036. Lorna Bersedih

Lorna menangis saat menuju ke rumah Dewa. Dia harus ke rumah Dewa. Pertama mengantarkan makanan yang sudah dipesannya untuk Ibu Dewa. Kedua ingin menyelesaikan persoalan yang baru saja terjadi.
    Saat tiba di rumah Dewa, Lorna tak melihatnya karena dirinya tiba lebih dulu. Kedatangannya di sambut akrab oleh Ibu Dewa. Yang memberinya pelukan dan ciuman di pipinya.
    “Kangmasmu sejak siang pergi, Nduk. Kamu mau menunggu atau pulang?”
    “Lorna menunggu saja, Bu.”
    “Tapi sepertinya, Kangmasmu bisa lama. Tumben saja sepedanya yang pulang dulu diantar Sumadi.”
    Ibu Dewa tidak tahu bahwa yang berinisiatif mengantarkan sepeda itu adalah dirinya.
    “Ibumu ini tak bisa menemanimu. Karena masih ada pekerjaan tanggung yang perlu diselesaikan...”
    “Tak apa Ibu. Lorna akan menunggu di ruang depan.”
    “Terserah kamu mau di mana saja. Menemani Ibumu membatik ya tidak apa.”
    “Lorna tidak ingin mengganggu Ibu.”
    “Kamu tidak pernah menganggu Ibumu, Cah ayu! Di ruang depan di bufet ada banyak buku bacaan punya Kangmasmu. Baca-bacalah!”
    Lorna tak menyentuh buku-buku yang ada di ruang depan. Untuk beberapa saat dirinya sibuk bertelepon dengan Maminya lalu kepada Rahma dan Grace. Hingga tanpa dia sadari dirinya terkantuk dan tertidur di sofa karena lelah menunggu kemunculan Dewa.
    Beruntung hari ini tidak hujan. Bahkan tidak mendung, sebab langit nampak cerah. Kerlipan bintang satu persatu muncul di langit yang mulai kelabu dan gelap.
    Hingga dia tidak menyadari Dewa sudah pulang dan kini duduk menunggu di kursi di sebelahnya. Udara yang merangkak gelap membuat udara dingin mulai menyergap. Dia melihat gadis itu sesekali menggeliat merasakannya udata dingin. Hingga membuat Dewa masuk ke dalam kamarnya mengambil jaket untuk menutupi tubuh gadis itu.
    Saat Dewa mulai menyalakan lampu ubntuk memberi penerangan kamar di tempat mereka berada. Cahaya lampu mengusik kesadaran Lorna dari tidurnya. Dia lantas merasakan sebuah jaket menutupi badannya. Dan perlahan memulihkan keadaan dirinya.
    Dia melihat Dewa yang duduk di sebelahnya seperti sedang terpaku dengan sebuah bacaan di tangannya. Lorna lalu melipat jaket yang digunakan menutupi badannya.
    “Pakai saja, udara dingin.” Kata Dewa mencegahnya.
    Lorna lantas menuruti dan mengenakan jaket itu.
    “Lorna menunggumu...”
    “Ibu sudah cerita.” Dewa memotong.
    Lorna terdiam dan memandangnya dengan tatapan sayu. Terpancar kesedihan dalam wajahnya.
    “Hari sudah mulai malam. Sebaiknya kamu pulang.” kata Dewa lembut.
    Lorna mengangguk karena menyadari itu. Tapi satu hal yang tak bisa dielakkannya adalah aliran airmata yang kini tiba-tiba bergulir di pipinya menyusul isak tangisnya yang berusaha ditahannya.
    “Kenapa Dewa tidak memberitahukan Lorna kalau Dewa mendapat skorsing dari sekolah?”
    “MAksudku memintamu bertemu tadi berniat memberitahukan padamu.” jawab Dewa kalem.
    “Sudah dua hari Dewa tak masuk, dan skorsing itu sudah berlaku lusa yang lalu.”
