030. Ke Selekta

Mami mengambil tempat di depan agar Lorna dan Dewa leluasa berbahas apa yang sedang menjadi keinginan puterinya.
    Mami selalu bersikap hati-hati dalam hal puterinya memilih teman meski memanjakannya. Karena tak ingin hal buruk menimpa anak satu-satunya. Tapi dia percaya, puterinya bisa memilah mana yang baik dan yang tidak, tahu bahwa puterinya cerdas dan tegas menurun sifat Papinya, kalaupun bersikap lembut dan sensitif itu lantaran bawaan setiap gadis.    
    Dari kaca spion yang ada di atasnya. Mami melihat mereka berdua sedang asyik berbincang. Dilihatnya puterinya duduk merapat, seksama memperhatikan Dewa yang sedang membuat sketsa kolam untuknya.
    “Akan kuberi hamparan batu gilang di sekeliling kolam selebar satu setengah meter. Kamu bisa berkeliling tanpa alas kaki, atau duduk-duduk memperhatikan teratai atau ikan dalam kolam tanpa takut kotor. Akan kucarikan hamparan batu gilang yang rata dan bersih.” Dewa menjelaskan dengan menunjuk pada sketsa.
    Dia merasakan Lorna duduk merapat padanya, sehingga aroma rambutnya yang menyegarkan terasa menyeruak ke lubang hidungnya.
    “Lorna jadi pingin cepat selesai.” kata Lorna dengan wajah ceria.
    “Tapi aku tak bisa mengerjakan sendiri kalau kamu ingin cepat.”
    “Terserah Dewa yang mengatur.”
    “Terutama saat melakukan galian lubang kolam.”
    “Ya, Lorna mengerti itu.”
    “Tanah galian tak akan terbuang. Bisa digunakan untuk menciptakan landscape agar tak monoton.”
    “Seperti gundukan?”
    “Begitulah, tapi tetap landai agar pandangan tetap terasa luas.” kata Dewa seraya membuat sketsa yang dimaksud.   
    Lorna menikmati betapa piawainya jari Dewa dalam membuat sketsa.
    “Lorna pikir. Sebaiknya Dewa tak perlu membuat detail sketsa, apalagi menyusun daftar rinciannya. Lorna tak ingin hal itu hanya akan terasa repot. Lorna paham kalau Dewa bermaksud untuk meyakinkan dengan memperlihatkan perencanaan dan proses pengerjaan. Sudahlah! Silahkan Dewa kerjakan.” Lorna memberi komentar.
    “Dewa!”
    “Ya, Tante!”
    “Sudahlah! Buatkan kolam untuk bidadariku.” Mami ikut nimbrung. “Kamu sanggup kan?”
    “Ya, Tante!”
    “Kapan kamu akan mulai mengerjakan?”
    “Biarlah Dewa sendiri yang akan memutuskan sendiri waktunya, Mommy!” kata Lorna tak ingin Dewa mendapat tekanan.
    “Sorry, Honey!”
    “Maaf, Dewa.” Lorna meminta maaf.
    Dewa tersenyum tak mempersoalkan.
    “Terserah kapan Dewa mau memulai.” Sebenarnya Lorna ingin melanjutkan bahwa dirinya mengerti situasi Dewa yang sedang menghadapi masalah. Tapi dia tidak ingin Mami mengetahui hal itu.
    Kurang dari setengah jam jarak tempuh perjalanan mereka sampai ke Selekta. Udara cerah. Langit biru. Gugus awab hanya nampak dikejauhan di kaki langit. Pertanda tak akan turun hujan.
    “Apakah kita nanti akan beli ikan di sini?” tanya Lorna saat di atas jembatan pintu masuk yang di bawahnya terdapat kolam ikan. Lorna memperhatikan ikan mas yang berenang dalam air jernih.
    “Kita cari di Punten. Di sana penduduknya banyak yang menernak. Ada Balai Perikanan. Kita juga bisa beli bibit di tempat itu.”
    “Dewa tahu?”
    “Kalau aku perlu selalu membeli bibit di sana.”
    “Ajak Lorna nanti kalau membeli ikannya ya?”
