorna lalu memberinya selembar tisu basah. Dewa enggan menerima lantaran di depan Maminya
“Seka keringat di wajahmu.”
“Terimakasih.”
“Bye,Dewa. Lorna pergi dulu ya!”
“Bye, Na!”
“Mari, Dewa! Tante pergi dulu ya.”
“Silahkan, Tante!”
Maminya memandangi wajah ceria puterinya saat berada dalam mobil kembali. Tatapannya membuat Lorna tergelitik. Menurutnya pemuda itu tak hanya baik dan sopan, wajahnya juga tampan. Barangkali itu yang membuat anak gadisnya nampak antusias.
“What?” tanya Lorna.
“Ah, enggak!” jawab Mami pendek.
Lorna melirik kembali. Maminya masih tersenyum-senyum.
“What?” tanya Lorna kembali.
“Ah, enggak! Mami sudah lapar.”
Lorna lantas menghambur dalam pelukannya.
“Lelaki itu baik sekali, Mom.”
` Mami membelai wajahnya.
“Kamu sudah remaja, sayang. Tak ingin mengundang teman-temanmu di hari ulangtahunmu?”
“Ah, Mommy.”
“Kamu tak ingin merayakannya, sayang?”
“Masih dua bulan lagi.”
Lalu hening sesaat.
“Mom.”
“Ya, sayang.”
“Mommy lihat apa yang dibawa temanku tadi?”
Mommy mencoba mengingat-ingat.
“Seperti biola.”
“Persis”
“Kenapa?”
“Dia juga pintar meniup saxophone dan gitar.”
Mami mencium keningnya.
Rembulan berjalan perlahan di langit. Hati Lorna senang karena tidak turun hujan yang bisa membasahi Dewa. Terbayang dalam bayangannya, Dewa tengah membasuh keringat di wajahnya dengan tisu basah yang diberikannya sambil mengayuh sepedanya.
Lorna tersenyum sendiri. Mami senang melihat puterinya begitu bahagia.
Sementara musik instrumentalia Richard Clayderman mengalun halus dari tape mobil.