029. Pertama ke Rumah Lorna

Pagi kala mentari terus merayap ke langit. Dan sinarnya mengeringkan dedaunan dari embun. Dewa menekan bel di pintu pagar. Dibukakan Pak Karyo, supir yang biasa mengantar Lorna kemana pergi, dan keduanya sudah saling tahu.
    “O, Mas Dewa. Silahkan masuk, Mas!”
    Pak Karyo tak perlu menyuruhnya menunggu sampai dapat ijin majikannya. Biasanya dia akan minta tamu menunggu terlebih dulu sebelum memberitahukan pada majikannya tentang siapa yang datang untuk mendapat ijin menerima.
    Pak Karyo sudah mengenal Dewa. Seperti mengantar saat Nonik Lorna dalam satu mobil kerumah Dewa.Mami Lorna pernah memintanya menghentikan mobil di tengah perjalanan, untuk turun menemui lelaki itu atas permintaan Lorna. Jadi tak ada keraguan mempersilahkan Dewa masuk. Disamping Pak Karyo sendiri punya penilaian, bahwa lelaki yang jadi teman anak majikannya itu, sopan, tidak berulah, bersikap merendah dan sederhana. Apalagi kemarin saat dalam perjalanan pulang dari rumah Dewa dirinya sudah diingatkan oleh Nonik Lorna kalau Dewa akan ke rumah.
    Lorna berseru saat melihat Dewa muncul di hadapannya. Saat itu tengah berada di taman belakang sedang bercengkerama dengan Mami. Dewa diarahkan Pak Karyo menemui mereka melalui pintu samping.
    “Dewa! Mommy, Dewa datang!” suara Lorna nyaris berteriak.
    Mami yang sedang menikmati minuman berpaling dan tersenyum.
    Dewa datang menghampiri. Kali ini Lorna memiliki pandangan sendiri terhadap Dewa. Penampilan Dewa nampak rapi. Mengenakan t-shirt ketat hitam yang dibungkus jaket kulit hitam. Celana hitam lengkap dengan sabuk kulit berkepala metal dan sepatu kulit hitam. Apakah seperti ini penampilannya jika tidak bersepeda? Itu adalah pertanyaan kekaguman Lorna terhadapnya saat terkesan melihatnya.
    “Pagi Tante!” Dewa menyapa seraya membungkuk mencium punggung tangannya.
    “Pagi Dewa!”
    “Hai!” sapa Dewa mendahului Lorna yang berniat sama dengan sapaan yang sama.
    “Hai!” balas Lorna lunak.
    “Naik apa kemari?” tanya Maminya.
    “Mencoba taksi, Tante.”
    “Tak kesulitan mencari alamatnya?”
    “Saya percayakan ke supir taksi.”
    “Habisnya tak mau dijemput.” sela Lorna.
    Dewa tertawa.
    “Duduk, Dewa. Mau minum apa? Teh? Kopi?” Mami Lorna menawarkan.
    “Teh saja, Tante!”
    “Okey. Mami tinggalkan kalian di sini. Mami akan suruh Si Nah buatkan minumanmu.”
    “Terimakasih, Tante!”
    Setelah Mami masuk ke dalam. Keduanya melanjutkan pembicaraan yang sudah keduanya awali kemarin ketika berada di rumah Dewa. Membahasnya sembari mengelilingi taman belakang. Hingga berhenti di sudut taman, lokasi yang diinginkan Lorna dibuatkan kolam.
    Tak sulit bagi Dewa mewujudkan keinginan Lorna. Utamanya memastikan kebutuhan suplai air ke kolam serta pembuangan air dari kolam ke saluran umum. Secara prinsip sarana tersebut telah tersedia. Hanya tinggal membuat sketsa, mengukur dimensi luas kolam dan sarana penunjangnya.
    Setelah itu kembali duduk. Dewa melihat minuman untuknya sudah tersedia di atas meja lengkap dengan makanan pendamping.
    “Ada kesulitan?” tanya Lorna.
    Dewa menggeleng. Tanpa menunggu diminta Lorna Dewa minum capuccino yang disediakan untuknya. Wajah Lorna mencerminkan perasaan senang terhadap Dewa yang bersikap tanpa segan dihadapannya.
    “Terserah Dewa kapan mau memulai.” kata Lorna, “Anggap saja Dewa bisa memulai. Nanti Lorna siapkan pembayaran di muka.”
    “Jangan dulu!” sela Dewa.
    “Kenapa? Dewa malu bicara pembayaran?”
    “Bukan soal malu. Aku tidak tak seperti itu. Aku masih perlu waktu membuat sketsanya terlebih dulu. Menyiapkan perincian materi bahan dan pekerjaannya. Agar Lorna bisa tahu anggarannya.”
    “Maksudnya, Dewa mau membuat proposalnya?”
    “Bisa dikatakan begitu.”
    “Ah, nanti bertele-tele. Lorna maunya bersih. Lorna percayakan pada Dewa. Soal biaya tak jadi soal.”
    “Aku tahu!” Dewa memotong.
    Lorna terhenyak sesaat, menyadari ucapannya bisa menyinggung perasaan Dewa, dan itu membuatnya tak nyaman.
    “Maksud Lorna...” Lorna bermaksud menjelaskan, tapi Dewa langsung menyela.
    “Sudahlah! Bisa tolong pinjam pensil dan beberapa lembar kertas buat corat-coret.”
    “Lorna ambil dulu. Atau masuk saja ke dalam?”
    Dewa tak menolak. Kemudian  bermaksud membawa cangkir minumannya, tapi dicegah Lorna.
    “Biarkan saja disitu. Nanti Lorna akan suruh Bik Inah buat lagi di dalam.”   