    “Kita tunggu selesai kolamnya dulu. Walau kolam sudah jadi dan diisi air. Masih memerlukan waktu sebelum kolam bisa dimasukan ikan. Tanaman air seperti perdu air dan teratai kita biarkan beradaptasi dulu.”
    Dewa memberi penjelasan bila Lorna berada di dekatnya. Dewa juga tidak ingin Lorna kehilangan keakraban dengan Maminya. karena kepergian mereka ke tempat itu bermaksud sebagai berpelesir, bersantai, menikmati suasana untuk mengistirahatkan kejenuhan mereka.
    Sebaliknya Lorna juga tak ingin berjauhan dengan Dewa meski dirinya sesekali menggelayut memeluk pinggang Maminya.
    “Honey!”
    “Ya, Mom!”
    “Kita ke restoran di atas. Kita mencari tempat duduk di sana. Kita pesan makanan dan minuman.”
    “Kenapa nggak keliling dulu?”
    “Kalian saja yang keliling. Mami tunggu di sana.”
    “Ah, Mommy!” keluh Lorna.
    “Kaki Mami tak sanggup untuk berjalan naik turun di taman yang berlereng seperti itu.” kilah Mami.
    Lorna tertawa.
    “Nanti kupijit kaki Mommy kalau capai.”
    Maka Nyonya Ivana memilih menunggu dan menikmati pemandangan dan suasana di taman rekreasi Selekta. Dari tempatnya duduk di restorant, pandangan ke bawah terlihat jelas orang-orang yang sibuk berenang dan bermain air di kolam pemandian.
    Nyonya Ivana bisa bebas sendiri lantaran puterinya ada yang menjaga saat berkeliling di taman yang ada di Selekta. Disadarinya bahwa selama ini puterinya baru pertama kali memiliki teman lelaki yang bisa membuatnya ceria. Barangkali puterinya merasa Dewa telah begitu baik tanpa ada maksud lain. Menurutnya Dewa juga bersikap sopan bersahaja. Sikapnya yang familiar membuat puterinya nampak membalas dengan sikap yang sama.
    Nyonya Ivana membalas lambaian tangan puterinya yang sudah berada di bukit di kejauhan sebelum lenyap di balik pepohonan. Mereka terus menyusuri jalan setapak ke puncak lereng bukit. Nyonya Ivana tak kawatir, sebab ada Dewa yang akan menjaga.    Sementara itu, tanpa lorna sadari kerap menerima uluran tangan Dewa bila melintas di tanjakan.
    Setelah melalui tanjakan jalanan setapak. Keduanya berhenti dan duduk di atas batang  pohon pinus tumbang yang sengaja dijadikan sarana duduk. Dari tempat itu, mereka bisa menikmati pemandangan kota Batu di kejauhan, gunung Kawi melatarbelakangi gunung Panderman.
    Lorna memberi Dewa selembar tisu basah.
    “Terimakasih.”
    “Seharusnya di restorant tadi kita beli minuman kaleng.” kata Lorna sembari menyeka ujung hidungnya yang berkeringat.
    “Nanti kita beli, siapa tahu ada yang jual keliling.”
    Seperti kata Dewa. Tak lama kemudian melintas penjaja asongan. Dewa membeli air mineral saja, sebab Lorna tak mau yang lain.
    Lorna memandang ke kejauhan. Angin berhembus menerpa wajahnya, menggerakkan helaian rambut yang ada di keningnya. Tatapannya seperti melamun.
    Untuk beberapa lama keduanya merenung. Lembabnya udara membuat Lorna tak merasa kegerahan dengan baju hangatnya, begitu pula dengan Dewa.
    “Kita lanjutkan perjalanan?” Dewa bertanya seraya memandang lurus ke gunung Kawi di kejauhan.
    “Kita di sini saja.” jawab Lorna lembut dengan pandangan lurus ke kejauhan sebagaimana Dewa.
    Untuk sesaat keduanya saling membisu kembali. Keheningan diisi deru suara angin yang bertiup di sela-sela daun pohon cemara pinus.
    Hingga Lorna menyebut namanya.
    “De...” panggil Lorna dengan suara lunak.
    Dewa berpaling. Melihat sekilas wajah anggun Lorna dan sepasang matanya yang indah.
