006. Mencari Kelas

Hari Senin. Pertama kali yang harus dilihatnya adalah daftar pembagian kelas. Namun Lorna tak perlu melihat daftar itu, karena dari kejauhan Rahma berteriak memanggil namanya.
    “Lorna! Kita satu kelas!” teriaknya berlarian menghampiri.
    “Siapa lagi?”
    “Nggak tahu! Kan, baru kamu yang kukenal!”
    “Terus, cewek sebelahku kemarin?”
    “Siapa? O, itu, yang kenal cowok ganteng itu?”
    “Cowok ganteng yang mana?”
    “Yang kena hukum semalam...”
    “Maksudmu Dewa?” tanya Lorna menyela.
    “Ya. Tapi, cewek itu belum datang. Aku lupa namanya, percuma kita cari di daftar! Dan aku barusan dari kelas mencarimu. Aku juga sudah tandai tempat duduk buat kita, biar sebangku!”
    “Dewa?”
    “Sepertinya nggak ada di daftar kelas kita! Tapi cowok gitaris yang satunya itu, satu kelas dengan kita!”
    “Siapa?”
    “Ronal!”
Penjelasan Rahma memudarkan keceriaan di wajah Lorna.
    “Kenapa?”
    “Ah, nggak. Aku belum sempat bilang terima kasih ke Dewa kemarin.”
    “Bagaimana kalau kita ke kelas?”
    “Ntar aja, tunggu bel masuk!”
    “Kalau begitu kita keliling-keliling dulu!”
    Lorna senang dengan ajakan itu. Sekalian melihat lingkungan sekolahan. Siapa tahu jumpa Dewa. Lantas, selama berkeliling Lorna jadi pusat perhatian.
    “Hallo bule!”
    “Hai!”
    Meski dipanggil seperti itu, Lorna berusaha bersikap ramah, membalas setiap sapaan. Menyadari, barangkali hanya dirinya, satu-satunya siswa yang bermata biru.
    Banyak yang berusaha menyalaminya.
    “Boleh kenalan?”
Yang berani menghadang langkahnya kebanyakan mereka yang sudah duduk di kelas dua dan tiga. Lorna tetap menyambut baik, meski Rahma selalu menarik pergelangan tangannya meneruskan langkah menghindari mereka.
    “Kita ke belakang!”
    “Ke toilet?”
    “Bukan! Lihat kantin di belakang dekat parkir sepeda!”
    Mendengar kata parkir, wajah Lorna bersemangat.
    ”Apa saja yang ada di kantin?”
    “Mana kutahu!”
    “Yuk!” ajak Lorna tak sabar.
    Ternyata kantin penuh anak laki-laki. Rahma memaksa masuk. Barangkali ada makanan yang menarik minatnya.
    “Masuk, Na!”
    Lorna menggeleng enggan, tempat duduk di dalam terisi semua. Apalagi dirinya jadi pusat perhatian.
    “Kucarikan tempat duduk!”
    “Sudahlah. Kutunggu di sini kalau kamu mau cari makanan!”
    “Hei, ya nggak begitu. Aku mau kalau kita berdua!”
    Seseorang merelakan tempat duduknya buat Lorna.
    “Thank you!” ucap Lorna.
    “Namaku, Bram!”
    Lorna menyambut salam tangannya.
    “Hai, Bram!”
    “Hai juga! Kamu cantik!”
    “Thank you, Bram!”
    “Matamu biru!”
    “Matamu hitam! Bram. Terima kasih tempat duduknya!”
    “Sudah ya, Bram. Giliranku dengan si mata biru ini!” Rahma menyela.
    “Yo i...yo i..!”
    Rahma berupaya menjauhkan Lorna dari siapa pun yang bermaksud mendekatinya. Dan dari tempatnya duduk, Lorna mengawasi tempat parkir. Tak melihat sepeda kuno milik Dewa seperti harapannya. Mungkin, belum datang. Hiburnya di hati.
    “Aku bawa motor!” kata Rahma, “Aku bisa memboncengmu pulang nanti, kalau kamu mau. Kuantar sampai rumah. Aku pingin tahu rumahmu!”
    Lorna tersenyum. Tapi tidak bilang kalau Papi dan Maminya melarangnya naik sepeda motor.
    “Aku lebih suka naik becak! Mulai berlangganan besok!”
    “Kenapa tak pakai mobil, kan ada supir pribadi?”
    Lorna tersenyum. Rahma suka sekali melihat senyumnya.
    “Nggak bebas!”
    “Wow! Cewek bule memang suka kebebasan!” teriak Rahma tanpa sadar.
    “Rahma!” pekik Lorna tertahan.
    “Upss!” Rahma segera menutup mulut dengan telapak tangan, “Sori...sori!” Lalu menarik pergelangan tangan Lorna, dan segera berlalu dari tempat itu.
    “Aku bukan bule, Rahma!”