    Saat itu Lorna masih mengenakan pakaian rumah, longdres berselimut kimono. Dia sudah mandi sejak bangun pagi. Demikian bersemangat karena tahu akan kedatangan Dewa. Meski sebelumnya timbul kecemasan Dewa tak menepati janji seperti yang pernah terjadi.
    Lorna memang anggun berbusana seperti itu. Pakaian yang dikenakan, memberi gambaran kematangan tubuhnya yang sedang berangkat remaja. Seperti Cinderela, gadis yang ada dalam dongeng.
    Lorna membawa Dewa ke ruang tengah yang luas. Pada sofa besar berlapis oscar, di bawah jendela lebar dan tinggi, tak jauh dari sebuah piano di sudut ruang.
    “Lorna ambilkan kertas dan pensil dulu...” kata Lorna lalu menghilang masuk ruangan lain. Sebelum kembali. Pembantunya sudah meletakan minuman pengganti yang ditinggalkan di meja taman belakang, lengkap dengan kue pendamping jenis lain, padahal kue yang di belakang belum disentuhnya.
    “Silahkan diminum, Mas.”
    “Terimakasih.”
    Rumah Lorna yang besar bertingkat. Memiliki banyak ruangan yang luas. Suasana di dalam yang lengang terasa hening. Aroma parfum bunga lavender dari menyebar ke segala penjuru. Dari tempatnya duduk. Dewa bisa melihat tiga mobil diparkir di balik dinding kaca tebal. Satu mobil sedan mercedes hitam yang biasa digunakan mengantarjemput Lorna. Sebuah sedan mitzubisi warna putih, yang ban rodanya menciptakan kasus yang kini menjeratnya. Satu lagi tak bisa memastikan karena tertutup pembungkus warna hitam. Sesaat kemudian nampak Pak Karyo mulai mengeluarkan yang mercedes ke halaman depan.
    Lorna muncul kembali dan telah berganti pakaian. Menyesuaikan Dewa dengan mengenakan celana jean hitam, t-shirt merah dilapis baju hangat berkancing depan serta syal putih membelit di lehernya. Rambutnya yang lebat tersanggul dengan jepit lebar warna putih.
    Dewa menerima kertas dan pensil dari tangan Lorna yang duduk menyudut di sampingnya.
    “Apa Dewa mau nuat sketsa sekarang?” tanyanya.
    “Nanti saja diperjalanan.”
    “Ok. Yuk, diminum. Kuenya?”
    Dewa lantas mengambil cangkir.
    “Dewa sudah breakfast, maksud Lorna sarapan?”
    Dewa tak menjawab. Kalau berterusterang tentu Lorna akan memintanya makan dulu. Dan itu akan merepotkan. Kedatangan kemari bukan untuk itu. Kalau tidak sekolah sudah terbiasa sarapan terlambat. Tapi dia tak ingin berbohong.
    “Aku coba kuenya...”
    “Brownis.” kata Lorna.
    “Brownis?”
    “Ya, brownis. Karena itu Lorna buatkan capuccino.”
    Dewa mengangguk menikmati capuccino dan brownis, sikapnya tenang meski diperhatikan Lorna. Kedatangan Dewa memberinya kebahagiaan tersendiri.
    “Kamu?” tanya Dewa.
    Lorna tersenyum menggeleng.
    “Kita tunggu Mommy sebentar, lalu berangkat.”
    “Hanya kita?”
    “Ya, kita bertiga. Biasanya hanya berdua. Kita sudah terbiasa pergi berdua bila tak ada Daddy.”
    “Di mana Daddy?”
    “Australia. Minimal dua bulan sekali ke Indonesia.”
    “Nggak rindu?”
    Lorna tersenyum manis.
    “Tiap hari berhubungan via telepon. Kalau tidak pagi ya malam. Sebelum Dewa datang, Lorna baru selesai bicara dengannya.”
    “Kenapa kamu nggak tinggal di sana?”
    “Lorna suka di Indonesia.”
    “Bahasa Indonesiamu baik. Tak ada bedanya dengan kita.”
    “Esempeku di Jakarta.”
    “Wow!”
    “Tuh, Mommy sudah siap.” kata Lorna, pandangannya tertuju pada Maminya yang sedang berbicara dengan Pak Karyo. Mami melambaikan tangan meminta mereka menghampirinya.
    Lorna membalas lambaian, lalu memandang Dewa dan bertanya.
    “Lorna tak tahu agenda kegiatan Dewa hari ini. Lorna juga tidak ingin ada kesan memaksa Dewa ikut. Kepergian ini sebenarnya sudah direncanakan minggu lalu. Lorna akan merasa bersalah bila Dewa merasa terpaksa ikut. Apakah seperti itu, De?”
    Dewa tersenyum dan berkelit.
    “Ada agenda tak berarti tak bisa berubah, karena ada yang namanya skala prioritas. Jadi, jangan merasa bersalah karena bagiku tidak ada masalah. Aku selalu bersedia menemanimu bila itu membuatmu senang.” jawab Dewa lembut.
    Hati Lorna berbunga. Jawaban itu terasa dewasa. Sungguh tak salah bila keberadaan Dewa menurutnya seakan ikut jadi payung yang memberikan perasaan aman dan nyaman. Terbukti, kejadian belakangan, bagaimana Dewa telah melakukan upaya sendiri melakukan pengHasliman terhadap siapapun yang telah menjahati dirinya, meski kebenarannya dia ragukan sebab Dewa belum menceritakan hal sesungguhnya.
    “Terimakasih, Kangmas.” jawab Lorna menggoda.
    Dewa tertawa renyah.
    “Yuk, berangkat, Diajeng. Mami sudah di mobil.”
    “Ayo!”
    Lorna tersenyum.