    “Lorna tak pernah seakrab ini dengan seseorang sebelumnya.” kata Lorna masih lembut suaranya.
    Dewa tak menimpali. Masih melemparkan pandangan ke kejauhan. Menunggu Lorna meneruskan apa yang ingin diutarakan. Belum mengerti maksudnya.
    “Bisakah Dewa ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi antara Dewa dengan Timmy kemarin?”
    “Kenapa kamu menanyakan itu?”
    Saat Lorna berpaling menatapnya, Dewa enggan membalas sebab wajah itu mengingatkan kembali riman wajahnya saat menjenguknya di kantor polisi.
    “Lorna juga belum tahu sejauh mana Dewa bisa terlepas dari masalah itu.”
    “Sebaiknya kita tak membicarakan hal itu.” jawab Dewa dengan nada lemah. “Itu hanya akan membuat perasaanku padamu menjadi tak nyaman karena yang sudah terjadi tak mungkin dibatalkan.”
    Lorna tersenyum getir karena sesungguhnya ingin membicarakan. Biar segala perasaan yang membuat gusar yang mereka rasakan tak lagi jadi beban.
    “Lorna merasa takut, De.” Lorna berterus terang.
    Dewa merasa bersalah bila gadis bermata biru itu selalu mengungkapkan kecemasannya.
    “Apa yang kamu takutkan?”
    Lorna balas memandang. Pandangan pun beradu.
    “Karena Lorna tak ingin Dewa dipenjara.”
    Dewa menahan nafas lalu menghela panjang.
    “Kenapa kamu berpikir begitu?”
    “Karena kasusmu belum selesai.”
    “Kecemasanmu berlebihan. Belum ada sidang.”
    “Justru itu yang membuat hatiku sedih. Tak tahu apa hasil keputusan sidang karena Lorna tidak tahu duduk perkaranya.”
    Ya, wajah Lorna memang menyiratkan kesedihan dan kecemasan.
    “Kenapa kamu mencemaskan aku.”
    “Karena ada Dewa di sekolah membuat Lorna merasa ada yang memperhatikan.”
    “Bukankah sudah banyak yang memperhatianmu seperti Ronal?”
    “What?” Bola mata Lorna terbelalak, “Apa maksud Dewa?”
    Dewa diam mengalihkan tatapannya.
    “Apa maksud Dewa menghubungkan dengan Ronal?” Lorna bertanya mendesak.
    Tapi Dewa enggan mengungkapkan alasannya. Dan itu membuat Lorna bertanya, ada apa dengan Ronal dan Dewa? Apakah timbul persaingan antar keduanya dalam segala hal termasuk perhatian terhadap dirinya. Lorna tahu kalau Ronal paling mencolok yang berusaha melakukan pendekatan pada dirinya, meski tak melakukan upaya sebagaimana cowok yang lain yang melayangkan surat maupun sms yang mengatakan ingin menjadi pacarnya.
    Apakah Dewa merasa cemburu terhadapnya. Kalau seperti itu, Lorna jadi memahami karena dari sikapnya, Lorna merasakan kalau Dewa juga merasakan perasaan yang dirasakannya.
    “Dewa cemburu padanya?” Lorna memberanikan diri untuk bertanya. Suaranya lunak.
    Dewa berpaling menatapnya, tidak ingin menjawab pertanyaan itu, kata cemburu itu sendiri membuatnya bingung bukan kepalang.
    “Lorna belum pernah sedekat ini dengan seorang cowok.”
    “Kamu sudah mengatakan itu.”
    “Hanya denganmu.”   
    Keduanya saling memandang dalam diam. Dengan begitu keduanya bisa saling mengetahui detail wajah masing-masing dengan jelas. Lorna menunggu reaksi Dewa, sementara Dewa ingin menghindarkan persepsi yang salah atas hubungan keduanya.
    Akhirnya Dewa harus berterus-terang.
    “Aku curiga Ronal berada di balik semua ini.”
    Lorna mengerenyitkan kening.
    “Tadinya, aku tidak punya alasan tak menyukainya karena aku tak tahu alasannya tidak menyukaiku.”
    Lorna teringat ketika Dewa menemuinya di kelas tiba-tiba datang Ronal bersama Timmy yang tanpa disangka tiba-yiba mendorong tubuh Dewa agar menjauhinya. Ronal pikir dirinya sedang berselisih dengan Dewa. Itukah yang dimaksud Dewa?