    “Habis apa?”
    “Jawa!”
    “Mana ada gadis jawa matanya biru!”
    “Mommy ku jawa!”
    “Blasteran kalau gitu!”
    Sambil berlarian kecil, Lorna tertawa geli melihat sikap Rahma.
    Saat berlari menuju kelas, mereka berpapasan dengan Ndari.
    “Hei!”
    “Hai! Kamu!”
    “Kalian sekelas!” kata Ndari.
    “Kita lupa namamu!” kata Lorna.
    “Ndari!”
    “Kamu?” tanya Lorna lagi.
    Ndari menggeleng.
    “Sudah lihat kelas?” tanya Ndari.
    Rahma mengisyaratkan sudah dengan menunjuk dadanya sendiri, lalu menunjuk Lorna, memberi isyarat kalau gadis bermata biru itu belum.
    “Tapi si mata biru ini masih pingin di luar, nunggu bel!”
    “Ntar kehabisan bangku strategis!”
    “Sudah aku tandai, tapi cuma aku dan dia, kamu belum, habis lupa namamu.”
    “Ah, nggak pa pa. Lalu ngapain kita di luar?”
    “Lihat-lihat saja!” jawab Lorna.
    Ndari memperhatikan matanya. Indah sekali, pikirnya. Biru, seperti butiran kelereng.
    “Hari ini kita cuma masuk setengah hari. Bagaimana kalau sepulang sekolah pergi cari bakso?” Ndari menawarkan.
    “Kemana?”
    “Nggak jauh kok. Di stasiun!”
    “Stasiun kereta?” tanya Rahma.
    “Ya, kita jalan kaki saja!”
    “Kamu lihat Dewa?” tanya Lorna tiba-tiba dengan spontan pada Ndari. Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Barangkali lantaran dia pikir, Ndari begitu mengenal Dewa, maka dianggapnya pasti tahu. Atau barangkali, akibat terus menerus memikirkan Dewa sejak kemarin. Bisa jadi begitu.
    “Belum lihat. Memangnya kenapa?” tanya Ndari curiga.
    “Hayo!” Rahma meledek.
    “Hayo kenapa?” Lorna balik tanya, heran. Tapi kemudian menyadari maksud ledekan Rahma.
    “Ah, nggak. Nggak seperti pikiran kalian. Aku cuma mau bilang terima kasih atas bantuannya kemarin.”
    “O itu!” kata Rahma dan Ndari bersamaan.
    “Ternyata dia keren juga, ya?” kata Rahma.
    “Kamu tahu banyak tentang dia?” tanya Lorna.
    “Dia satu SMP denganku!”
    “Pantas!” kata Rahma.
    “Waktu perpisahan sekolah, dia didaulat unjuk kebolehan. Dia ikut anggota kelompok keroncongnya pak Sastro. Dia yang termuda, lainnya sudah tua-tua.” Ndari menjelaskan.
    “Terus?” tanya Lorna penasaran.
    “Siapa pak Sastro?” tanya Rahma.
    “Tetanggaku!”
    “Pantas tahu betul!”
    “Rumahnya dekat dengan rumahmu?”
    “Jauh!”
    “Kamu tahu rumahnya?”
    Ndari mengangguk. Sejak kemarin gadis bermata biru ini banyak sekali bertanya tentangnya. Naksir kali.
    “Kamu sekelas dengannya?” tanya Lorna lagi.
    “Kayaknya begitu.”
    “Ntar kita tunggu kamu di pintu gerbang.”
    “Yo i!”
    Saat bel masuk kelas berdentang, Lorna tetap tak melihat keberadaan Dewa. Keinginan bisa sekelas dengan Dewa, tak kesampaian. Lorna berusaha menghibur diri akibat perasaan kecewa tak bisa sekelas dengan Dewa. Saat ini barangkali Dewa sudah ada di kelasnya. Barangkali Dewa terlambat masuk seperti kemarin.
    Di hari pertama masuk tak ada pelajaran. Acaranya hanya saling berkenalan, terutama dengan wali kelas mereka.
    Ketika pulang, perasaan kecewa Lorna kian menjadi-jadi, pasalnya, Ndari memberitahu kalau Dewa tidak masuk. Saat diabsen tetap tak ada pemberitahuan. Lorna cemas kalau Dewa sakit barangkali karena kehujanan sepulang malasm inagurasi semalam.
    Sementara itu, hari belum genap di titik kulminasi. Aroma tanah basah bekas hujan deras semalam menguap di bakar mentari. Kanopi pohon trembesi sepanjang tepi jalan Tugu nampak segar. Begitu pula rumput dan tanaman di sekeliling kolam Tugu, nampak segar berseri. Kupu-kupu berterbangan di sekumpulan bunga berlomba dengan lebah berebut nektar.
    Hanya hati Lorna yang tak sesegar bunga-bunga bougenvile yang tumbuh dekat lapangan voli.