    Dewa mengangguk lemah tanpa menatap Lorna yang sibuk mengingsut airmata dari pipinya.
    “Lorna takut kehilangamu, Dewa.” kata Lorna lemah.
    “Kamu tak akan kehilangan aku. Setiap saat kita bisa bertemu.”
    Lorna berusaha tersenyum.
    “Di sekolah saja tak setiap saat bisa menemuimu apalagi di luar sekolah.”
    Ucapan Lorna terasa menyindir, tapi itulah kenyataan yang terjadi selama ini di antara mereka.
    “Seharusnya Dewa tak melakukan hal tadi kepada Ronal.”
    “Aku sudah tak tahan pada sikapnya yang tidak jantan dan suka mencampuri hal yang bukan urusannya.”
    “Itu akan semakin memperkeruh persoalan yang sedang Dewa hadapi bila dia mengajukan keberatan dan tuntutan.”
    “Itu tidak akan terjadi bila kamu tak melihat kejadiannya.”
    Lorna memandangnya.
    “Lorna berada di pihakmu, Dewa. Lorna akan mengatakan kalau Lorna tidak tahu.”
    “Terimakasih...”
    Dewa tak bisa berbuat banyak saat Lorna kembali terbenam dalam kesedihan yang dirasakan. Kembali terisak. Kembali berurai airmata. Sebab betapa lelaki yang terasa dekat dengannya mengalami hal yang buruk. Betapa lelaki yang menyelimuti tubuhnya dengan jaket di saat dirinya tertidur harus dikeluarkan dari sekolah. Banyak hal yang ingin dia tanyakan. Tapi semua itu ditahannya karena akan semakin membuat tidak nyaman dan menyakitkan hati.
    “Apakah Ibu tahu tentang hal ini?”
    “Ibu sebaiknya tidak boleh tahu,”
    “Berapa lama Dewa bisa menyembunyikan hal ini?”
    “Entahlah. Nanti akan ada jalan.”
    Ketegaran yang diperlihatkan Dewa semacam itu yang membuat Lorna merasa bahwa lelaki itu bisa mengatasi apa pun persoalan, dan itu membuat Lorna merasa nyaman dan percaya diri terhadapnya.
    “Sebaiknya kamu pulang dulu. Besok kita bisa bertemu lagi.”
    “Bagaimana caranya? Di mana?”
    “Nanti kuberitahu.”
    “Melalui temanmu Beny?”
    “Mungkin.”
    Dewa mengantar Lorna ke mobilnya.
    “Semua tergantung dari hasil sidang nanti, apakah skorsing itu berlaku sementara atau selamanya.” Dewa menerangkan saat Lorna menanyakan tentang skorsing yang diberikan padanya.
    “Besok Lorna saja yang kemari sepulang sekolah.” kata Lorna mengusulkan.
    “Sebaiknya jangan terlalu sering pulang terlambat. Karena Mamimu menjadi sering mencemaskanmu.”
    “Mami tak akan cemas bila Lorna bersamamu.”
    “Kembalikan saja besok. Pakai saja dulu. Jaket itu belum kupakai, baru kuambil dari lemari.”
    Lorna mengangguk.
    “Ya, masih bau kapurbarus.”
    Dewa tersenyum.
    “Apakah itu mengusikmu?”
    “Dewa tak bisa kembali ke sekolah dengan normal, itu yang mengusik. Itu tidak adil karena semua berkaitan dengan Lorna.”
    “Sudahlah. Biar kutanggung semuanya.“
    “Tidak bisa begitu, Dewa!”
    “Aku ingin kamu bisa bergaul normal dengan semua teman sekelasmu. Maafkan bila aku merusak semua itu.”
    Ucapan itu menikam dalam hati Lorna.
    “Bye, Dewa!”
    “Bye!”
    Sementara langit cerah berbintang. Siluet awan senja telah pergi. Semua itu tak seperti apa yang merudung hati keduanya.