    “Lalu?”
    “Aku tahu.”
    “Apa?”
    “Karena kedekatanku denganmu.”
    Dewa memberi jawaban terbalik atas anggapannya dirinya cemburu, padahal Ronal yang cemburu.
    Dewa berdiri melangkah ke sisi tebing.
    “Jadi ada yang tidak menyukai kita berdekatan” tanya Lorna.
    “Menurut Lorna apa?”
    Lorna tak menjawab.
    Dewa kembali duduk di sebelah Lorna yang masih duduk melipat tangan sembari memperhatikan Dewa yang kehabiskan air mineral lalu meletakkan botolnya yang sudah kosong di bawah batang kayu yang di dudukinya.
    Lorna menyodorkan botol air mineral miliknya yang isinya masih banyak. Dewa menerima lalu meneguk isinya. Hal itu dilakukannya bukan lantaran haus. Itu hanya untuk mengusir kegalauan hatinya bila sedang membicarakan masalahnya.
    Lorna sesungguhnya merasakan itu di wajah Dewa. Barangkali itu alasan Dewa tidak ingin membicarakan masalahnya. Namun Lorna ingin mengetahui duduk persoalan yang sesungguhnya sampai dia harus ditahan di kantor polisi. Lorna ingin tahu kejelasan, dia ingin membantu Dewa semaksimal yang bisa dilakukannya.
    “Kenapa Dewa tertutup soal itu pada Lorna?”
    Dewa mengembalikan botol air mineral.
    “Aku tak ingin Lorna tahu cerita kekerasan dariku.”
    “Bukankah lebih baik Lorna mengetahui langsung dari Dewa daripada orang lain?”
    Dewa melipat tangan sebagaimana Lorna. Menarik nafas. Pandangannya kosong kedepan. Lalu diam sesaat sebelum bertanya pada Lorna dengan tatapan tetap lurus ke depan. Sementara Lorna masih tak mengalihkan perhatiannya dari wajah Dewa.
    “Lorna ingin kita berdua saling terbuka.” 
    “Kamu benar soal keterbukaan. Tapi bukan berarti tak peduli terhadap sesuatu yang bisa menimbulkan perasaan tak nyaman.”
    Lorna memberikan kembali botol minumannya pada Dewa. Dewa menerima lantas meminum seteguk.
    “Kenapa Dewa berpikir itu akan membuat perasaan Lorna tidak nyaman?”
    “Aku yang merasa tak nyaman dengan kesedihanmu saat menjenguk di kantor polisi.”
    “Itu karena Lorna tak mengharapkan Dewa berada di sana. Banyak kecemasan pada saat itu yang Lorna rasakan, hingga tak kuasa menanggung perasaan itu.”
    Dewa berpaling menatapnya yang sejak tadi memandang dirinya kali ini dengan wajah sedih. Setahunya gadis yang ada di hadapannya ini satu-satunya yang menangisinya, yang menjenguk selain Ndari dan Beny. teman sekelasnya.
    “Aku tak ingin kamu menangis bila aku ceritakan.” bisik Dewa lembut.
    “Lorna akan menangis bila Dewa tak mau cerita.” balas Lorna lunak.
    “Aku tak bermaksud melibatkanmu.”
    “Lorna tahu, Dewa.” sela Lorna yang tak sabar.
    Maka Dewa pun mulai bercerita. Dan Lorna menyimak dengan seksama. Meski ternyata Lorna juga tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya saat mendengar cerita Dewa. Dan sebelum Dewa mengakhiri ceritanya, Lorna sudah tenggelam dalam tangis kesedihan.
    Dewa berusaha menenangkan.
    “Kamu tidak bersalah Dewa.”
    Dewa tersenyum getir.
    “Aku sudah membuat wajahnya babak belur, gigi copot, dan tulang kaki retak, bagaimana bisa dikatakan tak bersalah. Biar Haslim yang menilai nanti.”
    “Tapi, Dewa tidak memulai perkelahian itu.”
    “Kenyataannya aku membuatnya masuk rumah sakit.”
    “Tapi dia yang memulai menggembosi ban.”
    “Ya, tapi setidaknya jangan main Haslim sendiri.”
    “Tapi Dewa hanya bertahan.”
    “Tapi kesannya aku melakukan pembalasan.”
    Lorna mengeluh lantaran Dewa bersikeras dengan pembenarannya.   
    “Kenapa Dewa tak mengajukan saksi beberapa tukang becak yang menyalsikan dan berusaha melerai.”
    Dewa diam menatap mata Lorna tajam.
    Karna aku tak ingin melibatkanmu kalau kuajukan saksi, karena kamu juga akan ikut menjadi saksi. Namun jawaban itu hanya ada dalam pikiran Dewa saja.
    “Sepertinya Dewa menguasai ilmu beladiri?” tanya Lorna lunak.
    “Sejak SD aku melatihnya. Agar bisa percaya diri. Tak mempunyai saudara membuatku harus bisa membela diri dari anak-anak yang bermaksud jahat padaku.”
    Keduanya saling memandang. Dewa bisa merasakan wajah Lorna yang cantik, kulit halus tanpa make up, bibir merah muda tanpa lipstick, dagu oval, hidung bangir lengkap dengan lekuk lipatan di atas bibir, pertemuan kening yang ditumbuhi rambut halus keemasan, alis tegas melengkung melengkapi indahnya bola matanya yang berwarna biru.
    Lorna membiarkan bola mata Dewa dengan sorotnya yang dingin dan tajam menelusuri wajahnya. Sebaliknya Lorna pun leluasa meneliti wajah Dewa yang membuat gadis=gadis di sekolah menaksir. Dewa memang ganteng meski nampak dingin dan tak peduli. 
    Dewa membetulkan syal di leher Lorna saat angin lembah yang dingin bertiup menerpa wajahnya. Menyelipkankan rambut yang terurai ke sela daun telinganya. Dan itu membuatnya mengatupkan mata. Menganggapnya sebagai belaian kasih sayang dan perhatian terhadap dirinya. Sikap yang menggambaran perasaan cinta.
     “Hapus airmatamu. Aku tak ingin Mami tahu.”
    Lorna menurut. Ya, ucapan itu dirasakannya sebagai ungkapan cinta? Benarkah Dewa mencintaiku? Lantas, apakah perasaanku juga seperti itu? Itulah pertanyaan yang muncul dalam benak Lorna.
    Dengan tisu basah Lorna menyeka bawah mata serta lembah antara hidung dan pipi tempat alur bergulirnya airmatanya.
    Ponsel Lorna berbunyi yang berasal dari Mami. Lorna menerima lalu berbicara untuk beberapa saat. Dewa memberinya privasi dengan melangkah menjauh.
    “Mommy minta kita kembali untuk makan siang.” kata Lorna kepada Dewa setelah selesai.
    “Ok, kita ke sana. Kamu akan kecapaian kalau kita terus naik melingkari lereng bukit di atas sana.”
    “Lorna tak khawatir, kan ada Dewa.”
    Dewa tersenyum.
    “Maksudmu aku akan menggendongmu?”
    Lorna mengangguk menggoda. Lalu tertawa kecil.
    Mereka kemudian beranjak dari temoat tersebut. Dewa menggandeng tangannya saat melintasi jalan setapak yang permukaan tanah lebih tinggi dari posisi tempat yang mereka tinggalkan.
    Tanpa disadari mereka kerap bergandengan lantaran jalanan yang dilalui kadang menanjak dan menurun, memaksa Dewa membantu menarik dan menjaga agar Lorna tidak tergelincir di jalanan setapak yang curam.
    Lorna merasa hubungannya dengan Dewa seperti sepasang kekasih, meski tak tahu apakah Dewa memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Namun sikap yang diperlihatkan Dewa, memberinya kesimpulan seperti itu, terlepas apakah Dewa bersikap sebagai seorang kakak kepada adiknya, karena yang dia tahu perbedaan usia dengan Dewa terpaut delapan bulan, di mana Dewa memiliki tanggal dan bulan kelahiran lebih dulu. Lorna sudah mencatat profil Dewa di dalam buku hariannya.
    Dalam perjalanan mereka tak langsung menuju ke tempat Mami berada. Keduanya masih ingin menikmati taman yang dilewatinya. Hamparan rumput di taman, membuat keduanya saling berkejaran, saling menggoda, saling melempar biji pohon cemara pinus yang dipungut dari atas tanah. Hingga keduanya lelah dan terduduk di atas rerumputan.
    Lorna menyeka kembali wajahnya dengan tisu basah seraya menatap Dewa memejamkan mata, menghindari cahaya menyilaukan dari langit biru yang cerah. Saat itu mentari nyaris di kulminasi.
    “Guru geografi punya rencana pada liburan setengah semester akan mengadakan kemping sambil melakukan studi lapangan.” kata Lorna yang duduk di samping Dewa yang merebahkan diri di atas rumput.
    Dewa merasa ujung hidungnya ada yang menggelitik.  Ketika mengintip dari sela pelupuk mata. Lorna tengah menggodanya dengan sehelai rumput.
    “Mungkin untuk kelasmu.” jawab Dewa sembari menangkap batang rumput yang dipegang Lorna dengan giginya.
    Lorna tertawa.
    “Mengambil lokasi di mana?” tanya Dewa.
    “Belum tahu.”
    Karena tak berhasil menangkap helai rumput di tangan Lorna, Dewa lalu bangun, duduk, masih membiarkan Lorna menyapukan helai rumput ke wajahnya, dengan menahan geli.
    Lorna menyudahi setelah Dewa menangkap tangannya dan memijit ujung hidungnya sesaat.
    Lorna berteriak manja.
    Dewa mengambil tisu bekas yang baru saja digunakan Lorna, untuk menyeka wajahnya.
    “Hei, pakai yang baru!” Lorna melarang.
    “Ini masih bersih.”
    Meski memprotes, dari sorot mata Lorna, Dewa bisa menangkap gadis itu sesungguhnya senang, karena Dewa takl merasa jengah ataupun jijik bekas dirinya.
    “Apakah kita lanjutkan jalan menemui Mami?” tanya Dewa.
    “Lorna masih mau di sini. Tapi kita harus makan siang dulu. Dewa tentu sudah lapar.”
    “Nanti bisa kita lanjutkan menelusuri tempat yang lain kalau masih pingin melihat-lihat panorama.” Dewa menghibur.
    Wajah Lorna bersemangat.
    Dewa lalu berdiri. Dengan manja Lorna minta Dewa membantu menariknya berdiri.
    Bagi Lorna betapa menyenangkan saat-saat seperti itu, bisa akrab dengan lelaki yang baik dan penuh perhatian. Merajut kebersamaan dengan lelaki yang kerap sulit dia temui. Lelaki yang di sekolah selalu soliter, selalu menyibukkan diri. Yang sikap terhadap dirinyanya seperti telah saling mengenal bertahun-tahun. Yang punya banyak talenta tapi tetap bersahaja.
    Mengajaknya berlibur kali ini diharapkan membantu Dewa melupakan sejenak masalah yang membelitnya.
    Pulang dari Selekta dan beberapa tempat rekreasi di Batu. Setelah membersihkan badan, Lorna langsung berangkat tidur. Sebelum terlelap berusaha mengenang kembali saat menikmati kebersamaan berada di taman di antara tanaman bunga, di bawah cerahnya langit biru, mengejar kupu-kupu yang mengumpulkan nektar pada kuncup bunga yang bermekaran. Semua yang terjadi hari ini membuatnya bisa tidur nyenyak.
    Seperti biasa, Nyonya Ivana menjenguk puterinya dikamar untuk mengucapkan selamat tidur, walau seringkali melihatnya belum tidur, terkadang masih melakukan sesuatu atau sibuk dengan komputer.
    Namun kali ini mendapatinya sudah terlelap. Meski begitu Nyonya Ivana tetap menghampiri, mengecup bibirnya, serta pipinya yang halus sebelum meninggalkan kamarnya.
    Bangga memiliki puteri dengan paras bak bidadari. Yang tidak lagi gadis kecil yang tak mau tidur sendiri. Tubuh yang tumbuh semampai, pinggul mekar, dada berkembang. Cukup alasan memilih tidur sendiri, meski tak jarang minta ditemani.
    “Good night, Sweetheart!” bisiknya.